Instagram: kakra.story
Tiga puluh menit berlalu dan sedikit pun belum ada percakapan di antara kita. Mario langsung memainkan ponselnya begitu duduk dan setelah memesan makanan, hal yang sama gue lakuin karena bingung harus berbuat apa, sementara untuk memulai pembicaraan lebih dulu rasanya tidak bisa. Gue mendadak canggung walau saat pertama kali kita ketemu untuk pertama kalinya gue udah ngajakin dia berantem.
Gue enggak tahu apa yang sedang Mario lakukan dengan ponselnya. Gue pikir mungkin dia ada kesibukan mendadak atau apa, beberapa menit yang lalu mungkin gue masih bisa bertahan dengan kondisi ini, tetapi sekarang gue udah mulai kebosanan, apalagi makanan yang gue pesen udah abis.
"Mar...," ucap gue dan itu ampuh bikin cowok itu menoleh. Wajahnya menampilkan ekspresi kaget, mungkin lupa kalau gue ada sama dia.
"Astaga, gue lupa!"
Gue memutar kedua bola mata malas. Kayaknya kalau gak gue panggil kita berdua bakal terus di sini sampe minggu depan. Lupa katanya? Padahal dia sendiri yang ngajakin gue ke sini buat ngomong.
"Sory, Jess!" ucapnya.
Gue hanya mengangguk walau hati dongkol. "Enggak apa-apa, lagipula kayaknya lo sibuk."
"Ada sedikit masalah kecil, tapi udah gue selesain, kok." Cowok itu menarik napas panjang seraya menatap gue. "Katanya ada yang mau lo omongin, apa?"
Gue pikir dia yang bakal ngomong duluan. Jadi gue yang harus ngomong duluan gitu? Padahal gue ragu sebenernya karena apa yang bakal gue omongin ini gak perlu diomongin lagi, Mario pasti udah ngerti, kalau dia peka.
Gue sedikit berdeham, kemudian kembali mengalihkan atensi yang sempat kabur kepada Mario. "Ini Cuma soal gue sama lo, kok, soal pernikahan kita." Gue terdiam beberapa saat, memikirkan diksi yang tepat untuk mengutarakan apa yang akan gue sampaikan selanjutnya biar Mario langsung ngerti arah pembicaraan gue. "Maksudnya, kita kan enggak menginginkan pernikahan ini satu sama lain. Jadi mungkin secepatnya kita harus pisah."
"Lagipula mama gue dukung, kok, orang tua lo juga pastinya dukung," lanjut gue mengutarakan apa yang gue pikirkan setelah kejadian tempo hari. Mama dukung gue buat pisah sama Mario, juga orang tua cowok itu yang terlihat sangat menyayangi cucunya membuat gue yakin semuanya akan jadi lebih mudah, Om Akbar sama Tante Ajeng pasti menginginkan cucunya memiliki orang tua yang bersatu agar diberi kasih sayang secara utuh.
***
Gue melebarkan mata saking terkejut setelah mendengar apa yang Jessi katakan. Pantas saja dia pasrah saat gue ajak buat bicara berdua, padahal sebelumnya gue udah menduga bahwa Jessi enggak sudi lagi ketemu gue. Rupanya dia ingin mengutarakan soal pernikahan. Gue sedikit menyesal kenapa enggak ngomong duluan.
"Siapa bilang gue enggak menginginkan pernikahan ini?" tanya gue seraya menatap matanya lekat-lekat. Sorot mata dan wajah Jessi jelas menampikan keterkejutan.
Sesuatu yang ingin gue sampaikan kepada Jessi itu adalah gue ingin memperbaiki hubungan sama dia. Gue ingin menceritakan semua kenapa gue tiba-tiba kuliah di luar negeri, kenapa gue ninggalin dia, kemudian kehadiran Jason. Gue harap semuanya belum terlambat karena hanya dia yang saat ini gue inginkan.
"Gue malah mau melanjutkan pernikahan ini, gue mau memperbaiki hubungan kita," jelas gue dan dia semakin melebarkan matanya.
"Jangan gila, Mario!"
"Apanya yang gila?" tanya gue heran. Memang ada yang salah dari kalimat yang gue ucapkan sebelumnya?
"Gue serius, Jesika!" Gue menarik napas panjang sebelum akhinya bergerak menggenggam jemari gadis itu. Malam ini dia terlihat lebih cantik. "Ayo kita mulai semuanya dari awal, gue cinta sama lo!"
Gue cinta sama lo, akhirnya gue bisa mengutarakan kalimat itu kepada orangnya langsung, kalimat yang seharusnya gue ucapin enam tahun yang lalu, tetapi baru bisa gue ucapin sekarang.
Alih-alih menangis terharu seperti pemeran utama perempuan di film-film, Jessi malah tertawa setelah gue mengucapkan sederet kalimat tersebut seakan apa yang gue ucapkan itu adalah lolucon paling lucu di dunia. Jessi tertawa keras, bener-bener tertawa seperti sedang menonton acara komedi. Gue enggak tahu pasti apa yang tengah dia pikirkan saat ini.
"Udahlah Mario, jangan ngerjain gue lagi!" ucap Jessi setelah menghentikan tawanya seraya membalas tatapan dan melepaskan genggaman gue. "Emangnya lo enggak capek apa mainin gue terus?"
Gue langsung tertegun mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Jessi. Gue enggak ada niat buat mainin dia sama sekali, tapi gak bakal nyangkal juga kalau dia nyangkanya demikian. Gue tahu pasti pada bagian mana dari gue yang mainin dia, pasti saat kita masih sekolah dulu, setelah pengumuman perjodohan itu dan beberapa bulan sebelum ujian nasional. Ah, rasanya bukan cuma bagian itu doang, sepertinya semenjak kita saling mengenal gue udah mainin dia.
Gue enggak ada niat buat mainin Jessi, tapi sebenernya dengan sadar gue udah mainin dia. Wajar rasanya kalau dia gak percaya sama gue.
"Gue minta maaf, Jess," jawab gue menyesal, tapi sumpah kali ini gue enggak bakal jadi pengecut untuk kesekian kalinya, gue akan berjuang untuk memperbaiki hubungan kita. "Bener-bener minta maaf, tolong kasih gue kesempatan."
Gadis itu menggeleng kemudian mengalihkan tatapan ke arah lain, sementara gue terus menatap dia. Mungkin ini terlihat gak tahu diri, tapi gue ingin mendengar alasan secara langsung kenapa dia menolak.
Kami terdiam cukup lama. Gadis itu terlihat menarik panjang napasnya sebelum berakhir kembali menatap gue tepat pada bagian mata.
Jantung gue tiba-tiba saja berdetak cepat ditatap seperti itu. Itu tandanya rasa cinta gue ke dia enggak berkurang kan? Gue emang bener-bener mencintai dia.
"Gue juga sebenernya cinta sama lo, Mario," ujar Jessi dan hal itu jelas sukses bikin jantung gue berpacu beberapa kali lipat lebih cepat.
Gue enggak salah denger kan?
"Tapi itu enam tahun yang lalu," lanjutnya.
Gue bener-bener lemes. Ibarat udah diterbangin setinggi langit, kini dihempaskan begitu saja. Kali ini jantung gue berdenyut perih.
"Sekarang gue udah enggak cinta lagi sama lo dan lo jangan gila, jangan ngerusak kebahagiaan orang lain demi keinginan lo sendiri!"
"Maksud lo gimana?" Gue bener-bener enggak ngerti arah pembicaraan Jessi. Siapa yang ngerusak kebahagiaan siapa demi keinginannya? Gue enggak pernah ngelakuin itu.
"Jason, anak lo sama Raline. Dia mungkin bahagia-bahagia aja saat ini, tapi kelak kalau dia udah ngerti, dia pasti pengen orang tuanya bersatu," jawab gadis itu dan kini gue menemukan titik terang.
Harusnya gue jelasin lebih dulu apa yang mau gue bicarain ke dia, bukan malah jelasin yang lain-lain hingga menimbulkan kesalah pahaman yang berlanjut seperti ini.
"Jeson itu bukan—"
"Udahlah, Mar!!" potong Jessi buru-buru sembari menyambar barang-barangnya yang tergeletak di atas meja, gadis itu sepertinya tidak mau lagi mendengar apa yang gue bicarakan, ia malah langsung beranjak setelahnya. "Gue bisa pulang sendiri, duluan ya, makasih traktiranya!"
Jessi pergi begitu aja, meninggalkan gue yang kini menelan bulat-bulat kalimat yang hendak gue utarakan ke dia.
Gue enggak berhasil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [REPOST]
RomanceBagi sebagian orang, menikah di usia yang masih muda bukanlah sebuah impian, termasuk bagi Mario dan Jesika. Apalagi keduanya menikah karena perjodohan. Pada dasarnya, mereka masih ingin menikmati masa remaja dan meraih cita-cita. Maka dari itu, Mar...