12

3.5K 261 1
                                    

Acara reuni yang tempo hari Leo informasikan kini telah tiba, gue datang bareng dia dengan dresscode yang sebelumnya sudah ditentukan, bahkan cowok itu yang milihin gue pakaian mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala, sampai wajah pun dia yang dandanin.

Jari-jemari dan segala yang ada pada diri Leo memang tidak ada yang patut diremehkan lagi. Di tangan dia, pasti semuanya bakal bagus. Kayak gue, gue merasa keren dan percaya diri setelah ditangani Leo. Pokoknya dia totalitas banget saat pertama kali bilang pengen ngerubah penampilan gue.

Udah banyak yang datang, udah banyak juga gue nemuin orang-orang yang masih gue kenal. Rata-rata mereka udah glow up semua, cantik, ganteng, pokoknya keren. Untung gue mau aja diapain sama Leo, jadi sekarang gue enggak malu-malu amat sama diri sendiri. Coba tadi gue nolak, gak kebayang gimana dekilnya gue sekrang ketemu mereka-mereka.

Leo masih asyik menyapa orang-orang, sementara gue udah gak kuat sama kaki yang mulai sakit, gak kuat karena pake sepatu yang haknya tinggi, gua gak terlalu biasa.

"Le, duduk yuk!" ajak gue seraya menarik sedikit lengannya.

Cowok itu menoleh menatap gue dengan mata sedikit melebar. "Bentar, masih banyak orang-orang yang belum gue sapa!" ujarnya.

Gue menggulir kedua bola mata malas. "Ya udah gue duduk duluan aja, kalau lo udahan langsung cari gue, ya, pokoknya lo harus duduk deket gue!!" ucap gue memaksakan kehendak Leo karena enggak mau planga-plongo di acara ini sendirian. Kalau enggak sama dia, gue pasti sendiri, karena cuma cowok itu yang masih berteman sama gue.

Gue akhirnya bisa duduk setelah sebelumnya mengambil segelas minuman, kemudian menikmati minuman itu seraya memerhatikan sekitar, memerhatikan teman-teman yang datang dan berinteraksi satu sama lain dengan menyenangkan. Mereka bener-bener reuni, gak kayak gue yang cuma ngumpet di pojokan.

Beberapa saat kemudian, kehebohan tertangkap indra pendengaran gue yang membuat gue lantas menoleh ke sumbernya. Gue yang lagi duduk ini enggak bisa melihat apa yang terjadi karena sudah dikerubungi orang-orang yang gue yakin pasti juga lagi menyaksikan apa yang kini terjadi.

Apa iya ada artis? Rasanya gue enggak pernah denger berita perihal ada temen seangkatan gue yang jadi artis, kalau selebgram sama youtuber, sih, lumayan banyak, tapi kayaknya enggak bakal seheboh itu.

Gue mengangkat bahu tak acuh, lebih memilih menundukan kepala dan mengalihkan seluruh atensi ke layar ponsel. Memeriksa notifikasi salah satu aplikasi karena sebelumnya gue mengunggah sebuah foto di sana.

Banyak yang kasih komentar dan lagi-lagi kebanyakan anak didik gue yang menyatakan bahwa mereka kangen dan menyatakan kalau gue cantik. Gue terkekeh sebelum akhirnya membalas satu per satu komentar itu, memberi tahukan kalau gue juga kangen sama mereka dan mengucapkan terima kasih karena udah muji gue.

"Jadi itu, ya, anak haram suami lo?" ucap seseorang serta-merta masuk ke telinga gue.

Tentu gue sangat terkejut mendengar kalimat jahat itu. Gue lantas langsung menoleh kepada seseorang yang mengucapkannya yang kini sudah duduk manis di sebelah gue, Leo.

"Maksud lo apa?" tanya gue bener-bener gak ngerti. Dia ngomomong sama siapa, sih?

"Arah jarum jam sembilan!"

Gue lantas menoleh ke arah yang diinteruksikan cowok itu karena gue yakin dia ngajak ngomong gue dan seketika itu juga indra penglihatan gue menangkap orang-orang yang jelas gue kenal.

Gue yakin orang-orang itu juga yang bikin heboh beberapa menit lalu, Mario dan Raline, juga anak kecil yang ada di gendongan Mario.

Jadi anak haram yang dimaksud Leo itu Jason?

Gue langsung menginjak kaki cowok itu dengan heels gue yang runcing hingga sang empunya memekik kesakitan.

Rasain!

"Kok lo nginjek gue?" pekik Leo seraya menatap gue dengan ekspresi antagonisnya, juga diakhiri ringisan.

"Jason gak haram, mulut lo yang haram!" ucap gue dibanding menjawab pertanyaanya.

Gue kayak ... gak rela aja anak selucu dan segemoy Jason dikatain kayak gitu.

"Haram-haram, emang Jason itu duit hasil korupsi?!"

"Oh, namanya Jason?" tanya Leo. "Emang anak hasil korupsi, kan?" lanjutnya diakhiri kekehan.

Astaga!

Kalau gak inget bibir seksi Leo itu di-filler yang katanya mahal, udah pasti gue tampar bibirnya, biar tahu rasa dia dan gak terlalu julit.

"Lo udah pernah ketemu Jason?"

"Udah, kemarin, pas keluarga gue ke rumah keluarga Mario."

"Kok lo enggak cerita?!"

"Takut dijulitin lo!" jawab gue ringan membuat Leo memekik tak terima.

***

Gak kerasa, acara udah mulai habis dan berjalan cukup menyenangkan menurut gue. Gak terlalu rugilah gue datang.

Satu per satu orang-orang yang ada di dalam gedung tempat dilaksanakannya acara mulai keluar. Leo udah pulang beberapa menit sebelum acaranya selesai, katanya ada sedikit masalah yang harus segera diselesaikan di salon miliknya.

Gue terpaksa harus pulang sendiri naik kendaraan umum karena tadi gue datang pake kendaraan milik Leo.

"Jessi!" panggil seseorang lantas membuat gue menoleh ke sumber suara.

"Mario?" Gue enggak nyangka cowok itu bakal manggil dan nyamperin gue. Sendiri pula, di mana Raline dan Jason? Padahal tadi mereka persis seperti keluarga bahagia.

"Ada apa?" tanya gue setelah Mario berdiri tempat di hadapan gue. Apa mungkin gue punya utang yang belum dibayar ke dia?

"Gue antar pulang yuk!"

"Eh, gak usah," jawab gue refleks. "Gue bisa pulang sendiri, lagipula kalau lo anterin gue, Raline sama Jason pulang sama siapa?"

"Aman, mereka udah pulang duluan, sekalian gue mau ngomong sesuatu sama lo."

Sebenernya gue juga mau ngomong sesuatu sama Mario perihal perpisahan, kalau gue udah ada di rumah pasti susah, kemarin aja cowok itu sampe harus diseret keluar sama security hanya karena mama gak sudi dia datang.

Raline sama Jason gak ada, hanya gue sama dia aja. Kapan lagi kan gue bisa ngomong secara pribadi sama dia, mumpung gue lagi mau dan urusan kita cepet selesai.

"Ya udah deh, gue juga mau ngomong sama lo."

Mario tersenyum setelah mendengar ucapan gue. Barangkali dia heran karena sekarang gue berubah jadi baik dibanding saat pertama kali kita ketemu, gue akui kalau kemarin gue jahat banget.

"Gue punya saran tempat yang bagus buat kita ngobrol, kita ngobrol di sana, ya?"

"Lo atur ajalah," jawab gue, merasa kita emang perlu tempat kayak gitu, karena sepertinya ini akan menjadi obrolan terpanjang kita setelah sekian lama.

Gue bener-bener pengen kita cepet selesai.

"Oke!"

Love Scenario [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang