Kami bertatapan lebih dari sepuluh detik sebelum akhirnya gue memutusan untuk mengalihkan tatapan duluan. Gue awalnya enggak begitu peduli, tetapi melihat wajah memelas Mario membuat gue tergerak untuk mendengarkan semua penjelasannya, dan sekarang gue malah bingung, apakah gue mesti mempercayai semua ucapannya atau tidak.
Mario tampak sedang enggak berbohong. Sepertinya memang gue harus mempercayai penjelasannya.
Sejujurnya gue sedikit terkejut mengetahui fakta ini. Fakta bahwa Jason hadir karena kesalahan Raline selepas bertengkar dengan Mario, dan pertengkaran mereka disebabkan oleh gue.
Enggak, gue enggak salah. Mario sama Ralinelah yang salah, coba aja dulu Raline enggak pernah nyuruh Mario buat deketin gue, kejadiannya pasti enggak bakal kayak gini.
Mana gue tahu kan kalau ternyata pesona gue sekuat itu sampai bikin Mario terus kepikiran.
"Tolong percaya sama gue." Cowok itu kembali bersuara membuat gue kembali menatapnya.
Gue kemudian mengangguk, lalu menarik minuman yang gue pesan dan meminumnya untuk membasahi tenggerokan gue terasa kering secara tiba-tiba.
"Oke," ucap gue masih menatap cowok itu, dia tersenyum lebar setelah mendengar jawaban gue.
"Berarti gue masih punya kesempatan buat memulai semuanya dari awal sama lo kan?"
Ucapan Mario membuat gue tersedak, terkejut karena pembahasan kami sudah terlalu melenceng dari tujuan awal. Apa penolakan gue waktu itu kurang jelas kalau gue enggak akan pernah kembali sama dia?
Mario pikir, setelah gue mengetahui kebenaran kalau Jason bukan anaknya, gue bakal kembali gitu? Lagipula bukan hal itu yang bikin gue pengen pisah. Karena gue sama dia emang enggak cocok aja, karena emang gue sama dia enggak ditakdirin bersama.
Gue hendak membalas ucapan Mario, tetapi ponsel milik cowok itu yang terletak di atas meja berbunyi secara tiba-tiba membuat urung. Kami bertatapan sejenak saat Mario menatap gue sekilas sebelum akhirnya mendekatkan ponselnya ke telinga, menerima panggilan.
"Ya, gue di sana," ucap cowok itu kepada orang yang menghubunginya.
"Jang—" "Ya udah terserah."
Mario kembali meletakan ponselnya di tempat semula. Dia terlihat gusar setelah menerima panggilan itu.
"Ada masalah?" tanya gue yang amat penasaran.
Cowok itu terlihat menggeleng. Secara bersamaan, suara yang akhir-akhir ini gue kenal tertangkap indra pendengaran, dan detik berikutnya seorang bocah kecil melesat memeluk Mario.
"Daddy!"
"Jason," bisik gue dan gue denger Mario juga mengucapkan hal yang sama, ia membawa Jason duduk di pangkuannya. Mereka cocok banget jadi ayah dan anak.
Beberapa saat kemudian, seseorang yang gue duga ada bersama anak itu, kini hadir di hadapan gue, Raline.
"Mario," ucapnya. "Gue kira salah liat, pas dihubungin ternyata itu beneran lo, lo di sini juga?"
"Iya," ucap cowok itu dan gue hanya bisa berkedip, gak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Daddy, Jason mau ice cream," rengek bocah di pangkuan Mario.
Mario menyunggingkan senyum dan mengusap rambut Jason sebelum akhirnya mengangguk. "Ayo kita beli!"
Kelihatan banget kalau dia sayang banget sama Jason.
"Gue tinggal dulu sebentar, ya," ucap Mario seraya menatap gue.
"Oke," Gue menjawab dan setelahnya dia bangkit meninggalkan gue. Kini Raline yang duduk menggantikan Mario.
"Hai Jess," sapa wanita di hadapan gue dengan senyum lebarnya.
Gue membalas senyumnya tak kalah lebar. "Raline, apa kabar?"
"Seperti yang lo liat, gue baik," jawabnya membuat gue mengangguk sebagai respons. "Udah lama, ya, kita enggak ketemu."
"Beberapa hari yang lalu gue, sih, liat lo, di acara reuni."
"Oh, lo ikut reuni?" Gue mengangguk.
Dari respon Raline, kayak dia enggak liat kalau beberapa hari yang lalu kita sempat berada di tempat yang sama. Wajar aja, sih, kalau dia enggak liat gue, pastinya dia ada sama circle pertemanan yang terdahulu.
"Lo lagi ngapain di sini sama Mario?" tanya Raline. Pertanyaannya membuat gue terdiam, bingung harus menjawab seperti apa. Apa kalau gue jujur dia bakal tersinggung? Gue sama Mario di sini untuk membahas permintaan maaf, kemudian cowok itu membahas perihal hubungan bersamanya.
Masa gue harus menjawab, 'gue sama Mario lagi ngomongin lo!'
"Enggak ngapa-ngapain, kok, cuma ngobrol aja," jawab gue pada akhirnya setelah berdehem panjang.
"Ngobrolin gue sama Jason?"
Gue langsung menatap Raline begitu kalimat terakhir yang berupa tebakan itu tertangkap indra pendengaran gue. Kenapa harus tepat sasaran seperti ini, sih? Apa emang kalau gue sama Mario bertemu, Raline sudah mengetahui apa yang akan kami bicarakan?
"Ah, bener dugaan gue," ucapnya kembali. "Pantesan lo gak kaget pas Jason manggil Mario daddy."
"Biasa aja, sih," balas gue. "Gue liat postingan Instagram lo beberapa tahun yang lalu sama Mario, sama Jason juga yang waktu itu kayaknya baru lahir."
Gue mengangkat kedua bahu setelah mengucapkan kalimat terakhir dan gue lihat Raline tersenyum seraya mengangguk.
"Begitu?"
Helaan napas dari wanita itu terdengar. Dia menatap gue tepat di mata, ia masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, bahkan menurut gue semakin keren dan cantik. Andai gue cowok mungkin saat ini udah salah tingkah karena ditatap seperti itu.
"Kenapa?"
"Mario pasti udah bilang juga kalau Jason bukan anak kandungnya kan?"
"Ya." Mario bahkan menjelaskan sepaket dengan kenapa dia deketin gue pas masih zaman SMA.
"Cuma dia yang nerima keberadaan Jason, bahkan keluarga gue aja enggak seterima itu." Gue tahu itu, itu juga yang membuat Mario mengakui bahwa jason adalah anaknya, tetapi kenapa Raline malah curhat sama gue? Hei, kami enggak sedeket itu untuk saling curah-mencurahkan isi hati, malah rasanya aneh saat kami kini duduk saling berhadapan.
Ah, sepertinya gue mencium aroma-aroma yang mencurigakan. Gue menunggu apa yang akan Raline ucapkan selanjutnya, tetapi beberapa menit setelahnya yang ia lakukan hanyalah terdiam.
"Raline?" Gue memutuskan untuk bersuara, menatap dia dengan sebelah alis terangkat. Mengkodenya untuk segera berbicara kembali, entah melanjutkan atau mengusaikan sesi berceritanya. Sebenarnya apa yang sedang Raline pikirkan saat ini? dia terlihat berbeda ... walau gue enggak begitu tahu, sih, gimana biasanya dia.
"Tapi dia enggak mau jadi ayah yang sesungguhnya buat Jason," lanjut Raline setelah sebelumnya terlihat tersentak karena gue panggil. "Dia maunya sama lo."
"Jessi, gue boleh minta tolong?" Gue hendak mengutarakan apa yang ada di kepala, tetapi Raline mendahului gue dengan permintaannya. Gak nyangka dia mau minta tolong sama gue, mana sekarang raut wajahnya menampilkan keputus asaan.
Gue jadi kasian.
"Kalau gue bisa, gue pasti bantuin lo." Gue terdiam untuk beberapa saat. "Emangnya lo mau minta bantuan apa?"
"Gue enggak yakin bakal ada laki-laki yang nerima gue apa adanya, terlebih kehadian Jason, gue yakin gak bakal ada laki-laki yang nerima Jeson kayak Mario yang nerima Jeson selama ini." Raline narik tangan gue yang yang terletak di atas meja, kemudian menggenggamnya. "Gue minta tolong, tolong relain Mario buat gue, demi Jason."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [REPOST]
RomanceBagi sebagian orang, menikah di usia yang masih muda bukanlah sebuah impian, termasuk bagi Mario dan Jesika. Apalagi keduanya menikah karena perjodohan. Pada dasarnya, mereka masih ingin menikmati masa remaja dan meraih cita-cita. Maka dari itu, Mar...