Jason yang ada dalam gendongan gue, serta Raline disambut senyum lebar dari mama begitu kami menginjakan kaki di hadapannya. Gue lihat beliau sudah jauh lebih tenang dari yang terakhir saat gue tinggalkan beberapa jam yang lalu untuk menemui Jessika. Kini ia menyongsong Raline dengan dua ciuman di pipi kiri dan kanannya.
Gue lega, mama sudah tidak menangis dan tidak marah-marah lagi,
"Maaf ya Ma, tadi begitu jemput Jason, Raline langsung pergi, padahal Raline tahu kalau Mama enggak lagi baik-baik aja." Suara Raline menyelinap masuk ke indra pendengaran gue.
"Enggak apa-apa Sayang, Mama ngerti, lagipula kan Mama yang tadi nyuruh kamu langsung pergi, Mama malu diliatin Jason lagi nangis." Mama membalas diikuti kekehan setelahnya, kemudian kedua wanita itu tertawa bersama-sama.
"Mario bawa Jason ke kamar dulu, ya," ucap gue yang udah pegal menggendong Jason, menginterupsi interaksi keduanya, kemudian melangkahkan kaki menjauh tanpa menunggu terlebih dahulu respons mereka.
Mama sedang berbincang asyik dengan Raline sekembalinya gue dari kamar. Gue kemudian duduk di hadapan keduanya yang tidak dihiraukan sama sekali. Kira-kira mereka lagi ngomongin apa, ya?
Tidak salah juga ternyata membawa Raline ke rumah di saat-saat seperti ini. Seenggaknya mama bisa berbincang dengannya, dan sejenak melupakan masalah yang tadi terjadi.
"Kamu sama Mario itu serasi banget, ditambah ada Jason, tadi aja Mama liat kalian tuh bener-bener kayak keluarga bahagia tahu enggak?" Kalimat yang mama ucapkan begitu aja berhasil membuat gue memusatkan seluruh perhatian kepadanya. Sayang, wanita yang paling gue sayangi itu tidak sedang menatap gue, beliau memusatkan perhatiannya kepada Raline membuat gue juga ikut menatapnya.
Wanita itu ternyata sedang menatap gue, membuat gue menajamkan mata menatapnya dengan ekspresi yang gue yakini tidak enak dipandang untuk waktu yang lama. Benar saja, Raline langsung mengalihkan kembali tatapannya dari gue tidak lebih dari lima detik.
"Mama bisa aja!" ucap Raline diikuti dengan kekehan.
Kenapa dia jawab kayak gitu, sih? Gue memutar bola mata kesal, gue benar-benar kesal. Kenapa dia enggak jawab, 'Raline sama Mario enggak punya hubungan apa pun, jadi gak mungkin kami kayak keluarga bahagia' atau kalimat apa pun yang dapat menyanggah pernyataan mama, bukan kalimat yang dapat membuat mamah semakin berharap kalau akan ada hal spesial di antara kita.
Raline. Baru aja gue puji, tahu gitu gue bakal bilang nyesel udah bawa lo ke sini.
"Kapan kalian nikah?" Mama kembali berujar yang membuat gue semakin merasa tercekik. Mama sebenernya sadar enggak, sih, dengan apa yang diucapkannya? Gue bener-bener enggak habis pikir.
"Kasian Jason kalau kalian terus kepisah kayak gini, dia pasti butuh kasih sayang secara lengkap dari kedua orang tuanya."
"Mama," ucap gue dengan nada rendah penuh peringatan. Gue mendadak sakit kepala jadinya, beberapa saat yang lalu Raline membuat harapan palsu kepada mama, kini mama yang membuat harapan palsu kepada Raline.
Kalau Raline semakin berharap kita akan kembali bagaimana?
"Kenapa?" balas mama atas ucapan gue dengan nada menantang yang menggelitik di telinga. "Mama salah ngomong?!"
"Mario sama Raline enggak mungkin nikah, Ma—"
"Enggak mungkin gimana?!" ujar wanita itu. "Kamu sama Raline itu udah ada Jason, jadi enggak ada yang enggak mungkin!!"
"Apa sih yang kamu pikirin lagi, Mario, kamu enggak kasian sama Jason?" Mama menatap gue dengan matanya yang tajam. "Pokoknya Mama mau kamu sama Raline bersatu!"
"Jason bukan anak kandung Mario, Ma," ucap gue pada akhirnya, entah ini keputusan yang benar atau enggak, entah ini waktu yang pas atau enggak. Intinya hanya itu yang dapat menghentikan mama, agar mama tidak berusaha menyatu-nyatukan gue sama Raline lagi.
"Apa maksud kamu?!"
"Mario!!"
Ucap mama sama Raline secara bersamaan, nada tidak percaya jelas terdengar di telinga gue. Sudah terlanjur gue ucapkan, lagipula papa sudah tahu, kini giliran mama yang harus tahu kebenarannnya. Semoga beliau enggak lagi-lagi nyuruh gue sama Raline nikah, gue hanya ingin bersama Jessika.
"Mario ...."
Gue menoleh ke sumber suara saat nada putus asa tertangkap indra pendengaran, gue menatap wajah Raline yang kini pucat pasi. "Udah saatnya Mama aku tahu, aku enggak bisa terus-terusan bohongin mereka," ucap gue, kemudian menatap mama yang kini menampilkan ekspresi menuntut.
"Jason bukan anak kandung Mario, Ma, Mario ngakuin Jason sebagai anak Mario karena Mario kasian sama Raline." Gue memerhatikan ada perubahan pada ekspresi mama setelah gue mengucapkan kalimat itu. "Mario enggak berpikir kalau kejadiannya bakal jadi serumit ini, Tante Arum kecewa sama kita terus marah, mama juga jadi ikut-ikutan marah sama Tante Arum padahal sebenernya semua salah keluarga kita, terus sekarang Mama malah terus bicarain soal hubungan Mario sama Raline, masalah Mario makin banyak, Ma."
Gue memutuskan berdiri setelah mengucapkan kalimat terakhir, kemudian pergi begitu aja. Selain enggak tahu harus bicara apalagi karena ini terlalu mendadak, gue juga enggak mau lihat respons mama, gue enggak siap kalau seandainya mama menyanggah apa yang baru saja gue ungkap.
Mungkin setelah ini mama akan bicara sama Raline. Apa pun itu pembicaraannya, gue yakin mama masih orang baik yang tidak akan menyakiti Raline, apalagi mengusir Jason setelah semua yang gue ungkap.
Gue ingin kembali menemui Jessi, menagih jawaban atas pertanyaan gue yang masih belum diketahui. Gue bener-bener berharap banget kalau Jessi akan kembali menerima gue.
Jessi pulang saat gue menemani Jason membeli ice cream, gue berharap dia langsung pulang ke rumahnya. Gue memacukan kendaraan yang dipakai sedikit lebih cepat dari yang seharusnya, berharap detik ini juga gue langsung sampai di rumah gadis itu, tetapi tentu saja beberapa puluh menit kemudian gue baru sampai di sana.
Gue menatap gerbang yang melindungi rumah gadis itu. Lagi, petugas keamanan rumahnya langsung mengusir begitu melihat gue.
Sebesar itu kah keselahan gue sampai hanya menginjakan kaki di depan rumahnya aja udah enggak boleh?
"Sebentar aja Pak, siapa tahu sekarang mereka mau nemuin saya," ucap gue kepada pria yang berpakaian khas itu.
Pria itu tetap menggeleng tegas. "Enggak bisa, Mas. Ini udah perintah dari Bu Arum!"
Mundur beberapa langkah dari hadapannya, gue menarik napas putus asa sebelum akhirnya mengambil ponsel di saku celana.
Gue salah, seharusnya menghubungi Jessi terlebih dahulu sebelum datang ke rumahnya, tetapi kini gue enggak mendapat jawaban apa pun darinya.
Gadis itu tidak menjawab panggilan telepon gue. Namun beberapa saat kemudian, kendaraan bermotor berhenti tepat di hadapan gue.
Jessi melepas pelindung kepalanya seraya menatap gue dengan mata yang melebar. Dia buru-buru memberikan benda itu kemudian seseorang yang membawanya itu langsung pergi.
"Mario?" ujarnya terdengar tidak percaya di telinga gue. "Ngapain lo ada di sini?!"
"Nemuin lo," balas gue. "Pembicaraan kita belum selesai, kenapa tadi lo pergi gitu aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [REPOST]
RomanceBagi sebagian orang, menikah di usia yang masih muda bukanlah sebuah impian, termasuk bagi Mario dan Jesika. Apalagi keduanya menikah karena perjodohan. Pada dasarnya, mereka masih ingin menikmati masa remaja dan meraih cita-cita. Maka dari itu, Mar...