Bibir gue seperti bergerak sendiri saat mengucapkan kalimat pertanyaan itu, entah mengapa jadinya terucap begitu saja, padahal gue enggak berniat bertanya mengenai hal itu sama sekali kepada mama. Gue merutuki diri setelahnya, kalau mama ngamuk lagi gimana karena gue nyinggung-nyinggung Mario?
Mama kini menatap gue dengan mata yang menyipit, seperti tengah mencurigai gue. Gak heran, sih, karena pertanyaan gue aneh.
Aduh, Jessika. Emangnya penting apa minta pendapat Mama soal Jason yang bukan anak kandung Mario?
"Iya atau bukannya Jeson anak Mario, tetep aja suami kamu itu bikin Mama kecewa. Logikanya aja, ngapain anak orang diakuin anak sendiri, terus kita enggak dikasih tahu secara baik-baik sebelumnya, itukan enggak ngehargai banget namanya," jawab mama menggebu, tetapi tidak seemosi yang ada di dalam bayangan gue. Gue lantas hanya mengangguk-anggukan kepala, menyetujui statemen mama yang satu ini.
Kalau memang Mario beneran cinta, udah pasti dia enggak akan gitu aja nawarin diri kepada Raline untuk menjadi ayah Jason walau sebenernya ia berniat baik. Dia pastinya akan menjaga perasaan gue dengan cara memikirkannya seribu kali sebelum bertindak, tetapi pada kenyataannya enggak.
"Lagian ngapain, sih, kamu nanya kayak gitu?" tanya mama. "Jangan bilang kalau Jason itu bukan anak Mario?"
Gue bingung harus menjawab pertanyaan mama seperti apa. Jawaban mama sebelumnya udah nunjukin kalau beliau tetap kecewa walau kenyataan Mario bukan ayah biologis bocah itu. Kalau gue kasih tahu kebenarannya, jawabannya akan tetap sama kan?
Namun, minimal mungkin akan mengurangi kadar kekecewaannya. Siapa tahu hubungan mama sama Om Akbar dan Tante Ajeng juga membaik. Yang penting tuh itu aja sebenernya, hubungan mereka, gue enggak mau mereka musuhan padahal udah sahabatan puluhan tahun lamanya.
Gue mengangguk pada akhirnya. "Tadi Jessi abis ketemuan sama Mario, dan dia jelasan semuanya termasuk apa yang kita bahas sekarang."
Mama melebarkan begitu gue selesai berbicara. Dari caranya natap gue, keliatan banget kalau mama sedang merasa terkejut. Terkejut entah karena beliau tahu gue abis ketemuan sama Mario atau terkejut karena tahu apa yang gue sama Mario omongin saat tadi ketemu.
"Ngapain ketemuan sama Mario?!" ucap mama dengan intonasi tinggi yang membuat gue meringis seketika.
"Minta maaf soal kejadian tadi di Mall." Gue menjawab apa adanya, tetapi tentu saja semakin membuatnya melebarkan mata.
"Ngapain, sih, minta maaf?!" Mama kembali berteriak. "Dia sama kelurganya lebih parah tahu!!"
"Minta maaf duluan kan enggak ada salahnya, lagipula itu awalnya ulah Mama juga."
"Oh, jadi kamu salahin Mama?"
Gue meringis begitu menyadari salah berbicara. Ya, walau apa yang gue ungkap itu sesuai fakta. Kenapa mama gini banget, sih?
"Enggak gitu juga—"
"Terus sekarang kamu mau ngapain setelah tahu kalau Kalau Jason itu bukan anak Mario, setelah tahu Mario itu belum punya anak?" tanya mama tanpa gue sangka, gue pikir mama gak akan bertanya kayak gini sama gue, kayak memberikan gue sebuah pilihan, malah gue pikir beliau bakal langsung nyuruh gue sama Mario pisah lagi secepatnya.
"Enggak mau ngapa-ngapain, diem aja." Ya, masa iya gue harus koprol.
"Kamu bakal batalin niat kamu buat pisah sama dia?"
Gue menggeleng. Lagipula gue udah memantapkan hati dari kemarin-kemarin untuk pisah sama dia, ditambah pembicaraan kita tadi di depan rumah gue. Tidak semudah itulah.
"Bagus kalau begitu, Mama dukung kamu!" Mama bangkit dari duduknya secara tiba-tiba, kemudian menepuk bahu gue beberapa kali sebelum akhirnya melangkah pergi.
Beberapa menit kemudian gue menyusul meninggalkan ruang keluarga menuju kamar, gue perlu membersihkan diri kemudian mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang udah lelah setelah seharian ini.
Namun, baru beberapa menit gue berbaring setelah mandi dan memejamkan mata, suara bising yang dihasilan ponsel gue memenuhi telinga.
Ada dua pesan yang masuk secara bersamaan dari dua orang yang berbeda pula. Dari Mario dan Leo, gue lebih memilih membuka pesan dari Leo terlebih dahulu.
Jessi, main kuy!!
Pesan Leo bikin gue mendengus. Gue kira ada hal penting, ternyata cuma begitu doang.
Sekrarang? Gamau!
Gue tentu menolak. Daripada main mending rebahan kan? Hemat energi dan uang. Beberapa saat kemudian, pesan dari cowok itu kembali masuk.
Jahat!
Emangnya lo enggak kangen apa?Enggak!
Kalau gitu besok aja gimana?
Jangan nolak!
Baiklah.
Asiik!
Menggelengkan kepala seraya tersenyum setelah membaca balasan terakhir pesan Leo, gue keluar dari ruang obrolan dengannya tanpa mau repot-repot membalas, kemudian membuka ruang obrolan bersama Mario, membaca pesan dari cowok itu.
Jessi, kata lo dari awal kita enggak enggak punya hubungan apa pun walau ucapan selanjutnya lo bilang kita cuma dua orang asing yang kebetulan dijodohin terus nikah
Itu artinya, lo sendiri kan yang bilang kalau kita ada hubungan
Kita udah nikah Jessi, kita berdua itu suami istri
Jadi mulai sekarang gue bakal berusaha, gimana pun caranya gue bakal bikin lo cinta lagi sama gue dan memulai semuanya dari awal. Gue berharap lo buka hati dan kasih gue kesempatan.
Jessi, lo masih inget kenapa kita dijodohin?
Karena mendiang papa lo gak mau lo pilih pasangan yang salah, mendiang papa lo juga percaya kalau gue itu yang terbaik buat lo
Gue bakal buktiin kalau mendiang papa lo itu bener, beliau enggak salah pilih gue sebagai menantunya.
Pesan dari Mario tidak membuat gue luluh sama sekali. Alih-alih luluh, entah mengapa rasanya gue kesel. Mario kenapa, sih? Kenapa dia keras kepala banget sampe bawa-bawa mendiang papa segala.
Gue enggak suka. Dia bikin gue pusing.
Gue menekan opsi blokir pada nomor cowok itu sebelum akhirnya melempar ponsel yang gue gunakan itu ke sembarang arah hingga bunyi benda jatuh terdengar. Gue blokir dia bukan karena kekanak-kanakan, tapi karena gue ngerasa perasaan gue jadi lebih baik aja setelah melakukan hal itu. Sama halnya kayak kita enggak suka sama seseorang di sosial media, daripada melontarkan hujatan, akan lebih baik memblokirnya aja biar kita gak perlu lagi liat dia yang malah akan membuat kita semakin kesal.
Gue mengubur diri sendiri dengan selimut, tetapi hanya bertahan beberapa saat karena merasa sangat kepanasan. Impian gue untuk beristirahat sepertinya harus pupus karena bayang-bayang Mario tiba-tiba saja ada di benak gue, membuat perasaan gue bener-bener enggak nyaman.
Gue sungguh enggak mau mikirin Mario, tetapi gue juga gak punya kehendak atas diri gue sendiri buat ngusir dia di otak gue.
Mario, entah di dunia nyata atau dalam isi kepala gue, dia tetep nyebelin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Scenario [REPOST]
RomanceBagi sebagian orang, menikah di usia yang masih muda bukanlah sebuah impian, termasuk bagi Mario dan Jesika. Apalagi keduanya menikah karena perjodohan. Pada dasarnya, mereka masih ingin menikmati masa remaja dan meraih cita-cita. Maka dari itu, Mar...