Lembar ke-32

171 15 0
                                    

Hari berganti kian cepat, kini sudah hari dimana apa yang semua murid pelajari selama bersekolah akhirnya akan diujikan. Mavi sebenarnya bisa melakukannya di rumah sakit dengan permintaan ayahnya pada pihak sekolah, tapi dia memutuskan untuk tetap mengerjakan ujiannya di sekolah. Alasannya seperti biasa, dia ingin menghabiskan sisa hari yang di milikinya untuk bisa bersama teman-temannya sebelum dia harus operasi.

Langkah kakinya gontai, di pundaknya tersampir ransel sekolahnya. Mavi tampak pucat hari itu, dia datang pagi sekali agar setidaknya bisa beristirahat sebentar saja sebelum ujian berlangsung. Sebenarnya sejak memasuki koridor sekolah, pandangannya sudah terganggu, kepalanya sudah sakit sejak perjalanan ke sekolah.

"Eh! Lo kenapa?" Seseorang memegang lengannya saat dirinya hampir kehilangan keseimbangan.

"Gue gak apa apa, cuma pusing, Van." Ujar Mavi dengan pelan. Rupanya orang tersebut adalah Vano, temannya sendiri.

"Lo pucet banget. Harusnya lo ujian di rumah sakit aja daripada di sekolah." Ungkap Vano.

"Gak deh, Van. Gue masih sanggup." Tolak Mavi.

"Kondisi lo makin turun akhir-akhir ini, Vi. Lo mikirin apa sih, sampe stress gitu?" Tanya Vano. Berteman dengan Mavi yang pemikir, membuat Vano jauh lebih aware terhadap teman-temannya. Vano yang dulu pendiam, acuh, selalu menyendiri, semenjak bertemu Abim, Bintang, Kevin, Xean, Richie dan Mavi terlihat lebih hidup. Dari semua teman-temannya hanya Mavi yang menarik perhatiannya, temannya ini berbeda dari yang lain. Mavi mungkin terlihat biasa saja, tapi jauh daripada itu Vano tau bahwa isi kepala temannya ini tidak pernah berhenti berpikir tentang sesuatu, meski Mavi sakit tapi temannya itu selalu mengesampingkannya dan mengutamakan teman-temannya. Mavi yang selalu memperhatikan teman-temannya, yang selalu menjadi tempat untuk berkeluh kesah bagi mereka. Mavi selalu punya waktunya sendiri untuk menolong atau sekedar menasehati teman-temannya, termasuk Vano.

"Gue stress pelajaran. Lo tau kan ini ujian akhir? Kalau gue gak lulus gimana?" Jelas Mavi yang masih saja menahan rasa sakitnya dan berusaha tetap tersenyum.

"Lo gak belajar aja pasti lulus. Lo pinter, gimana ceritanya lo bisa gak lulus?" Ungkap Vano. Kedua laki-laki itu melangkah menyusuri koridor yang mulai ramai.

"Bisa aja. Ya kalau gue gak ngerjain ujian, pasti gak lulus lah." Ucap Mavi.

"Avi..." Panggil seseorang yang tidak jauh dari mereka.

"Hai, selamat pagi." Sama Mavi sambil mengusap puncak kepala orang dihadapannya.

"Hai, Re." Vano ikut menyapa orang tersebut. Ya, dia adalah Aurhea.

"Oh, hai Van." Jawab Rhea sambil tersenyum.

"Kenapa ujian disekolah? Kamu bisa ujian di rumah sakit. Itu mukanya pucet banget." Kata Rhea.

Mavi melepas rangkulannya di pundak Vano, setidaknya saat ada Rhea di depannya saja. Walaupun pandangannya sudah mulai tidak jelas dan rasa sakit di kepala yang semakin menjadi.

"Gak apa-apa, Re. Hari pertama, mau disini. Kalau gak kuat hari ini, besok aku ujian di rumah sakit, okey?" Ujar Mavi.

"Van, gue anter Rhea ke kelasnya dulu. Lo duluan aja." Mendengar ucapan Mavi, Vano akhirnya mengangguk meski tidak yakin seratus persen tapi dia tidak ingin mengganggu mereka, mungkin ada hal yang ingin mereka bicarakan juga.

"Gue duluan, Re." Ujar Vano sebelum melangkah menjauh memasuki ruang ujian.

📖📖📖📖📖📖📖📖📖📖

Vano melangkah memasuki ruangannya, karena ini ujian itu berarti Vano akan berada di ruangan yang dia sendiri tidak begitu mengenali orang-orang didalamnya.

Maviandra ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang