"Selamat pagi anak-anak!" sapa gue begitu masuk ke ruangan besar yang menampung sekitar 30 manusia berbeda karakter berstatus siswa. Di sini, tentunya gue yang jadi guru.
Melihat gue, beberapa murid yang bergerombol serta masih bermain-main segera duduk di bangku masing-masing dengan rapi. Ah, sikap mereka terlihat manis, apalagi ditambah seragam batik khas sekolah ini yang mereka kenakan sekarang.
"Selamat pagi anak-anak?!" ulang gue lebih semangat seraya menyunggingkan senyum setelah mereka siap di tempat masing-masing.
"Siang, Bu!" ucap mereka kompak, antara membalas sapaan atau meralatnya.
Gue hanya terkekeh. Duduk di kursi yang posisinya sudah tidak singkron dengan meja. Matahari memang sudah berada nyaris sempurna ke barat, yang artinya gue dan para murid sudah nyaris seharian berada di sekolah. Gak heran kalau sekarang ada yang mulai layu, menguap, bahkan terang-terangan memejamkan mata. Gue aja lelah, apalagi mereka.
"Mau belajar atau enggak?" tanya gue basa-basi dan tentunya mereka dengan kompak menjawab enggak. Pelajaran terakhir, memang waktunya sudah krisis, mereka sudah tidak fokus lagi.
"Bu!" seru salah satu murid membuat gue menoleh, dia mengangkat tangan, posisi duduknya paling pojok dan terbelakang.
"Ya, Gilang?" Gue menatap wajah kusutnya. Dia adalah salah satu murid yang paling gue kenal.
"Jangan belajar, ya, kita abis mabok matematika, masih pusing sama mual!" ucapan Gilang mengundang gelak tawa juga persetujuan hampir seluruh isi kelas. Gue sangat percaya apa yang dikatakan murid laki-laki itu, guru matematika mereka bahkan mengambil nyaris setengah jam waktu mengajar gue.
"Iya, Bu, bener, Bu!"
"Bu?!" panggilan kembali terdengar, kali ini murid perempuan yang membuka suara.
"Kenapa, Bulan?"
"Kasih kisi-kiri dong buat UKK nanti!"
"Nah, iya, bener, hari ini kisi-kisi doang, kata Ibu kan materinya udah selesai!"
Pinter banget emang murid-murid gue, ada aja alasannya buat enggak belajar, padahal gue mau sedikit kasih ulasan mengenai materi yang udah dipelajari selama satu semester ini, tapi, ya, memang kondisinya sudah tidak kondusif. Ya sudahlah nggak apa-apa, gue yakin mereka enggak hanya jago ngeles doang.
"Ya udah, kisi-kisinya mau ditulis apa difoto?" tanya gue pasrah.
"Difoto aja biar cepet!" jawab Aldi, dia adalah ketua murid kelas ini.
Setelah itu, gue mengirimkan file berupa kisi-kisi yang udah dibuat sebelumnya untuk mereka ke grup kelas langsung, gua ada di grup chat itu tentu karena gua adalah wali kelas mereka, kelas 11 IPS 3. Beberapa saat setelah terkirim, mereka silih bergantian mengucapkan terima kasih.
"Terus udah ini ngapain kalau enggak mau belajar?" tanya gue bingung, padahal ada sekitar satu setengah jam lagi sebelum waktunya pulang.
"Ngobrol aja, Bu!"
"Bercerita!"
"Main Tiktok!"
Gue tertawa mendengar saran terakhir dari mereka. Kalau kepala sekolah tahu ada keributan karena bermain aplikasi itu, di dalam kelas, dan waktunya belajar pula, sudah pasti gue bakal kehilangan pekerjaan.
"Kita ngobrol aja, oke!"
"Bu, aku boleh nanya enggak, Bu?" salah seorang murid perempuan berkata, juga mengangkat lengannya. Dia Putri, kayaknya gue nyaris kenal sama semu murid yang gue wali kelasi, mungkin karena masih muda, beberapa minggu lalu usia gue bertambah jadi 23.
"Boleh, mau tanya apa?" Gue balik bertanya kepada murid yang kini langsung tersenyum lebar. Ngeliatnya, gue kayak liat diri sendiri pas seumuran dia, persis, pemberani dan agak pecicilan.
"Kenapa Ibu jadi guru, apa emang udah cita-cita dari kecil?"
"Kepo banget sih lo, Put!" sahut Gilang. Keduanya emang punya karakter hampir sama, nyaris suka ribut walau duduk di pojok yang berbeda.
"Ribut terooos!" sindir Aldi, kemudian tiba-tiba matanya melihat gue. "Ibu jadi guru, supaya bisa didik anak-anak kita dengan baik dan benar kan?"
Ucapannya tentu saja mengundang sorakan dari seluruh penghuni kelas. Gue cuma bisa meringis, tidak bisa menahan layangan gombalan receh khas remaja itu. Mungkin karena gue masih muda dan umur kita enggak terlalu jauh, mereka jadi sedikit berani. Enggak masalah, sih, sebenarnya karena dulu pun saat masih sekolah nyaris sama kejadiannya. Hakikatnya udah kayak gitu kali, ya?
Pada akhirnya, mereka asyik ngobrol sendiri-sendiri gue cuma merhatiin sambil sesekali ngomong kalau ada yang ngajak ngobrol.
Jadi guru, apalagi guru SMA, membuat gue flashback mulu ke zaman di mana gue yang jadi mereka. Agak sedikit tertohok, kemudian bertanya-tanya, profesi gue ini bener enggak, sih?
***
Gue terdiam, sedikit terkejut ngeliat seseorang yang kini sudah duduk di atas kasur, menyambut gue dengan senyum miliknya. Sejak kapan dia ada di sini, kok enggak kasih kabar dulu?
"Mama?!" pekik gue setelah sadar. Gue capek abis dari sekolah dan semoga apa yang gue liat ini halusinasi, gue bener-bener males kalau harus liat nyokap beneran.
"Kejutan!" Wanita itu kemudian bangkit dan memeluk gue, barulah gue sadar ini bukan mimpi apalagi halusinasi. Mama gue lagi meluk sekarang!
"Ngapain Mama ke sini?!" Alih-alih nanya kabar, ini mulut sialan malah nanya kayak gitu auto perang dunia ke tiga kalau doi baper.
"Kamu enggak suka Mama datang?"
Kalau boleh jujur, sih, iya.
"Jess cuma kaget kenapa Mama ada di sini tanpa ngasih tahu lebih dulu!" jawab gue. "Mama berangkat jam berapa dari rumah?"
"Dari pagi, sampe pas makan siang tadi," ucap Mama. "Berarti Mama berhasil dong kalau kamu terkejut?"
Gue mengangkat bahu. "Mama ngapain repot-repot nyamperin Jess ke sini?"
"Mau ajak kamu pulang!"
Tumben banget.
"Gak bisa, pekerjaan Jess masih banyak."
"Mama enggak mau tahu, pokoknya kamu harus pulang hari ini juga!" ucap nyokap kekeh. Heran deh kenapa maksa kayak gini, padahal enam tahun gue jauh dari rumah, dia enjoy aja, emang suka maksa, tapi enggak pernah sampe nyusulin kayak gini juga. "Mama enggak nerima penolakan!"
"Jess di sini kerja, Ma. Enggak mungkin Jess tinggal gitu aja, itu namanya gak profesional doang."
"Alah, emang gaji kamu berapa sih sampe harus profesional segala, sampe kamu nolak permintaan Mama?"
Gue memutar bola mata muak. Harusnya detik ini kita lagi kangen-kangenan, tapi kalau nyokap nyebelin kayak gini rasanya ogah banget.
"Bukan masalah gaji, Ma. Kalau emang Mama mau Jess pulang, Jess bakal pulang, kok, tapi gak detik ini juga, Jess masih banyak pekerjaan."
Gila aja gue ninggalin pekeraan di sini, siapa yang mau periksa hasil ulangan ratusan murid, terus ngisi rapot mereka dengan belasan hasil ujian mata pelajaran.
"Ya udah, kapan kamu pulangnya?" tanya Mama yang mulai luluh. Syukur deh, enggak harus debat lagi.
"Sekitar dua mingguan kalau enggak ada kendala."
"Lama amat!"
"Makanya doain biar lancar."
Entah perasaan gue tiba-tiba enggak enak, nyokap tiba-tiba datang, tiba-tiba maksa-maksa gue pulang. Kayaknya ada sesuatu yang enggak beres, deh, tapi apa? Apa ini firasat bahwa nanti akan ada sesuatu yang buruk yang akan menimpa gue?
Bandung
Selasa, 12 Mei 2020
01.00 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [REPOST]
RomansaBagi sebagian orang, menikah di usia yang masih muda bukanlah sebuah impian, termasuk bagi Mario dan Jesika. Apalagi keduanya menikah karena perjodohan. Pada dasarnya, mereka masih ingin menikmati masa remaja dan meraih cita-cita. Maka dari itu, Mar...