"Astaga, pembicaraan apalagi, sih?" ucap gadis itu diikuti kedua bahu yang turun dan tertawa yang terdengar dipaksakan.
Gue sadar kalau Jessi kayaknya udah males, tapi kalau gue udahin gitu aja, itu artinya enggak adil buat gue kan? Gue sangat butuh jawaban, dan jawabannya itu iya, Jessika mau memulainya lagi bersama gue. Gue berharap enggak ada penolakan di sini.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, lo mau kan memulai semuanya dari awal lagi sama gue?" tanya gue tepat pada intinya, gue bener-bener udah enggak bisa berbasa-basi lagi.
Kami berdiri sejajar, membuat gue bisa dengan leluasa menatapnya yang kini tersenyum seraya membalas tatapan gue. Gue ikut tersenyum, tetapi hanya beberapa saat saat kepala gadis itu menggeleng tegas.
"Maaf Mario, gue enggak bisa."
"Kenapa?" Pertanyaan itu terlontar begitu aja dari mulut gue. "Lo kan udah tahu semuanya, termasuk soal Jason bukan anak kandung gue."
Gue tentu butuh alasan atas penolakannya, rasanya belum adil aja padahal dia udah tahu semuanya. Minimal gadis itu harus memikirkannya terlebih dahulu sebelum memberi jawaban. Bukan langsung menolaknya mentah-mentah seperti sekarang.
"Bukan karena itu!" Jessika menatap gue. "Tapi karena gue enggak punya alasan buat balik lagi sama lo, Mario."
Gue terdiam mendengar alasan Jessi enggak bisa bersama-sama lagi sama gue. Cukup terkejut karena jawabannya cukup sederhana, tetapi berhasil bikin gue tersentil, karena dia enggak punya alasan buat kembali lagi. Gue paham, selama ini entah yang ada di diri gue atau sikap gue selama ini ke dia enggak ada yang patut buat dipertimbangkan. Gue selalu bersikap buruk kepadanya, haruskah saat ini gue bersikap tahu diri dan menyerah begitu aja?
"Maaf kalau bikin sakit hati, tapi sampai kapan pun gue enggak akan pernah kembali lagi sama lo." Gue menatap Jessika lebih dalam kala gadis itu tersenyum setelah mengatakan kalimat yang bener-bener bikin perasaan gue semakin tidak karuan.
Gue belum mampu merespons apa pun ketika dia menepuk bahu gue beberapa kali sebelum akhirnya melangkah menjauh. Apa gue seburuk itu?
"Jessi!" panggil gue membuatnya berhenti dan kembali berbalik menatap gue. "Gue harus apa biar lo percaya kalau gue serius sama lo. Gue enggak main-main, gue cinta sama lo dan gue mau kita kembali!"
Jessika mengangkat kedua bahunya. "Enggak ada yang perlu lo lakuin karena menurut gue dari awal kita enggak pernah ada hubungan apa-apa, kita cuma dua orang asing yang kebetulan dijodohin aja, terus nikah, kebetulan juga lo baper sama gue atas ulah lo sendiri."
Ya, gue bisa cinta sama Jessi karena ulah gue sendiri. Apa ini semacam karma karena dulu gue ninggalin dia gitu aja, tetapi kini gue justru ngejar-ngejar dia?
"Kalau boleh jujur, lo cocok sama Raline, dari awal kalian juga udah pacaran, kenapa enggak balikan sama dia aja?" Jessika enggak memberikan kesempatan untuk gue berbicara, kini malah menyinggung Raline. Apa ini ada hubungannya dengan kepulangan dia yang tiba-tiba tadi, dan apa Raline yang menyuruh Jessi berbicara seperti itu?
"Lo pastinya udah tahu konsekuensi ngakuin Jason sebagai anak lo kan? Kasian dia kalau lo tetep kekeh ngikutin perasaan sendiri, karena yang dia tahu lo itu bapaknya."
"Maaf bukan maksud sok tahu dan mau campurin urusan lo, tapi gue cuma enggak mau lo terus-terusan berharap sama sesuatu yang jawabannya udah pasti enggak, lebih baik lo sama Raline aja, Raline sama Jason lebih membutuhkan lo daripada gue." Embusan napas terdengar di indra pendengaran, sementara gue terdiam mencerna semua kalimat yang diucapkan gadis itu, gue bener-bener gak nyangka.
"Gue harap lo ngerti apa yang gue omongin barusan."
Jessi kembali membalikan tubuhnya, kemudian kembali melangkah meninggalkan gue. Gue baru tersadar setelah gadis itu berjalan beberapa meter di hadapan gue.
Gue mengacak-acak rambut frustrasi, menyesali tubuh yang berubah menjadi patung saat bersama dengan Jessi sehingga tidak bisa mencegahnya sama sekali. Gue kembali kehilangan kesempatan. Tak peduli petugas keamanan yang mungkin akan terganggu, gue berteriak melampiaskan kekesalan, kemudian meneriaki Jessi juha yang nyaris masuk ke dalam rumahnya.
"Tapi gue cintanya sama lo!!"
***
"Dari mana kamu?" Gue berjalan ke kamar mama bertepatan dengan wanita itu keluar dari sana. Syukurlah ditinggal sebentar saja beliau sudah mau berbicara dan berhenti mengurung diri.
Dari pertanyaannya, gue tahu mama sudah tahu kalau gue habis keluar. "Ketemu temen sebentar," jawab gue sementara beliau langsung menganggukan kepala.
"Barusan di depan ada apa, kok kayaknya Mama denger ada ribut-ribut?"
Gue kontan langsung menggelengkan kepala begitu mendengar pertanyaan mama berikutnya. Kalau gue jujur, dia pasti ngamuk, karena yang bikin keributan itu orang yang kini mama tidak sukai.
"Mama salah denger kali!"
Wanita itu mengangkat kedua bahunya tak acuh, kemudian melangkah pergi begitu aja yang membuat gue menghela napas lega. Rasanya hari ini berat banget karena banyak hal tak terduga menghampiri gue, capek banget.
Gue terkulai lemas di atas sofa, kayak tulang gue berubah jadi lunak semua, tapi gue juga lega secara bersamaan. Ini mengenai Mario sama Raline, barangkali Jason juga.
Gue udah bicara kepada Mario kalau gue enggak bisa terima ajakan dia untuk memulai semuanya dari awal, sekaligus mengabulkan permintaan Raline yang ingin gue merelakan Mario untuknya, urusan gue sama wanita itu udah selesai, tinggal bagaimana cara dia buat dapetin Mario kembali aja. Lagipula dari awal gue udah enggak berminat sama cowok yang udah ninggalin gue tanpa kabar selama bertahun-tahun dan pulang membawa kebohongan-kebohongan itu.
Semoga nantinya mereka berakhir bahagia, begitu pun gue tentunya.
Entah yang keberapa kalinya, gue menghela napas gusar, dan detik berikutnya mama tiba-tiba kembali dengan segelas air minum berwarna oranye di tangannya.
"Pulang-pulang mukanya sedih kayak gitu," celetuk mama seraya duduk di sebelah gue, yang lantas membuat gue meraba wajah dengan kedua tangan.
"Masa sih?" tanya gue tak percaya. Masa iya muka gue sedih, kalau muka lelah baru gue percaya karena memang enggak ngerasain itu sama sekali ... hanya saja, entah kenapa tiba-tiba aja gue ngerasa gelisah, kayak ada nyesek-nyeseknya gitu.
"Ngaca aja coba kalau enggak percaya!"
Berhenti menyentuh wajah dan mengabaikan jawaban mama, gue menatap mama dalam membuat wanita itu juga menatap gue. "Kenapa?!"
Gue menggeleng seraya memaksakan senyum. "Mama udah enggak marah kan sama Jessi?"
Mama berdeham panjang dengan ekspresi wajah seperti sedang berpikir, tetapi kemudian menatap anaknya kembali. "Masih ngambek, sih, tapi ya gimana orang kejadiannya udah kok!"
"Tapi kamu harus janji kalau ada apa-apa harus bilang Mama!"
Gue kembali menggerakan kepala ke atas dan ke bawah. Bibir gue mengerucut, kali ini bener-bener merasa sangat sedih. Entah kenapa tiba-tiba aja merasa terharu, pengin nangis sekenceng-kencengnya, tapi gue malu karena udah gede.
Gue memeluk mama.
"Sekarang cerita, kamu kenapa sedih kayak gitu?"
"Enggak apa-apa, cuma terharu aja karena jarang-jarang Mama perhatian banget sama Jessi kayak gini."
"Mulai deh!!" ucap mama dengan intonasi tinggi seraya menjauhkan gue dari tubuhnya, beliau terlampau peka gue lagi nyinggung masa lalu.
"Bercanda!" Gue tertawa sekilas. "Tapi kalau sekarang Jessi serius ...."
"Kalau sebenernya Jason itu bukan anak Mario, menurut Mama gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [REPOST]
RomanceBagi sebagian orang, menikah di usia yang masih muda bukanlah sebuah impian, termasuk bagi Mario dan Jesika. Apalagi keduanya menikah karena perjodohan. Pada dasarnya, mereka masih ingin menikmati masa remaja dan meraih cita-cita. Maka dari itu, Mar...