Part_21 Alya Hamil

1.7K 104 8
                                    

Keesokan harinya.

Alfin sudah memutuskan untuk pindah rumah agar tidak merepotkan keluarganya dan merepotkan keluarga Fian.

“Lo yakin mau pindah?” Fian bertanya sekali lagi, sudah puluhan kali Alfin mendengar pertanyaan dari sahabat yang merangkap jadi kakak iparnya itu.

“Fian, gue yakin 100%.” Alfin menatap Fian kesal, sekarang mereka sudah baikan setelah kejadian itu.

“Tapi gue takut lo ngasarin Alya,” Alfin yang masih memasukkan bajunya kedalam koper langsung berhenti.

“Gue usahain nggak sampai main tangan ke dia kalau gue marah,” Alfin berjalan menuju lemari dan mengambil beberapa kartu atm nya.

“Tabungan lo banyak juga,” mata Fian berbinar melihat atm milik Alfin, ‘Dasar mata duitan’ Alfin mendengus kesal.

“Bagi duit dong,” Fian mengajak Alfin bercanda.

“Nih,” Alfin menyodorkan uang 1 juta, itu uang dari hasil bekerja dulu.

“Anjir dikasih beneran,” Fian membelalakan matanya kaget.

“Jadi lo bercanda? Ya udah gue kasih Alya aja.” Alfin langsung memasukkan uang itu kedalam dompetnya.

“Jangan ngasarin Alya!” Alfin mengangguk, dia mulai bosan mendengar ucapan Fian.

Mereka keluar dari kamar Alfin dan menemui keluarganya, Fian sudah pamit pulang duluan karena papanya menelponnya.

Kepindahan Alfin dan Alya sudah diatur oleh Putra, jadi mereka hanya tinggal menempati rumah barunya saja.

“Sekarang Alfin mau berangkat dulu yah, bun.” Alfin dan Alya mencium tangan Putra dan Diana.

“Lo nggak pamit ke gue?”

“Iya bang ini mau pamit ke lo,” Alfin menyalami tangan Kevin lalu pergi keluar bersama Alya.

“Ayok,” nada bicara Alfin berubah menjadi dingin hanya saat berdua bersama Alya.

Mereka masuk kedalam taksi lalu Alfin menyebutkan alamat rumah barunya.

Alya sedih karena Alfin masih bersikap dingin padanya. Setiap hari Alfin cuek dan belum mau tidur sekamar dengannya.

“Aku udah masakin makanan kesukaan kamu,” Alya tersenyum saat Alfin pulang sekolah, dia membawakan tas sekolah Alfin kekamar Alfin sendiri.

Alfin hanya memasang ekspresi datar ke Alya, “Kamu nggak makan dulu Fin?”

Alfin menggeleng lalu masuk kekamar, mengganti seragamnya dengan seragam pelayan cafe.

“Kenapa kamu bersikap dingin sama aku? Apa karena kamu nggak cinta sama aku?” Alya yang kesal langsung membanting piring ke meja makan.

“Apa belum cukup gue nikahin lo dan nafkahin lo doang?” Alya menatap Alfin, dia kecewa mendengar ucapan Alfin itu.

“Jadi selama ini kamu nggak pernah cinta sama aku?” Alfin diam, dia tidak menjawab pertanyaan Alya dan langsung pergi ke cafe.

Alya berlari kedalam kamar, menangis seharian sampai tertidur karena lelah. Tidak perduli nanti jika Alfin pulang tidak ada yang menyambutnya.

Sudah dua minggu pernikahan mereka, tapi tetap saja Alfin belum mempunyai perasaan apapun pada Alya.

Setiap hari Alya selalu mengajak Alfin bertengkar karena Alfin tidak mau berubah, kadang Alfin tidak sengaja menampar Alya saat marah.

Hari ini mereka bertengkar lagi, lebih tepatnya Alya yang marah-marah pada Alfin.

“Kenapa pulang jam 10? Biasanya pulang jam 8, kamu punya cewek lain diluar sana?” Alfin sangat lelah karena lembur di cafe, tapi saat pulang Alya malah menuduhnya yang tidak-tidak.

“Gue lembur, gak usah teriak-teriak! Ini udah malam.” Alfin berjalan menuju kamarnya.

“Arggh,” Alya berteriak kesakitan.

Alfin menoleh kearah Alya yang memegangi perutnya, “Kenapa?” Alfin berlari menghampiri Alya yang duduk dilantai, dia mengangkat tubuh Alya ke atas sofa.

“Perut aku kram,” Alya meringis kesakitan.

Alfin yang panik membawa Alya ke rumah sakit terdekat.

“Dokter, suster. Tolongin istri saya,” Alfin berteriak, tidak sadar jika dia baru saja mengakui Alya itu istrinya.

Seorang suster datang, “Ada keluhan apa mas?”

“Perut istri saya kram.” suster itu mengangguk lalu mengajak mereka ke dokter kandungan.

“Kok ke dokter kandungan?” Alfin bergumam sendiri saat melihat Alya dan dokter kandungan itu duduk dikursi

“Sebelumnya kalian nikah muda?” Alfin mengangguk

“Selamat ya, istri kamu sedang hamil, usia kandungannya sudah dua minggu.” Alya diam mematung, dia menangis.

Alfin menatap datar dokter itu, “Anda bercanda kan dok?”

Dokter itu menatap dua orang di depannya dengan bingung.

“Kalian MBA?” Dokter itu bertanya dengan pelan, saat menyadari ada bekas luka disudut bibir Alya.

Alfin mengangguk cepat, dokter itu menghela nafas gusar.

“Tolong dijaga kandungannya ya, jangan sampai banyak pikiran. Dan kamu itu seorang suami, tidak boleh main tangan pada istri yang sedang hamil.”

Alfin langsung menoleh dan menatap dingin Alya, yang ditatap hanya menunduk takut.

Dokter itu merasa iba kepada Alya yang terlihat gemetar ketakutan.

Bersambung.

ALFIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang