Rumah besar dan bernuansa putih gading itu tampak tenang, walaupun masih ada beberapa pekerja yang sedang duduk di dapur tapi Afzam tidak melihat istrinya. Karena pekerjaan menumpuk dan ada beberapa berkas kontrak yang harus dia baca membuatnya harus lebih lama berada di kantor.
Langkah kakinya membawanya ke ruang keluarga, barulah disana dia melihat istrinya sedang duduk bersama dengan putra bungsunya.
"Loh, Ayah udah pulang!" Sama Mavi yang langsung menyalami tangan ayahnya. Afzam langsung duduk di samping istrinya, menghembuskan nafas lelah.
"Minggir dulu, dek! Ibu mau ambilin Ayah minum dulu." Keani menggeser kepala Maviandra yang sejak tadi bersandar pada pundaknya.
Melihat ibunya yang pergi kelantai bawah akhirnya Mavi memilih untuk menggeser tubuhnya agar duduk di dekat ayahnya.
"Kamu gimana harinya?" Tanya Afzam.
"Gitu-gitu aja, Yah." Jawab Mavi singkat.
"Dek, mumpung ibu lagi ke dapur, ayah mau ngomong serius." Ujar Afzam.
"Tumben, ada apa, Yah?"
"Sebentar lagi adek ujian, setelah itu operasi. Kita sama-sama tau kemungkinannya, Ayah cuma mau bilang sama Adek kalau Ayah merasa beruntung karena Adek sudah pilih Ayah dan Ibu jadi orang tuanya adek. Ayah minta maaf kalau selama tujuh belas tahun adek hidup, Ayah punya kesalahan atau kekurangan selama menjadi Ayah." Afzam mengatakan sambil menahan tangis, sebentar lagi adalah saat paling menyakitkan dalam hidupnya. Dia tidak akan mampu berbuat banyak untuk putranya ini.
Mavi tahu jelas maksud dari perkataan Ayahnya, laki-laki paruh baya di hadapannya ini sedang ketakutan, lelah dan khawatir. Mavi menepuk punggung Ayahnya, berusaha memberikan ketenangan walau sedikit.
"Kok jadi sedih gini suasananya?"
"Kalau waktu itu Ayah larang Avi, sekarang kondisi Avi gak mungkin kaya gini, kejadian itu gak mungkin buat kita semua ketakutan seperti sekarang. Ayah punya kesempatan cegah kejadian itu, tapi Ayah malah ngebiarin kejadian itu." Afzam menunduk dalam, sejak kejadian beberapa hari yang lalu rasa bersalahnya pada anak bungsunya semakin menjadi-jadi.
Mavi hanya terdiam, dia sudah menerima semua kejadian dimasa lalu. Sayangnya, dia lupa jika ada sebagian orang yang mungkin masih berusaha menerima atau bahkan belum menerima kejadian yang menimpa dirinya dan Aurhea.
"Yah, kaya yang Ayah bilang barusan. Ayah punya kesempatan waktu itu, tapi Ayah udah mutusin buat ngebiarin hal itu. Berarti itu bukan salah Ayah, itu udah takdir Avi. Ayah gak perlu ngerasa bersalah, ini tanggung jawab Avi. Ayah kan dulu ngajarin Avi kalau Tuhan gak mungkin kasih ujian ke manusia kalau itu diluar kemampuannya. Kalau Tuhan kasih ini ke Avi, itu artinya Dia percaya Avi kuat. Tuhan aja percaya Avi kuat, masa Ayah gak percaya sama anak Ayah sendiri?"
Ah, suasananya jadi tidak mengenakan. Mavi tidak tau harus berbuat seperti apa untuk menghibur ayahnya. Bukan hanya Ayahnya saja disini yang ketakutan, dia juga punya rasa takut yang sama besarnya.
"Ada apa nih? Kenapa suasananya jadi gak enak gini?" Tanya Keani. Dia sebenarnya sudah mendengar percakapan kedua lelaki itu, hatinya perih mengetahui jika kapan saja kemungkinan terburuk tentang kesehatan putranya bisa terjadi.
"Wihh, ibu bawa kue. Avi mau, Bu!" Mavi berusaha mengalihkan pembicaraan, dia mengambil sepotong kue yang dibawa Ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maviandra ✓
Teen Fictionkertas kertas itu bukan hanya penampung aksara, lebih daripada itu. tentang kata yang tak mampu terucap, tentang suara yang tak mampu terdengar. tentang kita, yang tak juga tergapai. 📖📖📖📖📖📖📖📖📖📖 Maviandra berpacu dengan waktu dan dirinya se...