Jason lagi nangis kejer di pangkuan Mama Ajeng saat gue sama Mario datang ke rumah untuk mengajak bocah itu jalan-jalan.
Mendengar Jason memanggil-manggil Mario, tentu membuat gue sama dia saling memandang sebelum akhirnya berlari menghampirinya. Dari matanya, Mario jelas terlihat panik.
Dia menatap Mama Ajeng sama gue secara bergantian setelah berhasil mengambil alih bocah itu. "Badannya panas."
Mama Ajeng mengangguk. "Dari semalem," balasnya.
"Raline ke mana?"
"Mama nggak tahu, dari kemarin nggak dateng, ditelepon pun nggak bisa."
Mario terdengar mengembuskan napas kasar setelah mama menjawab atas pertanyaannya, laki-laki itu kemudian mengangguk. "Kalau begitu Mario sama Jessi bawa Jason ke Dokter, ya."
Mama Ajeng kembali mengangguk seraya menyuruh kita berhati-hati di jalan.
Gue kasian liat Jason, bocah itu semakin menangis keras dan kini berganti menyebut-nyebut mommynya, sampe gue nggak tahu harus ngomong apa.
Jason juga nggak mau saat gue hendak menggendongnya, dia pengen terus ada di gendongan Mario, padahal cowok itu mau nyetir. Namun, dengan sedikit paksaan akhirnya Jason mau pindah.
Kasian banget bocah itu, pasti sakit gara-gara nyari Mario sama Raline yang nggak ada di sampingnya.
Gue mengembuskan napas secara perlahan seraya sedikit mengeratkan pelukan pada tubuh Jason, berharap dengan cara ini setidaknya dia bisa sedikit lebih tenang.
Ah, niat awal kita ke rumah Mario mau ngajak Jason seneng-seneng, tapi sekarang malah berbeda tujuan karena ternyata ada sedikit musibah. Semoga bocah itu lekas membaik, agar rencana hari ini segera direalisasikan.
***
"Udah bisa ngehubungin Ralinenya?" tanya gue begitu melihat Mario muncul.
Cowok itu menggeleng seraya duduk di sebelah gue. Dari ekspresinya, dia keliatan kayak lagi bete banget.
Gue paham kenapa muka Mario bisa kayak gitu, sepertinya karena dia tidak kunjung mendapat kabar dari wanita yang sudah melahirkan Jason itu. Padahal yang gue tahu, Mario sudah mencoba menghubungi Raline sejak kita pulang dari Dokter setelah mengobati Jason, atau sekitar dua jam yang lalu.
"Raline ini bener-bener, ya!" gumamnya yang masih bisa gue denger, dengan atensi pada layar ponsel. Gue yakin Mario masih berusaha mengubungi wanita itu.
"Udah, sih." Gue langsung menutupi layar ponsel yang digenggam Mario dengan tangan, memerintahnya secara tidak langsung untuk menghentikan usahanya dalam menghubungi Raline mengingat Jason udah nggak manggil-manggil wanita itu lagi.
"Jasonnya juga udah lebih baik kan?" tanya gue.
"Iya, sih, tapi nggak gitu juga," balas Mario seraya menatap wajah gue. "Dia nggak bisa ninggalin tanggung jawab gitu aja."
Gue mengangguk paham mendengar pernyataan Mario, menyetujui ucapannya juga. Namun, bisa aja kan Raline itu lagi sibuk banget, lagi ada kerjaan yang nggak bisa dia tinggal.
Tapi kalau dipikir-pikir, sesibuk apa, sih, Raline sampe nggak bisa dihubungin kayak gini. Apalagi ini menyangkut soal anaknya. Kayak aneh banget, seenggaknya dia kasih pesan lagi di mana dan tanyain keadaan Jason.
Tapi, lagi-lagi tapi, siapa sih gue bisa ngomentarin hidup orang lain dengan lancar kayak gini. Gue kan nggak tahu gimana keadaan Raline yang sebenarnya, apa pun itu semoga dia baik-baik aja.
"Raline udah pernah ngilang kayak gini juga sebelumnya?" tanya gue penasaran. Siapa tahu dapet jawaban di mana keberadaan wanita itu dari pertanyaan gue ini.
Gue tersenyum lebar begitu melihat Mario mengangguk. "Waktu pertama kali kita pulang ke sini, dia pernah ngilang juga beberapa hari."
"Terus waktu itu dia ke mana?"
"Dia nggak ngasih tahu," jawab Mario seraya menggedikan kedua bahunya membuat senyum gue luntur dengan perlahan.
"Mungkin aja dia pulang ke rumahnya nggak, sih?" Gue kembali bertanya.
"Kalau pun Raline ada di rumahnya, masa sih gak bisa dihubungin?" Mario balik bertanya. "Bahas Raline bikin kepala gue sakit," lanjutnya seraya menyandarkan kepala di pundak gue.
Walau berat, tetapi gue membiarkan apa yang Mario lakukan. Justru, gue menepuk-nepuk kepalanya lembut, berharap rasa sakit kepala cowok itu berkurang.
"Sabar-sabar, sebentar lagi pasti Raline pulang."
"Nggak pulang juga nggak apa-apa," celetuk Mario. Gue repleks menambah tenaga menepuk kepalanya hingga dia mengaduh.
Nggak cukup sampai di situ, gue juga menarik rambut Mario sampai kepalanya mendongak dan menatap gue.
"Sembarangan! Kalau Raline nggak pulang, terus Jason gimana?"
"Ya kita anggap aja Jason itu abangnya anak-anak kita."
"Dih!" Gue melepas rambut Mario dan mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga menjauh.
Kekehan cowok itu terdengar. "Gimana, bagus kan ide gue?"
"Iya, iyain aja biar puas," jawab gue sekenannya.
"Ya udah, kalau gitu ayo kita bikin adik buat Jason!" seru Mario yang tentu membuat gue melebarkan mata menatapnya.
"Nggak mau, gue kan masih muda!"
"Gue juga masih muda, tapi gue mau kok kalau harus punya anak sekarang!" Mario menggeser duduknya lebih dekat dengan gue. "Yuk, bikin anak yuk!"
Mendengar kalimat terakhir yang Mario ucapkan, gue duduk bergeser menjauh darinya seraya tertawa. "Lo bikin gue geli tahu nggak?!"
***
Jason udah bener-bener sehat, terbukti dengan dia yang sudah berlarian ke sana kemari dengan tawanya yang keras.
Gue tentu senang karena sekarang bisa merealisasikan keinginan untuk bermain dengannya.
"Aunty, lempar bolanya ke sini!" teriak Jason sesaat setelah benda bulat berwarba biru terbuat dari karet menggelinding tepat di bawah kaki gue.
"Oke!" Gue balas berteriak kepada bocah yang kini berdiri beberapa meter dari tempat gue berdiri, kemudian melempar bola itu hingga tepat mendarat di kepala Jason.
Gue membekap mulut saking terkejut karena nggak menyangka bahwa bola yang gue lempar itu mengenai Jason. Gue bener-bener nggak sengaja, nggak bermaksud melukai bocah itu sama sekali. Gue segera berlari menghampirinya, memeluk tubuhnya dan mengelus kepalanya.
"Jason maaf, Aunty nggak sengaja!" seru gue panik.
Bukan mendengar suara tangisan, gue justru mendengar tawa renyah dari bocah itu.
"Nggak apa-apa Aunty, ini nggak sakit kok!"
"Beneran?" tanya gue seraya merenggangkan pelukan dan menatap wajah menggemaskannya.
Jason mengangguk membuat gue kembali memeluknya, menghirup aroma tubuhnya yang harum khas anak-anak.
"Tapi Aunty merasa bersalah, Jason."
Gue tersenyum saat merasakan bocah itu membalas pelukan gue. "Maafin Aunty, ya!"
"Iya, Aunty!"
"Terima kasih."
Kami sama-sama merenggangkan pelukan dan kembali bermain bola di halaman depan rumah Mario yang luas. Sangat menyenangkan hingga gue berkhayal kalau saat ini gue tengah bermain dengan anak gue sendiri.
"Mommy!" Seruan Jason terdengar secara tiba-tiba di telinga membuat gue sedikit tersentak.
Kemudian, mata gue mengikuti ke mana Jason berlari hingga indra penglihatan gue kini menangkap wanita yang tengah bersimpuh, merentangkan tangan hendak menyambut Jason yang akan pergi ke sana.
Mereka berhasil berpelukan, tetapi yang membuat gue heran adalah mata Raline yang nggak lepas menatap gue.
Ada masalah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [REPOST]
RomanceBagi sebagian orang, menikah di usia yang masih muda bukanlah sebuah impian, termasuk bagi Mario dan Jesika. Apalagi keduanya menikah karena perjodohan. Pada dasarnya, mereka masih ingin menikmati masa remaja dan meraih cita-cita. Maka dari itu, Mar...