Lembar Ke-21

183 22 11
                                    

Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Mavi membuka matanya dan melihat sekeliling, masih merasa sedikit pusing dengan bersusah payah memfokuskan pengelihatannya, mencoba mengingat kejadian sebelumnya, dan mencari tahu di mana dirinya sekarang.

"M-m-mas Kala," ucapnya dengan suara serak.

Kalandra yang sedang menutup matanya di sofa ruangan itu langsung terbangun. Merubah posisinya menjadi duduk.

"Ah, udah sadar rupanya." Ujar Kalandra, melangkah mendekati Mavi.

Mavi mengangguk, dan berusaha duduk. Kalandra bangkit, memberikan segelas air yang langsung di tenggak habis Mavi

"Rumah sakit?" Tanya Mavi setelah meminum air itu.

"As you can see. Lo kenapa gak bilang Abim kalau lo pusing?"

"Sorry, gue kira gue bisa nahan sampe rumah. Gue kira kalau tidur pusingnya ilang, ternyata malah kebablasan."

"Vi, serius. Kita kayanya gak bisa jalanin sesuai rencana awal. Kecelakaan tempo hari buat kesehatan lo makin turun." Ujar Kala serius.

Mavi tersenyum, tahu betul kondisi kesehatannya semakin melemah. Laki-laki itu menatap kakaknya, berusaha memberanikan diri untuk mengatakan keputusannya walaupun dia tau akan berujung perdebatan.

"Gue mau sesuai rencana, mas. Jangan di ubah, habis ujian. Cuma sampai selesai ujian kelulusan, lo bisa seret gue ke meja operasi."

"LO GILA?! VI, LO JANGAN EGOIS BUAT DIRI LO SENDIRI! OPERASI, VI. BUAT LO. BUAT GUE, BUAT AYAH SAMA IBU, BUAT TEMEN-TEMEN LO, BUAT RHE." Kala hampir saja meluapkan emosinya, adik satu-satunya ini sangat keras kepala. Tapi, Mavi tidak menanggapi itu dengan amarah juga, dia tersenyum. Mengerti sekali kakak lelakinya ini sangat menyayanginya dan ingin ia sembuh.

"Gue ngerti maksud lo, mas. Tapi tolong ngertiin gue juga, ibu kemarin drop karna gue, kasih dia waktu buat pulih juga. Selain itu, temen-temen gue yang lain, gue belum sempetin waktu buat ngomong sama mereka soal kondisi gue sekarang. Kasih gue waktu buat bilang ke mereka, lo tau pasti gimana rasanya jadi orang terakhir yang tau kondisi orang terdeket lo, pasti lo marah kan? Mereka juga pasti gitu. Kalau soal Aurhea.... Dia baru aja dapetin ingatannya lagi, mas. Gue gak mau karna kondisi gue begini malah berpengaruh juga ke kondisi kesehatan dia, walaupun dia udah tau kondisi gue. Tapi, dia juga pasti mau spend waktunya bareng gue, mas. Waktu gue ceritain kondisi gue, dia nangis sambil minta maaf, gue gak tega liat orang yang gue sayang nangis begitu. Kasih gue waktu ya, mas. Tolong lo ngertiin posisi gue, sekali ini aja mas. Lo sama gue gak ada yang tau hasil operasi itu bakal kaya gimana kan? Gue bisa aja mati di meja operasi, mas. Seenggaknya izinin gue pamit sama mereka." Ucap Mavi panjang lebar.

Kalandra sudah menahan tangisnya, adik kecilnya ini sedang ketakutan. Kala tahu betul adiknya tidak takut kematian, dia hanya takut meninggalkan orang orang penting di hidupnya, takut jika kepergiannya justru membawa luka bagi sebagian orang.

"Lo pasti selamat, tim dokter yang nanganin lo bakal gue awasin langsung. Gue akan ikut di operasi lo, lo pasti sembuh, dek." Ujar Kalandra sambil menggenggam tangan Mavi.

Mavi tersenyum dalam ketakutannya, kakak laki-lakinya mungkin kaku di mata orang lain, tapi dia tetap kakak terbaik yang Mavi miliki. Jarang sekali Kala menggunakan sapaan 'dek' atau 'adek' jika dia menggunakan sapaan itu, berarti Kala memang sedang serius.

"Lo bisa bilang begitu, tapi lo sendiri juga denger, mas. Dokter yang nanganin gue bilang 50:50. Gue, lo, bahkan dokter yang nanganin gue juga gak tau hasil pastinya." Mavi tetap berusaha tegar.

"Pasti bisa, Vi. Pasti bisa, gue bakal usahain."

"Makasih banyak, mas. Tapi tolong, kasih gue waktu ya. Sampai selesai ujian akhir." Mavi masih bersih keras tidak ingin di operasi.

Maviandra ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang