Part_05 Tamparan dari ayah.

3.5K 203 0
                                    

Kevin mencengkram erat setir mobil nya, ‘Alfin tau darimana kalau tante Wina itu kakak ipar nya ayah’

Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di kos an Alfin. Alfin keluar dari mobil lalu diikuti Kevin, “tungguin gue.” Alfin diam di depan pintu sambil menunggu Kevin.

“Lo tau dari siapa kalau tante Wina kakak ipar nya ayah?” Kevin yang masih penasaran langsung bertanya.

“Dari album foto keluarga, kan ada tulisan di belakangnya.”

“Ohh gitu,” Kevin menganggukan kepalanya lega, dia pikir Dion sudah memberitahu Alfin tentang masalalu keluarganya.

“Bikinin gue minum dong Fin, haus nih.” Alfin mengangguk lalu membuat kopi untuk abangnya.

“Nih bang, cepetan habisin terus pulang! Kasihan bunda sendirian di rumah,” Kevin mengangguk lalu menghabiskan kopi nya dan pulang.

Keesokan harinya, Pukul 06.30 pagi.

“Bang Kevin sama bunda kemana ya? Kok belum dateng.” Alfin duduk di atas motornya di depan kos, masih menunggu bunda dan abangnya.

“Gue pergi sekolah dulu aja deh, 20 menit lagi bel bunyi.” Alfin langsung menggas motornya menuju ke sekolah.

Alfin turun dari motornya dan pergi ke kelasnya, IX A. Seperti biasanya Alfin anteng di kelas, memperhatikan pelajaran. Kegiatan Alfin setiap hari hanya Sekolah, belajar, kerja dan menemui bunda di cafe.

Setelah bel pulang berbunyi, Alfin memasukkan alat tulis nya ke dalam tas dan langsung pergi ke cafe.

“Bunda,” Alfin memeluk Diana saat melihat bunda nya menunggu di depan cafe.

“Bunda kok nangis?” dahi Alfin menyerngit heran.

“Bunda berantem sama ayah, jadi bunda dan Kevin mau pergi ke tempat yang jauh dari ayah.”

“Jangan!”

“Kamu di sini aja, jagain ayah.”

“Nggak mau, ayah sering mukulin Alfin.”

“Kamu sayang bunda kan?” Alfin mengangguk.

“Jagain ayah ya, bunda mohon.” Bunda menangis.

“Bunda jangan nangis! Iya Alfin jagain ayah di sini.” Alfin memeluk Diana.
_____

Sekarang Diana dan Kevin sudah pindah ke luar kota.

Pukul 15.00 sore.

Alfin sudah berada di depan gerbang rumah Putra, suasana rumah yang dingin membuat Alfin takut untuk masuk.

“Den Alfin,” Alfin menoleh ke pak Danu, satpam yang sudah bekerja selama 15 tahun di rumah Putra.

“Iya pak?” Alfin menjawab dengan sopan.

“Mari saya antar den,” satpam itu mengantar Alfin sampai teras rumah.

Alfin menekan bel rumah beberapa kali, setelah itu pintu rumah dibuka oleh bi Siti.

“Selamat datang den, maaf saya tidak tau jika aden sudah datang.” bi Siti kaget melihat Alfin sudah datang lalu menunduk sopan.

“Ayah saya dimana?” Alfin masuk rumah.

“Pak Putra sedang di ruang kerja nya, apa perlu saya panggilkan.” bi Siti terlihat takut saat tau Alfin ingin pergi ke ruang kerja Putra.

Semua pekerja di rumah Putra tau jika Alfin anak kandung Putra, yang selalu dipukuli ayahnya sejak kecil.

“Biar saya sendiri,” Alfin menghampiri ayah nya di ruang kerja.

Ceklek

Alfin menarik nafas, bersiap untuk mendapatkan tamparan dari Putra saat masuk tanpa ijin begitu saja.

“Kenapa kamu masuk tanpa mengetuk pintu?” suara ketus Putra langsung menyambutnya.

“Maaf ayah, Alfin lupa.” Alfin tersenyum melihat Putra yang sibuk dengan berkas yang ada di meja.

“Kamu mau berapa?” Putra menatap Alfin sinis.

“Alfin nggak minta uang,” Alfin menatap datar Putra.

“Lalu apa?” Putra mengalihkan pandangannya ke dokumen di atas meja.

“Mulai hari ini Alfin tinggal disini,” Alfin menjawab dengan cepat.

“Untuk apa kamu tinggal disini, bunda dan kakak mu itu sudah pergi.” Alfin mulai takut melihat Putra yang berjalan ke arah nya.

Putra mendorong Alfin, kepala Alfin membentur lemari.
Alfin merasakan sakit di kepala saat rambutnya di tarik kasar.

“Jangan harap saya akan bersikap baik padamu,”

“Sakit,” Alfin menangis.

“Jangan cengeng!” Putra membenturkan kepala Alfin berkali-kali ke lemari lalu pergi keluar rumah. Bi Siti langsung masuk dan membantu Alfin untuk mengobati pelipis nya yang berdarah.

“Udah bi, Alfin gak papa.” Alfin berlari menuju kamar, mengurung diri dan menangis sampai ketiduran.

Sejak kecil saat Diana dan Kevin tidak di rumah, Alfin selalu mengurung diri setelah di aniaya Putra.

Pukul 20.00 Alfin bangun karena lapar.

Alfin keluar dari kamarnya menuju ruang makan, di sana ada Putra yang menunggu nya untuk makan. ‘Aneh banget ayah nungguin makan bareng gue,’ Alfin memikirkan itu saat duduk di kursi.

“Cepat makan!” Alfin mengangguk cepat-cepat menghabiskan makanannya.

Sedari tadi Putra melihat pelipis Alfin yang luka, “Kenapa yah, ayah khawatir ya sama luka Alfin?” Alfin tersenyum.
“Ini udah nggak sakit kok yah.”

“Jangan percaya diri, saya malah menyesal tidak membuat kepala mu bocor sekalian.” Putra masih saja ketus pada Alfin.

Alfin menggenggam sendoknya dengan erat, “Iya ya, ayah mana mungkin khawatir sama Alfin.”

“Cuci piring sana! Dan mulai besok kamu harus bantu bi Siti kerja.” mata Alfin terbelalak kaget, apa-apaan ayahnya ini.

“TAPI ALFIN BUKAN PEMBANTU AYAH,” Alfin berdiri dan protes.

Plak

Alfin memegang pipi nya yang panas, menatap ayahnya yang baru saja menamparnya.

“Jangan membantah!” Putra pergi ke kamarnya, meninggalkan Alfin sendirian.

Alfin berlari menuju kamar nya, menutup pintu dengan kasar dan  menguncinya, dengan emosi dia membanting semua yang ada di meja belajarnya.

Bersambung..

ALFIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang