2

4.8K 313 11
                                    

Ada yang menyakitkan, tapi bukan kenangan bersama mantan.

Gue terkekeh setelah membaca ulang caption dan foto Instagram yang beberapa saat lalu gue posting. Gak perlu nunggu lama juga buat postingan itu banyak yang kasih love sama komen, yang komen itu siapa lagi kalau bukan anak murid yang gue wali kelasin. Gue jadi inget, pas pertama kali jadi wali kelas mereka, gue suruh mereka buat aktifin notifikasi postingan Instagram gue biar kalau ada postingan terbaru mereka bisa langsung liat. Mereka nurut, karena gue kasih alasan kalau gue enggak masuk kelas atau setiap ada ulangan nilainya bakal gue umumin di sana, tapi sebenarnya enggak juga, sih, itu cuma akal-akalan biar followers gue nambah.

aldiatama_ Jangan inget-inget mantan, Bu, kalau masa depan udah ada di depan mata

Gue kembali tertawa. Kali ini menertawakan salah satu komentar yang banyak dibalas.

|itsmewul @aldiatama emang
|siapa
|masa depan Bu @jeesikaa?
|aldiatama_ @itsmewul gua
|glngprtm @aldiatama_ ngarep
|luu
|bambang!
|putriiiiii @aldiatama sebagai
|kembaran Bu @jeesikaa, gua gak
|terima ya lu ngaku-ngaku kayak
|gitu
|alviantara @putiiiii cemburu
|tuh
|yang digombalin Aldi, Bu Jess
|mulu
|putiiiiii @alviantara lu kali
|yang
|cemburu, enak aja!
|keyshabintang cie @putriiiiii
|sama
|@alviantara main
|cemburu-cemburuan
|chindy_ cie @putriiiii
|@alviantara
|silviyya cie @putriiiii
|@alviantara
|aldiatama_ cie @putriiiii
|@alviantara
|itsmewul cie @putriiiii
|@alviantara
|glngprtma cie @putriiiii
|@alviantara

Enggak ada bosennya emang kalau liat tingkah mereka ini, entah di dalam kelas ataupun di sosial media kayak gini. Mereka selalu kompak dan asyik, walau kadang nyebelin sampe emosi ke ubun-ubun mereka bisa bikin gue happy. Rasanya gak rela mengingat ketika esok libur habis, gue bukan wali kelas mereka lagi.

"Permisi, Neng. Udah sampe."

Suara seseorang menyadarkan dari sejenak lamunan gue. Seketika itu juga gue menoleh ke samping kiri, benda yang membawa gue dari Bandung ke kota kelahiran kini berhenti di sebuah halaman besar rumah nan asri.

Ternyata, semales-malesnya pulang, gue tetep rindu sama rumah ini.

"Pak, tolong bawain semua barang-barang saya, ya!" ucap gue kepada Pak Rahmat, kemudian keluar dari dalam mobil dan sedikit berlari menuju rumah.

Gue kangen kamar, kangen kasur empuk, kangen bantal sama guling, kangen keuwuan nuansa kamar gue!

Kurang lebih enam bulan yang lalu gue pulang, itu pun hanya sekitar tiga harian karena lagi-lagi gue punya tanggung jawab yang mestinya enggak ditinggalin begitu aja. Waktu itu gue pulang karena apa, ya? Karena lagi-lagi nyokap maksa, tapi waktu itu gue pulang dengan suka rela.

"Jesika pulang!!" teriak gue sekuat tenaga, sampe tenggorokan rasanya kering. Gue terbatuk-batuk.

Beberapa saat kemudian, gue melihat Bik Jumi dan Bik Lela berjalan tergopoh-gopoh hendak menghampiri. Mungkin mereka kaget denger suara gue yang menggelegar.

"Alhamdulillah, Non Jessi akhirnya pulang!" pekik wanita seumuran mama gue itu, Bik Jumi. Beliau memegang kedua lengan gue, meremasnya pelan. Gue tebak, wanita yang seinget gue udah kerja di rumah sejak gue kecil itu pasti kangen.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Bik Leha. "Non Jessi apa kabar toh?"

Gue tersenyum menanggapinya seraya menatap keduanya secara bergantian. "Iya, Bik. Jessi baik, kok!" jawab gue. "Kalau Bik Jumi sama Bik Leha gimana kabarnya?"

"Kami baik juga!" ujar Bik Leha.

"Non mau minum apa atau mau makan, pasti capek kan?" sahut Bik Jumi dengan pertanyaannya. "Bibik siapin, ya?"

Gue segera menggelengkan kepala, menolak karena tidak haus ataupun lapar sama sekali selepas perjalanan jauh. Hanya lelah, mungkin setelah ini gue bakal tidur aja.

"Enggak usah, Bik. Nanti kalau haus atau lapar, Jessi bisa bikin sendiri," jawab gue serya memanjangkan leher, menengok kanan kiri, depan belakang mencari seseorang yang gue harap menyambut kedatangan gue seperti Bik Jumi dan Bik Leha, tapi sampai leher gue panjang beneran juga orang yang diharapkan itu enggak kunjung muncul.

"Mama ke mana, Bik?"

"Nyonya ke rumah Non Renita sama Den Tian, Non. Katanya, Non Vanesa ngambek, mogok makan, makanya ke sana mau bantu bujukin," jawab Bik Jumi diakhiri kekehan.

Mungkin menurut Bik Jumi hal itu lucu. Bocah, lima tahun, ngambek gak mau makan dan berbondong-bodong pada bujukin, tapi bagi gue enggak lucu samsek.

Gue speechless, kayak ... what The Fuck, jadi gue enggak lebih penting daripada bocah yang masih bisa dibohongin supaya mau makan lagi itu. Emang orang tuanya gak becus apa cuma ngebujuk gitu aja harus mama yang tanganin? Padahal gue jarang pulang, harusnya mama prioritasin gue dulu, sambut gue. Gimana pun gue ini anaknya, emang enggak kangen apa?

Err, iya tahu, gak seharusnya gue iri sama anak kecil, apalagi dari awal gue males pulang, tapi tetep aja woy ... asudahlah.

"Ya udah, deh, Bik. Jess mau ke kamar aja, mau istirahat, capek." Tanpa menunggu jawaban, gue langsung meninggalkan kedua wanita itu, berjalan lesu menaiki satu per satu undakan tangga.

Gue membuka pintu kamar lebar-lebar setelah sampai dan di dalamnya bikin gue kaget setengah mati. Ada yang beda, tapi ....

"What the ... fuck?!" pekik gue begitu sadar suasana kamar yang sudah diubah total. Enam tahun gue jarang pulang, baru kali ini kamar gue ada yang ubah. Berani bangen. Apalagi pakai warna yang sangat gue benci. Hilang sudah kuning-kuning favorit gue itu.

Emosi karena nyokap gue, sekarang karena kamar gue kini bergumul semua di dalam dada. Jantung gue berdebar cepat, napas gue memburu.

Gue masuk lebih dalam ke ruangan itu dengan kaki yang menghentak-hentak, kemudian membanting pintu sekuat tenaga hingga menimbulkan suara yang gaduh. Bodo amat, gue gak peduli, gue emosi!

"SIAPA YANG NGUBAH KEUWUAN KAMAR GUE, ANJEENG?!" teriak gue sekuat tenaga.

"Gua!" Sebuah suara serta-merta masuk ke gendang telinga.

Gue lantas membalikan tubuh ke sumber suara. Lagi, gue terdiam, menatap sosok asing yang hanya mengenakan selembar handuk di pinggangnya itu, banyak tetes-tetes air di tubuhnya.

Sekarang gue bingung harus menjabarkan perasaan gue kayak gimana. Yang jelas, gue marah, kesel, sedih, pengin mewek, dan rasa bingung mendominasi sampai gue gak tahu saat ini harus ngelakuin apa.

"Gue harap lo enggak lupa sama orang yang ada di hadapan lo ini," ucap cowok itu.

Bagai kaset rusak, suara beratnya terngiang-ngiang di telinga gue.

Lupa katanya?

Gue enggak akan pernah lupa sama orang-orang yang udah bikin hidup gue berada di titik terlemah, titik terendah.

"Emangnya lu siapa?" tanya gue.

Cowok itu tersenyum sinis, mungkin dia tahu gue pura-pura lupa.

"Gue?" tanyanya balik. "Suami lo."

Love Scenario [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang