15

4.1K 253 2
                                        

Instagram: kakrastory
"Kenapa, sih, kamu lesu kayak gitu?!" bentak mama saat gue selesai menarik dan mengembuskan napas secara gusar. Beliau mungkin merasa terganggu karena gue melakukan hal itu lebih dari sepuluh kali.

Gue emang lagi gegana alias gelisah, galau dan merana, gara-gara mikirin Jessi yang enggak ada habisnya.

Gue pikir, setelah kembali ke tanah air semuanya akan lebih mudah, tetapi ya tentu kenyataannya tidak seperti itu. Gue masih kesusahan walau hanya ingin memandang wajahnya saja.

"Mario lagi mikirin Jessi, Ma," jawab gue jujur.

Mama langsung mendengkus kalau gue enggak salah denger. Lah, kenapa?

"Mama enggak suka sama dia!!" ujar wanita yang telah melahirkan gue itu secara tiba-tiba.

Gue tentu aja terkejut. Saking terkejutnya, jantung gue berasa kayak mau copot.

"Kok gitu, Ma?!"

"Kenapa, sih, teriak-teriak?" Suara seseorang serta-merta tertangkap indra pendengaran gue, bertanya kemudian duduk di sebelah mama.

"Mama katanya enggak suka sama Jessi, Pa!" adu gue seraya memusatkan seluruh atensi kepada pria itu.

Ekspresi wajah papa berubah menjadi tidak biasa. Bukan cuma gue, pria yang juga turut berkontribusi atas terciptanya gue itu juga sepertinya terkejut.

Jelas aja, mama serta-merta membuat pengakuan seperti itu. Padahal enam tahun yang lalu, beliau yang paling gigih membujuk gue buat nikah di bawah umur bersama Jessi. Bahkan wanita itu sampai nangis-nangis.

"Kenapa, Ma?" tanya papa diangguki gue.

Gue kemudian mengalihkan perhatian dari pria itu ke mama, menatap wajah antagonisnya yang persis seperti para ibu mertua di sinetron yang sering ditonton Mama Arum pas gue masih ada di sana.

"Enggak suka aja, Mama gak suka sama Jessi, mama juga enggak suka sama Arum!!" ujar wanita itu, tetapi tidak membuat gue puas. Apa karena kejadian tempo hari?

"Gara-gara kemarin?" Papa kembali bertanya. Ternyata kita berdua memikirkan hal yang sama. Baguslah.

Mama mengangguk dengan wajah cemberutnya. "Apalagi?" tanyanya sewot dengan kedua alis menukik. "Mama itu enggak suka banget sama sikap Arum kemarin, bukannya dengerin dulu penjelasan sama permintaan maaf kita, malah nyerocos aja nyalahin kita dan pergi gitu aja!"

"Pokoknya Mama enggak suka!" serunya sebagai penutup.

Gue cuma bisa mengembuskan napas secara gusar. Enggak tahu harus ngapain kalau malah begini jadinya, rumit dan semakin rumit.

Papa merangkul bahu Mama. Mereka bukan lagi pamer kemesraan, tetapi gue udah tahu dari lahir kalau itu adalah cara papa buat nenangin mama. Mama bener-bener keliatan kayak kesel banget emang.

"Wajar kalau Arum bersikap seperti itu, Ma," ucap pria itu terdengar sangat lembut di telinga gue.

Gue menajamkan pendengaran, bersiap menangkap apa yang akan papa katakan selanjutnya. Sejujurnya saat ini gue merasa sangat senang setelah mendengar kalimat yang diucapkan pria itu sebelumnya. Berarti papa berada di pihak netral, gue kira bakal terpancing emosi kayak mama.

"Coba Mama bayangin kalau seandainya keadaan dibalik." Papa kembali berucap. "Jessi yang tiba-tiba ke luar negeri tanpa izin dan pamit, terus pulang-pulang bawa anak. Gimana perasaan Mama?"

Gue menatap mama setelah papa mengutarakan pertanyaan untuk wanita itu, tetapi kini mama malah terdiam, tidak merespon merespon apa pun. Apa karena beliau lagi ngebayangin apa yang papa suruh?

Kalau iya, semoga mama sadar kalau perbuatan keluarga kita itu memang sangat menyakiti hati Tante Arum, makanya beliau melakukan hal itu kemarin.

"Tetep Mama enggak suka, Pa!" seru mama beberapa saat kemudian, lalu menatap gue yang langsung menahan napas.

Gue melirik papa sedikit, tubuhnya terlihat sedikit naik turun dan helaan napasnya terdengar. Mungkin saat ini pria itu menyerah karena tidak berhasil membujuk dan melembutkan hati mama.

"Mending kamu cepet nikahin Raline. Kasihan Jason, dia butuh kasih sayang dari orang tuanya secara lengkap!!" ucap mama begitu gue kembali lirikan mata kepadanya, kemudian bangkit dan pergi begitu aja ninggalin gue sama papa.

Gue jelas mematung, merasa sangat syok mendengar kalimat yang diucapkan mama. Rasanya gue mau pingsan aja karena satu masalah pun gue belum selesain, ini sudah ada masalah baru yang muncul.

"Mario?" Suara papa tertangkap indra pendengaran gue, gue langsung tersadar dari lamunan kemudian menoleh kepadanya. "Benar Jason anak kamu?"

Jantung gue rasanya mau copot setelah mendengar pertanyaan papa, mencerna mengapa papa bisa bertanya seperti itu. Jason memang bukan anak gue, tapi yang tahu kebenenaran itu di sini cuma gue sama Raline. Jadi enggak mungkin ada yang ngebocorin sampai papa bertanya seperti itu, sepert bener-bener ragu kalau Jason itu anak gue.

"Maaf, ya, tapi Jason itu enggak mirip kamu sama sekali," lanjutnya. Masa iya gue harus jujur sama beliau detik ini juga, gue takut papa jadi gak suka Jason tinggal di sini dan kemudian mengusirnya. Mana anak itu lagi tidur sekarang.

Namun kalau gue enggak jujur, pasti bakal menimbulkan masalah baru.

"Memang sedikit mirip Raline, tapi Jason itu lebih mirip bule," ucap papa lagi, mungkin karena gue enggak cepet merespon.

Kenapa papa bisa sepeka itu, sih?

"Jason memang bukan anak aku, Pa!" jawab gue jujur pada akhirnya. Gue enggak mau istilah, 'satu kebohongan pasti akan ditutupi oleh kebohongan-kebohongan lainnya' terjadi semakin buruk menimpa gue. Biar kali ini gue menanggung konsekuensinya.

"Sudah Papa duga." Respon papa bener-bener di luar dugaan, kini beliau terlihat sangat santai, tidak terlihat marah atau bagaimana, bener-bener biasa aja.

"Terus Jason anak siapa?"

"Raline."

"Ayahnya?"

Gue menggelengkan kepala seraya mengangkat kedua bahu karena bener-bener enggak tahu, Jason terlahir karena sebuah kecelakaan.

"Terus kenapa kamu ngakuin kalau Jason anak kamu?"

"Mario kasian sama Jason, Pa, sama Raline juga, keluarga Raline enggak nerima Jason."

"Tapi kamu enggak kasian sama diri kamu, sama keluarga kamu, tahu kan keadaannya jadi kayak gini sekarang?"

Gue mengangguk, papa terdengar menghela napas. "Kita udah jelek di mata keluarga Jessi semenjak kamu pergi tanpa pamit, kamu bikin tambah jelek lagi sekarang, Papa sampe gak tahu lagi gimana caranya biar keluarga kita terlihat bagus lagi."

Gue jadi semakin merasa bersalah. "Maaf, Pa!" Hanya itu yang bisa gue lakuin. "Mario bakal secepatnya kasih tahu Jessi tentang masalah ini."

"Masalah Jason bukan anak kamu?" tanya papa dan gue kontan mengangguk. "Emangnya itu masih penting buat Jessi?"

Ucapan papa bener-bener bikin gue enggak ngerti, gue menautkan kedua alis seraya menatapnya.

"Maksud Papa?"

Pria itu justru mengangkat kedua bahunya dan bangkit, menepuk bahu gue sebelum akhirnya melangkah pergi. Ah, sepertinya apa yang papa pikirkan dengan apa yang dipikirkan Jessi sama.

Mereka sama-sama menganggap bahwa hubungan gue sama dia cuma karena terpaksa doang, jadi menganggap bahwa apa yang akan gue jelaskan itu enggak penting.

Enggak penting bagi mereka, tapi penting bagi gue. Gue yakin kalau gue bisa menjelaskan semuanya, Jessi bakal kasih gue pertimbangan.

Gue sama Jessi pasti bakal bersatu, gue yakin.

Instagram: kakra.story

Love Scenario [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang