57. Beban Pikiran

921 96 9
                                    

Happy Reading
.
.


Seminggu waktu berlalu, selama itu Gaara selalu menyibukkan dirinya di kantor dan rumah sakit. Setelah semua pekerjaan di kantor selesai, ia akan pergi ke rumah sakit untuk melihat perkembangan buah hatinya. Masalah kehamilan Hinata, ia singkirkan jauh-jauh dari benaknya untuk saat ini. Entah kenapa, ia sama sekali tidak mengharapkan keberadaan janin itu. Katakan lah ia kurang ajar, berani melakukan, tapi tak mau bertanggung jawab. Sungguh... ia sudah lelah akan semua permasalahan yang terjadi, kini ia akan lepas tangan.

Gaara menyandarkan tubuh letihnya pada sandaran kursi yang ada di dalam ruangan kantor. Pekerjaannya hari ini akhirnya selesai juga, ia menengok jam di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul enam sore.

Pria itu menghela napas panjang. Matanya memandang figura foto Naruto yang berdiri kokoh di atas meja kerjanya. "Naruto..." Sudah seminggu ia tidak bertemu dengan istri yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya itu, rasa rindu memenuhi rongga dadanya.

Dahulu, Gaara selalu bersemangat kala akan pulang dari kantor. Sebab, di rumah sudah ada yang menantikan dirinya. Senyuman Naruto saat menyambut kepulangannya adalah obat paling mujarab untuk menghilangkan segala penat yang menggerogoti tubuh. Kini, semua itu sudah lenyap akibat kesalahan yang sudah ia lakukan. Ia terlalu terlena dengan kesenangan semu hingga rumah tangga yang baru dua tahun dibangun itu berada di ambang kehancuran.

Nasi sudah menjadi bubur. Naruto terlalu kecewa sampai tidak memberikannya kesempatan lagi untuk berjuang. Kesempatan? Bagaimana mungkin Naruto akan memberikannya kesempatan jika saat ini wanita itu sudah ada pria lain yang lebih baik sebagai pengganti dirinya.

Memang penyesalan selalu datang di akhir, jika tahu akan begini jadinya, tentu ia akan lebih berhati-hati. Hah... andai waktu dapat diulang, andai ia tidak pernah bertemu dengan Hinata, andai waktu itu ia berusaha keras mencari di mana keberadaan Naruto, andai ia tidak langsung percaya jika Ryuuga adalah anaknya, andai... semua kalimat pengandaian itu membuat kepala Gaara terasa mau pecah.

"Semuanya sudah terlambat..." Pria itu perlahan bangkit dari duduknya. Merapikan sedikit kemejanya yang kusut, dan bersiap untuk pulang. Hari ini ia absen menjenguk Reina karena terlalu lelah, besok setelah tubuhnya kembali fit, akan ia usahakan untuk melihat putri kesayangannya itu pagi sebelum berangkat ke kantor.

.

Sasuke menatap Naruto yang termenung sembari mengaduk-aduk makanan tanpa ada niat untuk memakannya. Sudah sedari tadi ia perhatikan, wanita itu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat hingga kurang berkonsentrasi pada hal yang sedang dikerjakannya.

Tidak hanya hari ini, kemarin, dua hari yang lalu, ah... tepatnya seminggu yang lalu, saat Sasuke memberitahu jika Hinata mengandung anaknya Gaara, Naruto mulai berubah. Ia menjadi lebih banyak diam dan sedikit cuek padanya. Apakah wanita itu masih memikirkan calon mantan suaminya itu? Sasuke menyentuh dadanya yang terasa sesak, jika apa yang dipikirkannya itu benar adanya. Apa yang harus ia lakukan?

"Naru!" Sasuke sudah tidak tahan lagi, ia menyentuh bahu Naruto agar wanita itu tersadar.

Deg

Benar saja, Naruto langsung terperanjat begitu merasakan tepukan di bahunya. Ia langsung menoleh dan menemukan Sasuke sedang menatapnya dingin.

"A-ada apa, Sasuke?" tanya Naruto. Ia jelas melihat raut tak senang dari wajah Sasuke.

"Lanjutkan makanmu! Aku sudah selesai dan mau pulang." Setelah mengatakannya Sasuke berbalik pergi.

Deg

Jantung Naruto berdetak cepat, ia tahu kalau sesuatu yang salah baru saja terjadi. Dengan cepat, ia mengejar langkah lebar dari pria yang selama beberapa bulan ini sudah menemaninya dalam keadaan susah dan senang.

"Sasuke, tunggu!" Naruto menarik lengan Sasuke yang akan melewati ambang pintu.

Sasuke hanya diam, tak ada niat untuk membalikkan tubuh melihat Naruto. Saat ini, ia tidak ingin melihat wajah wanita itu dulu. Hatinya merasa sakit membayangkan jika Naruto masih memikirkan Gaara, atau mungkin masih mencintai suaminya itu.

"Kau kenapa, Sasuke? Apa aku ada salah?" tanya Naruto. Nada suaranya terdengar panik.

Deg

Sasuke tersenyum miris, untuk apa Naruto mengejarnya jika wanita itu sendiri tidak tahu apa kesalahannya. Mungkin benar jika ada yang mengatakan jika Naruto tidak bersalah, karena ini hanyalah bentuk dari keegoisan Sasuke yang tidak ingin jika wanita yang dicintainya memikirkan pria lain.

"Sasuke!" Naruto yang tidak mendapat jawaban, coba menggoyang pelan lengan pria itu. "Ada apa? Tolong katakan padaku, aku tidak akan mengerti jika kau tidak mengatakannya."

Deg

Sasuke memejamkan mata sejenak, rasa sakit menusuk hatinya mengetahui tidak kepekaan Naruto. Perlahan, ia menyingkirkan tangan wanita itu yang masih memegangnya.

"Aku rasa saat ini kau membutuhkan waktu untuk sendiri. Renungkanlah apa yang menjadi keinginan hatimu. Aku tidak akan memaksamu untuk tetap bersamaku jika hatimu tidak menginginkannya."

Deg

Naruto mematung mendengar perkataan Sasuke. Saat pria itu melangkah pergi, ia tidak lagi mengejarnya.


.


Sasuke merebahkan kepalanya pada stir kemudi. Saat ini pria itu benar-benar galau. Ia pikir hubungannya dan Naruto akan menjadi semakin jelas setelah wanita itu memutuskan untuk berpisah dari suaminya, tapi ternyata semua tidak semulus yang dipikirkannya.

Dari lubuk hatinya yang terdalam, Sasuke tidak ingin kehilangan Naruto dan Reina. Ia sangat mencintai wanita itu dan menyayangi anak perempuan yang telah dilahirkannya.

"Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Sasuke menghantuk-hantukkan kepalanya pada stir kemudi. Otaknya jadi kacau.

Tak ingin terlalu berlarut memikirkan sesuatu yang belum jelas kebenarannya, Sasuke memutuskan untuk mengemudikan mobilnya kembali pulang.

.

Naruto duduk merenung seorang diri di dalam kamarnya. Ia masih memikirkan ucapan Sasuke yang tetiba memintanya untuk memikirkan ulang hubungan mereka. Apa sebenarnya yang telah terjadi, kenapa pria itu sampai berpikir hal yang demikian. Naruto sungguh tidak tahu.

"Apa karena belakangan ini aku terlalu banyak diam hingga tanpa sadar mengabaikan keberadaan Sasuke?" gumam Naruto.

Naruto sadar, belakangan ini ia banyak diam karena memikirkan putrinya yang masih harus dirawat di rumah sakit. Selain itu, masalah Hinata yang mengandung anak Gaara juga jadi beban pikirannya.

Jujur saja, wanita itu sama sekali tidak terima jika anaknya akan memiliki seorang saudara yang lahir dari rahim wanita jahat seperti Hinata. Sungguh... ia tidak ikhlas. Hari-harinya sibuk memikirkan dua hal tersebut sampai-sampai tidak sadar jika telah mengabaikan Sasuke yang selalu setia berada di sampingnya.

"Sasuke, maafkan aku..." lirih Naruto. Rasa bersalah membuat hatinya tak tenang.

Drrt... drrtt... drrtt...

Tak lama kemudian, ponsel yang berada di samping tubuh Naruto bergetar. Wanita itu melirik siapa orang yang menghubunginya.

"Kakashi?"

Tanpa banyak berpikir, Naruto segera mengangkat panggilan itu.

"Ya. Ada apa Kakashi-san?" sapa Naruto.

"........................"

"APA?" Ponsel yang ada dalam genggaman Naruto langsung jatuh meluncur. Air mata wanita itu merebak seketika.

Bersambung

Jangan lupa Like & Comment
Terima kasih sudah membaca 🙏🏻😊

Love AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang