18

2.6K 190 3
                                    

Gue enggak berniat merahasiakan apa pun kepada mama, cuma memang gue enggak sedeket itu sama beliau sampai harus menceritakan seluruh kejadian yang menimpa hidup gue. Gue lebih deket sama papa. Lagipula waktu itu gue lagi sibuk, mana tinggal jauh darinya. Jadi, ya, gue enggak kepikiran buat memberitahukan perihal postingan Raline bersama Mario serta seorang bayi kepada mama, dan akhirnya gue melupakan hal itu hingga akhir-akhir ini akhirnya diingatkan kembali.

Gue enggak salah kan?

Namun sekarang mama ngambek, mengurung diri di kamar begitu sampai di rumah setelah sebelumnya memarahi gue terlebih dahulu. Katanya beliau merasa enggak dianggap sama gue dan lain sebagainya.

Sumpah, gue cuma bisa menarik napas dalam-dalam aja, bingung harus ngapain selain minta maaf yang sebenernya udah gue lakuin. Tinggal mamanya aja, mau maafin gue atau enggak, tapi kayaknya enggak bakal semudah itu. Sekarang aja beliau emggak keluar-keluar dari kamar walau gue udah nungguin di depan kamarnya sampe lumutan.

Kira-kira mama lagi ngapain, ya, di sana?

Apa lagi nangisin gue kayak waktu pertama kali tahu ternyata Mario udah punya anak sama perempuan lain? Kalau iya, gue jadi semakin merasa bersalah.

Selain mikirin mama, gue juga lagi mikirin Tante Ajeng. Gue tebak beliau juga lagi terguncang karena dilabrak sama mama di depan umum. Walau enggak sampe diusir security, tapi kata-kata mama pasti jauh lebih menyakitkan untuk beliau. Sudah masa lalunya diungkit, anaknya dihina pula. Ya, tapi Mario emang enggak banget, sih.

Kayaknya gue harus minta maaf sekarang, deh, biar seenggaknya sedikit lega. Udah merasa bersalah sama mama, gue juga harus merasa bersalah sama Tante Ajeng lagi. Gini amat hidup gue.

Halo Mario, ini gue Jessi.

Gue langsung mengirim kalimat yang udah berhasil diketik kepada nomor telepon yang sangat gue yakini kalau itu adalah nomor Mario. Nomor yang sering menghubungi gue semenjak kejadian tempo hari, mengirimi gue pesan singkat yang hanya gue baca beberapa kata saja sampai akhirnya gue mengetahui siapa pemilik nomor itu.

Gue curiga cowok itu dapet nomor gue dari mama sebelum malapetaka terjadi, tapi enggak apa-apa, sih, bermanfaat juga untuk gue sekarang.

Halo Jessi, ini gue Mario *tertawa*

Beberapa detik setelahnya sebuah pesan singat masuk ke ponsel gue, apalagi kalau bukan balasan dari cowok itu, gercep banget. Gue kontan mengerutkan dahi begitu selesai membaca balasannya, merasa sedikit aneh dengan kalimat yang dikirimkan Mario. Kayaknya gue terlalu berbasa-basi deh, dia jadi bingung harus ngomong apa, makanya dia bales ngikutin pesan gue sebelumnya.

Baiklah.

Maaf banget kalau ganggu waktu lo

Gue cuma mau minta maaf soal kejadian tadi

Gue minta maaf, ya, Mario,
sampaikan juga permintaan maaf gue ke Tante Ajeng

Centang dua biru, itu artinya Mario udah lihat pesan yang gue kirim barusan. Gue berharap banget mereka mau maafin gue sama mama. Gue menunggu apa yang akan cowok itu katakan, tapi beberapa menit berlalu tidak ada tanda-tanda cowok itu akan membalas pesan gue.

Apa itu artinya dia enggak mau maafin?

Gue menarik napas pasrah sebelum akhirnya meletakan ponsel sembarangan. Ya udah kali, ya? Gue bingung, kayaknya yang penting gue udah minta maaf aja. Mau dimaafin, ya, syukur, enggak juga enggak apa-apa.

Ponsel gue kembali bergetar setelah beberapa menit. Gue menatap benda itu kemudian menyentuhnya, memeriksa notifikasi yang masuk. Pesan dari Mario.

Minta maafnya kayak enggak tulus

Kok Mario balas kayak gitu?

Emangnya dia Tuhan yang bisa mengetahui tulus enggaknya seseorang?

Gue beneran tulus minta maaf. Kalau enggak tulus, ngapain gue ngelakuin hal itu, padahal yang sebenernya terjadi gue males hubungin dia.

Gue tulus

Tulus tuh minta maafnya
secara langsung secara tatap muka, bukan secara daring

Gue sedikit tersenyum setelah membaca pesan dari cowok itu. Apa coba?

Yaudah, terus lo maunya apa?

Kita ketemu

Maksudnya gue
harus ke rumah lo
gitu?

Kira-kita kalau gue ke sana, gue bakal dapet amukan Tante Ajeng enggak, ya? Serem banget, sin, kalau iya.

Ya, enggak. Ketemu di luar aja, nanti gue share lok

Yaudah

Gue mau aja ketemu. Selain sambil nungguin mama yang kayaknya enggak bakal keluar dari kamar untuk beberapa jam ke depan, juga gue mau melanjutkan obrolan berdua kami yang menurut gue masih belum selesai karena kemarin gue ngebet pulang duluan.

Gue masih pengen memperjelas soal perpisahan itu. Cowok itu membagikan lokasi yang dijanjikannya, gue langsung bergegas walau sebenernya mager banget.

Di luar sangat panas, cocoknya, ya, diem di rumah sambil rebahan.

Beberapa puluh menit kemudian, gue sampai di tempat dan kini tengah duduk di hadapan Mario yang tengah tersenyum lebar. Ekspresi cowok itu membuat gue meringis.

"Gue pikir lo enggak mau ketemu gue lagi," ujarnya membuat gue sedikit terkekeh.

Gue pikir juga begitu, tapi kenyataan, ya, sekrang gue lagi ketemu sama dia. Itu pemikiran zaman dulu, sih, gue enggak mau ketemu Mario sampai kapan pun, sampai mati sekali pun. Kalau sekarang beda lagi, mau ketemu atau enggak ketemu ya biasa aja, asal jangan ganggu aja kayak hantu.

"Gue kan mau minta maaf sama lo biar keliatan tulus!" balas gue dengan selipan nada sinis yang tentu itu cuma bercanda aja. Cowok itu langsung tertawa.

"Gue bercanda, kok, biar bisa ketemu lo aja."

Kalimat yang diutarakan Mario membuat gue memutar kedua bola mata malas. "Ah, harusnya gue minta maaf sama Tante Ajeng langsung." Gue terdiam sejenak. "Gimana keadaan nyokap lo?"

"Ya, dia kesel, terus nangis-nangis—"

"Terguncang gitu, ya?" tanya gue dan cowok itu menganggukan kepalanya.

Gue kontan meringis, seraya membayangkan bagaimana perasaan Tante Ajeng. "Gue minta maaf, ya, atas apa yang mama gue lakuin ke mama lo!"

"Sebenernya itu bukan salah mama lo, sih, malah apa yang mama lo omongin itu ada faktanya," balas Mario dan gue enggak tahu harus ngomong apa lagi, gue kayak enggak mau membenarkan atau menyalahkan apa yang diucapkannya, karena emang, ya, bener.

"Kalau keadaan mama lo gimana?" Mario kembali mengucapkan sesuatu, kali ini dia bertanya.

"Mama nangis-nangis juga," jawab gue dan Mario sedikit melebarkan matanya saat gue tatap. "Bukan karena mama lo, kok," lanjut gue buru-buru mengingat Tante Ajeng juga ada sedikit menyinggung mama.

Embusan napas seseorang di hadapan gue terdengar sebelum akhirnya kembali mengeluarkan suara. "Terus kenapa dong?"

"Gara-gara gue keceplosan kalau gue udah tahu dari lama kalau lo itu udah punya anak sama perempuan lain, ah—"

Gue meringis begitu sadar kalau ternyata gue udah keceplosan, lagi. Apa Mario juga bakal marah kayak mama, tapi apa urusannya?

"Jess, kali ini lo harus dengerin penjelasan gue!" ujar Mario seraya menggenggam tangan yang gue letakin di atas meja begitu erat. Tatapannya begitu lurus menatap tepat di mata membuat gue sedikit terganggu.

Fix, Mario marah kayak mama, tapi kenapa?

"Jason itu bukan anak gue!" 

Love Scenario [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang