"Askara" guma Arkan saat tangannya menghusap lembut perut Widuri.
Widuri yang sedang membaca novel. Menghentikan bacanya. Kepalanya mencuat dari celah buku dan melihat Arkan yang asik dengan perutnya yang membucit. Widuuri sempat geleng-geleng kepala melihat Arkan yang sifatnya diluar dugaan. Walau bagaimanapun Arkan adalah pria dewasa yang rasanya tidak mungkin bertingkah layaknya bocah. "Askara, sehat-sehat yah di perut Bunda"
Kening Widuri berkerut. Novelnya sudah dia letakan disampingnya lalu melihat gerak-geriknya Arkan yang seolah berbicara dengan calon bayi yang ada di perutnya. "De Askara sehat-sehat yah di perut bunda. Papa dan bunda disini nunggu Askara"
"Askara?"
Arkan mengangkat kepalanya dan pandangannya bertemu dengan Widuri.
Posisi Widuri yang menyandar di kepala ranjang dengan Arkan yang tidur di pahanya adalah pemandangan menjelang sore. Kesekian kali pun akan tetap seperti ini. Saat Arkan pulang kantor dan Widuri yang memutuskan untuk bekerja dari rumah. Memilih jalan untuk menghabiskan waktu bersama dalam keadaan seperti ini.
Arkan sangat bahagia dengan keluarga kecilnya.
"Iya namanya Askara, sayang. Baguskan?"Widuri tertawa "Emang yakin cowok? Gimana kalo cewek. Padahal baru 4 bulan"
Posisi Arkan yang berbaring di pahanya Widuri sempat nyegir sebelum akhirnya. "Iya juga sih yang. Tapi, aku yakin aja kalo disini ada anak kita yang akan dinamakan Askara" Arkan dengan yakin bicara seperti itu dengan mengubah posisinya yang tadi baring kini duduk mengikuti Widuri yang menyandarkan badannya pada kepala tempat tidur. Menarik kepala Widuri untuk bersandar di bahunya. Tanpa penolakan Widuri mengikuti mau Arkan. "Rasanya masih mimpi yang"
"Mimpi apaan?" Widuri bertanya lantaran Arkan tiba-tiba mengucap kalimat yang menurutnya menjanggal. Apalagi pembahasan mengenai calon anaknya belum usai. Tapi, Arkan sudah mengganti topik.
Arkan mencium kepala Widuri dengan kasih sayang "Rasanya kamu berada disini adalah mimpi yang tidak pernah jadi nyata. Bagaimanapun aku adalah orang yang membuat hidupmu hancur" Arkan meneteskan air matanya. "Menerima ku kembali adalah resiko bagi dirimu karena bisa saja aku mengulangnya"
Posisi Widuri kembali dia benarkan dengan cara melipat kakinya jadi sila dan pandangannya bertemu dengan Arkan sang suami. Sejak dirinya berbadan dua Arkan memang semanja ini. Selalu bicara masalalu dan ujungnya meminta maaf.
"Aku salah banget yang, jadi maaf semaaf-maafnya karena bagaimanapun akulah sumber masalahnya" lagi, Arkan meminta maaf. Sedangkan Widuri hanya diam melihat dengan jelas Arkan menunduk menyesali semuanya dengan air mata jatuh satu persatu di celana yang di pakainya. Iba tentu iya, Widuri merasakan itu. Tapi, jika di telaah lagi. Widuri memiliki trauma trust issue sejak hal itu terjadi. "Ma-af yang. Maaf te-lah membuat masa remaja mu hancur" Arkan kali ini terbata-bata mengucapkan kalimat penyesalannya. "Kamu boleh marah yang. Maki aku atau pun pukul aku yang. Tapi, jangan diam seperti ini" Arkan tentu tidak setuju mengenai keterdiaman yang dilakukan Widuri. Karena menurutnya hal itu sangat fatal terjadi jika seseorang tidak melampiaskan sebuah kemarahannya.
Sontak tawa Widuri hadir. Membuat Arkan yang masih diposisi menunduk kini sedikit demi sedikit mengangkat kepalanya. Melihat Widuri dengan tawanya, Arkan sedikit legah. Karena bagaimana hal itu bisa membuat Widuri berekspresi.
"Kamu tertawa, yang?" Arkan mengusap bekas air matanya yang ada di pipinya.
Widuri mengangguk "Soalnya garing banget. Melo drama jatuhnya"
"Yang" raju Arkan menarik Widuri untuk di peluknya berharap dengan pelukan itu Widuri menghentikan tawanya. "Tawanya di hentikan donk yang. Aku malu" bukannya menghentikan tawanya. Widuri malah lebih terkikih geli tanpa suara menyebabkan tubuhnya dan tubuh Arkan sedikit bergerak. "Yang" entah berapa kali sebuah peringatan Arkan lakukan. Tapi, bukannya berhenti Widuri tambah tertawa.
"Abisnya lucu banget" Widuri bicara setelah pelukan Arkan terlepas.
"Mana ada orang yang minta maaf, lucu sih"
Widuri masih dengan tawanya, beranjak menjauh meninggalkan Arkan yang masih bergerutuh di tempatnya. "Mau kemana sih yang?" selain bergerutuh. Arkan juga sering menanyakan kepergian Widuri walau hanya beranjak ke kamar mandi. "Yang?" Arkan tidak berhenti memanggil jika sebuah jawaban tidak di dapatnya.
"Mau ke kamar mandi. Ngga usah teriak-teriak kaya dihutan" sebelum Widuri hilang di balik pintu kamar mandi yang berada di kamarnya. Widuri sempat menegur kelakuan Arkan. Sedangkan Arkan sudah menutup mulutnya rapat-rapat, karema Widuri marah adalah hal menakutkan baginya saat ini.
Ponsel Widuri berbunyi. Arkan melihat nama yang tertera dan hatinya sempat panas sebelum akhirnya di mengangkat. "Mbak Wii, barangnya sudah sesuai pesanannya yah mbak" setelah kata salam terucap. Sang sebrang langsung mengungkapkan inti apa yang ingin di sampaikannya. "Mbak Wii?" memang dasarnya Arkan mengangkat telpon tanpa bersuara. Sehingga sang sebrang memanggilnya lagi.
"Istri saya. Masih di dalam kamar mandi. Nanti saya sampaikan" ucap Arkan.
"Baik Pak" jawab sang sebrang, sebelum akhirnya pamit dan sambungan telpon berakhir dengan rasa kikuh yang luar biasa.
"Yang, Adit tadi nelpon tuh. Katanya barangnya sudah sesuai pesanan" Widuri keluar dari kamar mandi sudah mendengar kalimat sinis dari Arkan. Bukan, Widuri namanya jika tidak mengabaikan hal itu dan hanya bilang oh. "Cuman oh yah jawabannya" sindir Arkan mendengar jawaban Widuuri "Di pikir-pikir, aku pernah bilang bahwa Adit dan supplier kamu yang lain hubungin aku saja atau tidak chat kamu. Kenapa harus nelpon sih"
Widuri sudah membuka pintu hendak keluar. Membiarkan Arkan berbicara apapun mengenai Adit dan pria lain yang di curigainya ada apa-apa dengannya..
"Yang" teriaknya lagi. Setelah Widuri berada di luar kamar.
Widuri berjalan kedapur untuk mengambil air minum agar melepas dahaga lantaran sosok Arkan yang berulah kekanak-kanakan membuatnya kehausan. Berulang kali Widuri sudah dengar tentang gimana pada akhirnya Arkan selalu cemburu mengenai apapun dihidupnya terdahulu. Namun, Widuri juga enggan memberikan tanggapan apapun terkait itu. Membiarkan semua berjalan di tempatnya.
Satu gelas yang berisi air putih bersih sudah berpindah keperut Widuri.
"Kak Wii" suara Wulan terdengar nyaring. Sempat membuat Widuri kaget sebelum ke ruang tamu. "Mama dan papa datang mau jenguk calon cucunya katanya" tambah Wulan dengan mengoda Widuri dengan cara yang sama yaitu berteriak.
"Ade, suaranya" tegur papanya. Widuri tertawa terbahak-bahak lantaran wulan di omelin. "Ade, jangan gitu sama kakak yah. Papa ngga mau dengar lagi" bukannya menjawab Wulan memilih masuk ke dapur. "Ade"
Widuri sudah menyambut pelukan dari mamanya. Membiarkan Wulan dan papa tirinya berdebat. "Sehat kak?" tanya mamanya.
Sebelum Widuri menjawab teriakan Wulan terdengar.
Akhhh
Sontak ketiga orang yang sedang berada di ruang tamu. Saling lirik sebelum akhirnya menunjuk sumber teriakan. Mata Widuri hampir lepas karena disana terdapat Arkan yang sedang mengoreng menggunakan helm dan Wulan berdiri di pintu dapur. "Astaga kak Widuri jahat. Masa iya, kak Arkan yang memasak sampai pakai kostum seperti itu"
Mamanya dan papa tirinya hanya cekikilan. Melihat anak terakhirnya yang heboh walau hal itu lumrah. Bagi pasangan suami istri. Saling membantu satu sama lain, apalagi Widuri dalam keadaan berbadan dua.
"Pa, ma" sahut Arkan setelah melepas helm yang di pakainya dan dengan salah tingkah Arkan mengambil tangan mertuanya untuk di salim."Perasaan tadi kamu masih di kamar deh" Widuri menyikut perut Arkan. Lalu berbisik mengenai sepengetahuannya.
"Masak apa nak?" Mama Widuri bertanya. Melihat kekacuan dapur yang di buat Arkan "Kenapa ngga pesan saja kak" kali ini kalimat itu di tujuhkan ke Widuri. Wulan yang seruju dengan apa yang mamanya sambungnya bilang. Ikut mengompor-ompori.
"Iya sih ma, sekarang jaman delivery lo. Ngapain masak atau kak Wii ngga tahu cara pesab makannya yah"
Widuri sempat mengganga mendengar kalimat Wulan. Sebelum akhirnya semua tertawa terbahak-bahak. Ke polosan Wulan adalah hal yang patut di jadikan hiburan bagi keluarga nya. Karena bagaimana pun jaman milenial membuat otak Wulan berpikir jauh lebih lambat, itu kata papa tirinya.
***
Mamuju, 15 April 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Polemik size (Tamat)
RomanceBentuk tubuh adalah satu hal yang pasti dilirik oleh kebanyakan orang. Sesudah point penting yaitu wajah. Tapi, bagaimana jika point penting itu di tumbuhin oleh sesuatu yang mengerikan seperti jerawat dan kawan-kawannya. Oh, jangan lupa dengan kaca...