Part_16 Selfharm lagi

2.3K 129 2
                                    

“Alfin jangan tinggalin abang,” Kevin bergumam sambil memeluk tubuh Alfin.

“Papa cepetan bawa mobilnya,” Fian berteriak panik, dia menepuk-nepuk pipi Alfin.

Andi mengangguk dan menambah kecepatan mobilnya.

“Bangun dek, jangan tidur!” Kevin masih berusaha membangunkan Alfin.

“Sialan lo Fin, bikin orang panik aja lo bisanya.” Fian masih menepuk-nepuk pipi Alfin

Alya yang duduk di depan juga ikut khawatir melihat wajah Alfin yang semakin pucat.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di rumah sakit. Kevin mengangkat tubuh Alfin dan membawa Alfin masuk dengan tergesa-gesa diikuti oleh yang lainnya.

“Suster, dokter tolongin adik saya.” Kevin berteriak panik.

Dua suster datang membawa brankar untuk menidurkan tubuh Alfin dan dibawa ke ruang UGD, kepala Alfin masih mengeluarkan darah yang banyak, dia membutuhkan donor darah.

“Stok darah nya habis dok,”

“Cepat cari pendonor darah, keadaan pasien semakin kritis.” Dokter itu akan mencabut beling dari vas yang menancap dikepala Alfin.

Dokter itu menarik beling yang sedikit panjang perlahan lalu mulai menjahit lukanya.

Seorang suster keluar dari ruang UGD, “Apa disini ada yang golongan darahnya O rhesus negatif?” semuanya menoleh ke arah pintu.

Kevin berdiri dari kursi, “Saya.”

“Mari ikuti saya, pasien membutuhkan donor darah.” Kevin langsung mengikuti suster itu untuk diambil darahnya.

Luka dikepala Alfin sudah diobati, keadaan Alfin mulai membaik meskipun hanya sedikit demi sedikit.

Alfin sudah dipindahkan ke ruang VIP. Andi yang mengurus semuanya, Alya dan Fian membeli makan untuk mereka semua, sedangkan Kevin menjaga adiknya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.

Ceklek

Pintu dibuka oleh Fian dan Alya, “Alfin belum sadar?” Fian bertanya, yang hanya dibalas gelengan oleh Kevin.

“Papa,” Alya memeluk Andi yang baru saja masuk, melepaskan pelukannya dan bertanya, “Alfin bakalan sadar kan pa?” Andi hanya mengangguk.

Mereka berdua jalan ke arah sofa lalu duduk. “Jelaskan semuanya tentang Alfin!” Kevin mengangguk dan mulai menjelaskan semuanya kepada mereka.

Alya dan Fian sedih mendengar itu, Andi yang tidak menyangka jika ada orangtua yang menelantarkan dan menyiksa anaknya sejak kecil.

“Jika Alfin tinggal sama kalian, tolong jagain Alfin,” mata Kevin berkaca-kaca

“Gue akan jagain Alfin bang,” Fian menepuk pelan pundak Kevin.

“Makasih,” Kevin tersenyum.

“Oh ya, lo yang mau nikah sama Alfin ya?” Kevin menoleh ke arah Alya.

“i-iya,” Alya menunduk gugup.

“Maafin Alfin ya kalau dia agak kasar sama lo nantinya,” kata Kevin masih menatap Alya yang menunduk, perlahan Alya mengangguk pelan.

Ceklek

Mereka yang ada di dalam ruangan Alfin langsung menoleh ke arah pintu, terlihat seorang wanita cantik berdiri disana.

“Tante Wina? Mau apa tante kesini?” Kevin menatap tajam

“Saya mau lihat keadaan anak itu,”

“Apa belum cukup tante nyakitin Alfin,” Kevin menghadang Wina yang ingin mendekat ke Alfin.

“Saya ibu kandungnya.” Wina mendorong Kevin, tapi Kevin tidak bergeser sama sekali.

“Tapi tante membuangnya,” Kevin tetap berdiri di depan Wina

“Saya hanya mau melihatnya,”

“Tante bisa lihat Alfin dari jauh,”

“Tidak mau.”

“Kenapa tante datang? Bukannya tante membenci Alfin?” tanya Kevin

Wina diam ditempat, 'Benar juga, kenapa saya datang kesini?' dalam hati Wina bertanya pada dirinya sendiri.

“Saya hanya ingin memastikan dia masih hidup atau tidak, jika dia meninggal saya akan menjadi orang pertama yang sangat bahagia atas kepergiannya.” mendengar ucapan Wina yang ketus itu, Kevin langsung mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras.

Alya dan Fian terkejut mendengar itu. Mereka berpikir, ibu macam apa Wina itu. Ibu macam apa yang menginginkan anaknya sendiri meninggal.

Andi yang pusing mendengarkan mereka yang berisik langsung mendorong Wina keluar ruangan dan menutup pintu lalu menguncinya, terdengar suara Wina yang marah-marah diluar lalu pergi.

“Hiks,” mereka semua menoleh ke arah Alfin, ternyata dia sudah siuman dari tadi.

“Alfin dengerin abang,” Kevin mencoba menggapai tangan adiknya yang langsung ditepis kasar.

“Pergi kalian! Tinggalin gue sendiri.” Alfin menunjuk pintu, mengusir mereka yang ada di dalam ruang.

Mereka semua mengangguk dan keluar, membiarkan Alfin menenangkan dirinya sendiri.

Alfin yang masih menangis, mencabut infusnya dengan kasar membiarkan darah dari punggung tangannya menetes begitu saja, dia berjalan menuju pintu dan menguncinya. Menuju ke arah tasnya dan mencari sesuatu, dia mengeluarkan pisau lipat yang selalu dibawa kemanapun dia pergi.

Perlahan dia menggoreskan pisau itu berkali-kali ke tangannya, lalu dia akhiri dengan menggoreskan pisau itu ke pergelangan tangannya.

Tangan Alfin mengeluarkan banyak darah, dia masih menangis, bukan karena luka ditangannya, tapi karena luka di hatinya saat mendengar ucapan mamanya yang menunggu kematiannya.

Alfin bersandar ke tembok, dengan perlahan tubuhnya merosot kebawah, matanya menatap pisau yang berlumuran darahnya.

Alfin tersenyum sebelum menutup mata dan bergumam, “Alfin akan ngabulin keinginan mama.”

Bersambung.

ALFIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang