20

3.2K 188 4
                                    

"Ngobrol apa aja sama Jessi?" tanya gue seraya menatap Raline sekilas, wanita itu tengah menyeka bibir belepotan bocah laki-laki yang kini duduk di atas pangkuannya.

"Enggak ngobrol apa-apa," jawab wanita itu dengan ringan yang enggak gue percaya sama sekali.

Pasti mereka bicara sesuatu. Kalau enggak, kenapa Jessi udah enggak ada saat gue kembali setelah membeli icre cream bersama Jason. Harusnya gadis itu menunggu gue terlebih dahulu, kalau emang mereka enggak ngobrolin yang macam-macam. Kemudian, wajah Raline yang cerah ceria juga membuat gue semakin curiga.

"Harusnya aku yang tanya, kamu ngapain berduaan sama Jessi, ngobrolin apa aja?"

"Bukan urusan kamu."

Gue masih agak sedikit kesel karena kehadian Raline yang enggak terduga. Juga karena dia, gue belum sempet denger jawaban dari Jessika atas pertanyaan gue.

Setelah semua yang gue jelasin, apa dia mau memulai semuanya dari awal lagi sama gue?

Ah, kenapa rasanya gue selalu dipersulit dalam segala hal? Padahal kalau semuanya berjalan dengan lancar, pasti sekarang masalah dan kesalah pahaman yang gue timbulkan sudah terselesaikan.

"Aku harus anterin kamu sama Jason ke mana?" Gue bener-bener pengen cepet terbebasa dari Raline. "Langsung ke rumah kamu?"

Gue menoleh menatap Raline, secara bersamaan dia juga menatap gue dengan mata yang melebar.

"Kamu gila?" tanyanya dengan nada sedikit meninggi. Sepertinya Raline takut kalau seandainya gue memulangkan dia bersama Jason betulan ke rumahnya.

"Gila kenapa?" Gue balik bertanya. "Harusnya kamu itu mulai coba dari sekarang untuk temuin Jason sama keluarga kamu."

"Jahat banget kamu, Mario!"

Gue terdiam setelah mendengar kalimat yang Raline ucapkan. Memikirkan mengapa wanita itu menyebut gue demikian. Jahat? Enggak juga. Kenapa dia bisa berpikir gue seperti itu?

"Kamu enggak tahu, sih, orang tua aku di sana perlakuin aku kayak gimana selama aku pulang!"

Baiklah, gue mulai paham sekarang. Raline takut kalau sendainya gue beneran bawa Jason ke rumahnya, Jason akan diperlakukan sama dengan dirinya oleh keluarganya.

"Kalau enggak dicoba, kita enggak bakal tahu hasilnya." Gue enggak bermaksud jahat, tapi kalau Raline terus meterus mengindarkan Jason dari keluarganya, malah akan membuat kelurganya berlarut-larut kan?

Maksud gue, mereka gak akan pernah terbiasa dengan kehadiran anak itu, anak itu bakal selalu asing di mata mereka kalau enggak segera dikenalkan dan Raline pun tentu akan selalu dibayang-bayangi perasaan was-was setiap memikirkan anak dan keluarganya.

"Enggak ada kemarahan orang tua yang abadi, sama kayak orang tua aku pas aku ngenalin Jason ke mereka, iya mereka marah banget waktu itu, bener-bener marah, sampe aku dapet beberapa pukulan dari papa." Gue sedikit tertawa setelah mengucapkan beberapa kata terakhir, teringat betapa gagah bokap karena berhasil merobek bibir gue, menceritakan sesuatu yang belum pernah gue ceritakan kepada Raline sebelumnya, wanita itu hanya tahu keluarga gue menerima Jason, tanpa tahu ada gue yang kesakitan di baliknya, tapi itu bukan masalah besar, sih.

"Setelahnya ya udah, setelah minta maaf, mereka biasa lagi."

Malah gue inget, waktu itu orang tua langsung nyuruh gue buat ngomong dan minta maaf sama Jessi dan Tante Arum. Cuma karena Jessi enggak ada dan karena Tante Arum memperlakukan gue dengan baik gue jadi gak tega, gue enggak mau sikap Tante Arum berubah ke gue karena kejujuran itu yang akhirnya membuat gue memutuskan untuk batalkan niatan itu, gue enggak nyinggung masalah ini sama sekali hingga berakibat fatal.

Beruntung beberapa jam yang lalu akhirnya Jessi mau mendengarkan penjelasan gue.

"Kamu udah minta maaf sama mereka kan?" tanya gue.

"Bilang aja kamu udah enggak mau jadi daddy-nya Jason lagi."

"Daddy enggak mau jadi daddy Jason lagi?" Ucapan dari seseorang yang mengikuti kalimat yang Raline katakan barusan membuat gue menoleh ke sumber suara di mana kini gue bertatapan dengan ekspresi polos itu. Gue hampir lupa dengannya, gimana bisa gue sama Raline membicarakan hal ini di saat Jason ada di antara kita?

Sejenak gue menatap Raline untuk meminta bantuan bagaimana baiknya gue menjawab pertanyaan Jason, tetapi wanita itu hanya menaikan sebelah alisnya, seperti mengisyaratkan bahwa dirinya tidak ingin membantu.

Gue mengembuskan napas berat sebelum akhirnya kembali menatap Jason, kemudian membelai pipi bulatnya.

"Mana mungkin, Jason kan jagoannya Daddy!"

Bocah laki-laki itu lantas tersenyum lebar setelah apa yang gue katakan. "Jason sayang Daddy!"

Gue hanya tersenyum mendengar pernyataan itu, dan dengan perasaan lega, gue kembali memfokuskan diri ke depan, menatap jalanan yang lumayan lancar.

"Jadi gimana?" tanya gue mengingat pembicaraan bersama Raline belum menemukan titik terang. Wanita itu sepertinya sengaja mengalihkan gue agar dirinya terus terlindungi, padahal gue yakin banget kalau setelah semua masalahnya terselesaikan, dia akan jauh lebih bahagia.

"Kita ke rumah kamu sekarang?"

"Jangan gila, aku belum siap!"

"Kamu enggak akan pernah siap kalau kamu enggak mau menghadapinya." Gue menoleh menatap Raline yang kini juga tengah menatap gue. "Sekarang pilihan ada di tangan kamu, mau ikutin saran aku atau enggak, terserah."

Gue menyerah. Iya, secepat itu.

Gue baru tersadar kalau Raline memang sangat keras kepala, dia enggak akan mungkin ngikutin ucapan gue gitu aja.

"Mommy, Jason ngantuk." Rengekan Jason membuat gue kembali memusatkan pandangan kepada bocah itu, wajahnya terlihat sangat kelelahan.

Raline kemudian mengubah posisi duduk Jason menjadi berbaring dengan lengannya sebagai bantalan, jemarinya dengan lincah menepuk bokong bocah itu. "Kalau gitu sekarang Jason tidur, ya."

"Tapi Jason takut Mommy pergi lagi kalau Jason tidur!"

"Enggak akan, Mommy akan temenin Jason sampai Jason bangun lagi."

"Mommy janji?"

"Janji, Sayang!"

"Jason sayang Mommy."

"Mommy juga sayang Jason."

Entah kenapa, gue lega melihat dan mendengar interaksi antara Jason dan Raline. Raline terlihat sekali sangat menyayangi Jason, berbanding terbalik saat wanita itu pertama kali mengandung anaknya. Gue yakin banget kalau kasih sayang Raline untuk Jason itu dicurahkan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Raline memang egois dan keras kepala, tetapi dia bukan orang jahat yang akan melukai anaknya sendiri.

Gue lega sekaligus gembira, itu artinya gue enggak perlu khawatir dan takut seandainya nanti gue ninggalin Jason bersama Raline, hal yang selama ini sebenernya bikin gue ragu untuk membiarkan Jason bersama dengan wanita itu.

Ah, gue sangat merasa bersalah udah menuduh Raline yang enggak-enggak. Jelas-jelas, selama ini Raline sangat menyayangi Jason.

Gue hanya perlu fokus kepada Jessika untuk saat ini, mencari bagaimana cara supaya gue bisa kembali bersamanya.

Love Scenario [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang