29

3.3K 160 11
                                        

Mario berhasil meyakinkan gue untuk mengizinkannya pergi ke luar negeri bersama Raline untuk mencari ayah Jason, tentu bersama bocah itu juga.

Namun tetap, rasanya hati gue masih nggak rela mengingat nanti mereka akan berduaan. Nggak sepenuhnya berduaan juga, sih, tetapi tetap aja kan apa pun dapat terjadi di antara mereka tanpa sepengetahuan gue.

Mario pergi bersama seseorang yang mencintainya, bersama seseorang yang tempo lalu membujuk gue supaya relain Mario untuknya, bersama seseorang yang tempo lalu menatap gue nggak suka karena gue main sama anaknya.

Entah berapa lama pencarian mereka, satu minggu kah atau satu bulan. Gue di sini menunggu tanpa kepastian, tetapi Mario berkata, ia akan secepatnya pulang ketika menemukan titik terang.

Kapan titik terangnya? Nggak ada yang tahu, gue cuma bisa berdoa semoga ayah Jason lekas ditemukan agar Mario lekas kembali.

Iya, nggak serela itu gue melepas Mario untuk pergi. Apalagi kita baru baikan, tetapi hal itu tidak bisa dihindari, gue sama Mario akhirnya harus berpisah kembali.

Kenapa nasib gue gini banget, sih, tapi kalau gak gini Raline pasti ngarepin Mario terus. Tuh kan serba salah.

Kenapa hidup Mario bikin gue galau terus sih?

Gue menghela napas berat seraya menatap rumah yang sebentar lagi akan gue tinggalin, setelah itu memasuki kendaraan yang akan membawa gue pulang ke Bandung.

Iya, Bandung, kota favorit juga kota di mana gue kerja.

Anak sekolah udah mulai pada masuk, nggak etis dong kalau gurunya masih meliburkan diri. Lagipula ngapain gue masih di sini, di sini paling gue cuma mikirin si Mario.

Mending kerja kan, ngurusin anak-anak gue yang nggak kehitung itu.

Ngomong-ngomong mama masih melarang gue buat pergi, cuma karena gue anaknya bandel ya jadi gak gue dengerin, lagipula udah tanggung jawab gue.

Mario juga nggak tahu kalau gue pergi. Gue lupa bilang kalau gue bakal balik ke Bandung lagi, lalu saat gue mau menghubungi, dia nggak bisa. Jadi, dia nggak tahu.

Bodo amatlah ya, yang penting gue udah pamit sama mama papa mertua. Pasti nanti kalau masih butuh gue, dia bakal hubungin atau nyariin. Kalau nggak, fix mungkin Mario udah kepincut lagi sama Raline.

***

Sudah seminggu gue meninggalkan Jessi, tanpa menghubunginya sama sekali. Bukan apa, gue cuma takut kangen sama dia yang malah bikin nanti gak fokus pada tujuan awal kenapa gue ninggalin dia, yaitu mencari ayah Jason.

Gue ngelakuin itu bukan semata karena kasian sama Raline dan Jason yang bakal gak dianggap sama keluarganya kalau nggak nemuin ayah bocah itu, tapi demi keutuhan rumah tangga gue juga.

Gue nggak mau Raline terus minta tolong sama gue soal Jason bahkan sampai minta dinikahin segala, sementara gue udah punya Jessi. Kalau kita berhasil nemuin ayahnya, seenggaknya nanti Jason dijagain sama laki-laki itu.

Selain berharap semoga secepatnya nemuin laki-lagi itu, gue juga berharap kalau laki-laki itu adalah orang baik yang bakal nerima Jason.

Walau pencarian kita terkesan telat, tetapi itu lebih baik daripada nggak sama sekali. Cukup menyesal, sih, kenapa nggak dari dulu gue bantuin Raline buat nyari ayahnya Jason.

Hidup gue memang penuh penyesalan. Makanya, gue nggak mau ada penyesalan-penyesalan lain yang mungkin aja gue ciptain selanjutnya. Anggap aja saat ini gue lagi ngelakuin antisipasi.

Gue udah datangin tempat hiburan malam yang Raline datangi waktu itu, siapa tahu ada yang masih ingat bahwa beberapa tahun yang lalu Raline pernah datang, tetapi tentu saja tidak ada yang ingat. Pengunjung bukan Raline saja dan hal-hal dari yang terkecil hingga hal yang terbesar dapat  terjadi di sana, tidak mungkin semua orang dapat mengingat apa yang telah terjadi apalagi kejadiannya terbilang sudah lama.

Kemudian kita juga udah minta rekaman CCTV tempat itu, rekaman beberapa tahun yang lalu. Hal itu juga tidak membuahkan hasil, bukan tidak sebenarnya, hanya saja dalam pencarian ini tidak dilakukan oleh profesional, hasilnya mungkin akan lama dan gue udah nggak sabar.

Apa gue perlu sewa detektif biar kita nggak capek dan puising?

“Raline, apa kamu tahu yang sebenarnya mengenai ayah Jason?” tanya gue.

Pertanyaan yang selalu ada dalam benak, tetapi nggak pernah gue utarakan walau rasa penasaran menjadi sangat besar. Alasannya karena gue nggak mau nyinggung dia, gue nggak mau Raline merasa malu atau terhina karena pertanyaan gue, karena Raline juga nggak pernah menyinggung sama sekali mengenai siapa ayah Jason, gue nggak enak kalau harus tiba-tiba bertanya.

Namun kini, gue berhasil menanyakan hal itu. Lega rasanya.

Gue menatap Raline tepat di netranya, tetapi secepatnya manik itu bergerak ke arah lain. Wanita itu nggak berani menatap gue balik. Gue tebak, dia pasti mengetahui siapa ayah Jason, tidak seperti apa yang diakuinya selama ini kepada gue.

Raline berbohong. Kenapa gue baru menyadarinya sekarang?

Gue menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya secara perlahan dan meraih jemari wanita itu untuk gue genggam. "Aku nggak bakal marah kalau kamu mau mengakuinya sekarang."

Jujur gue sedikit kecewa sama Raline karena udah nutup-nutupin semuanya, tetapi gue juga nggak mungkin marah. Semuanya udah telanjur dan marah-marah bukan solusi untuk saat ini, marah-marah nggak nyelesain masalah. Justru gue harus menghadapi Raline, gimanapun caranya supaya dia mau bilang siapa ayah Jason.

"Iya, aku tahu," ucap Raline, menggulirkan kembali bola matanya hingga kami saling bertatapan.

"Dia juga mau bertanggung jawab waktu itu, tapi aku nggak mau karena aku cintanya cuma sama kamu. Aku pikir selama ini, aku bisa bikin kamu cinta lagi sama aku, tapi kenyataannya sampai sekarang enggak."

Wanita itu secara tiba-tiba melepaskan tangannya yang gue genggam.

"Bahkan seminggu kita di sini aku masih berharap."

Pantas saja selama kita sampai di negara ini, Raline selalu mengulur waktu saat gue mengajaknya mencari ayah Jason.

"Maaf Raline—"

"Iya, aku tahu, Mario," potong Raline seakan mengetahui apa yang akan gue katakan, baguslah supaya gue nggak harus ngulang-ngulang terus menjelaskan kalau gue nggak bisa lagi bersama dia.

"Makanya mulai sekarang aku mau mundur aja."

Rasanya, kayak ada beban berat yang gue angkat kemudian lenyap begitu aja setelah gue mendengar pengakuan dari mulut Raline. Tubuh gue rasanya ringan, sesak yang gue rasakan berangsur menghilang.

Ajaib.

"Makasih, Raline!" ucap gue gembira dan entah mengapa wanita itu tertawa walau matanya kini terlihat berkaca.

"Seneng banget kayaknya."

"Sory." Gue ikut tertawa kecil, menyadari kesalahan kecil yang gue lakukan.

Raline mungkin masih berat buat lepasin gue, sementara gue terlalu seneng saat Raline melakukan hal itu. Gue akui, dia memang hebat, berani melepas apa yang diinginkannya.

"Aku yakin, ayah Jason itu pasti lebih baik."

"Iya, tapi sekarang aku nggak tahu dia masih mau tanggung jawab atau nggak."

"Pasti mau, jangan nyerah sebelum mencoba!" ucap gue membuat Raline kembali mendongak setelah sebelumnya menunduk, mungkin termotivasi dengan apa yang gue katakan. "Ayo kita cari dia sekarang! Kamu pasti tahu di mana dia kan?"

Love Scenario [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang