Bab 10 | Obrolan Malam

85 20 0
                                    

Febiona Azara

Setelah siang tadi ditinggal Mas Johan sendirian di kafe, aku pun memutuskan langsung kembali ke kosan. Lagipula tak ada hal penting yang dapat kulakukan di sana. Beruntung jarak antara kafe dengan kosanku juga tak begitu jauh. Jadi, aku bisa pulang dengan berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan pikiranku terus berputar-putar. Dalam hati aku juga bertanya-tanya. Sebenarnya hal penting apa yang membuat lelaki itu sampai tiba-tiba pergi tanpa ada niat berpamitan langsung padaku? Bahkan dia juga sepertinya enggan sekali basa-basi menawariku pulang bersama.

Sedetik kemudian aku menggelengkan kepala. Segera kutepis jauh-jauh pikiran tersebut. Aku tidak boleh seperti ini! Sejak kapan aku senang mencampuri urusan orang lain?!

Pada malam harinya ketika hendak mengerjakan tugas, aku baru menyadari kalau buku catatanku dipinjam Rara sejak kemarin. Karena aku benar-benar membutuhkannya saat ini, jadi aku memutuskan untuk menghampiri dia di kamar.

Kuketuk pintu bercat putih itu, tapi aku tak kunjung mendapat sahutan apapun dari dalam. Sejenak kuintip keadaan di dalam kamar melalui kaca jendela, ternyata lampu kamar gadis itu belum menyala sama sekali.

Ke mana gadis ini? Biasanya Rara jarang sekali keluar malam kalau tidak ada urusan penting. Akhirnya aku memutuskan kembali ke kamarku. Namun belum sempat aku melangkah, mataku langsung menangkap sebuah mobil yang baru saja berhenti tepat di depan gebang kosan.

Jelas aku mengenali mobil berwarna hitam itu, karena aku juga kenal baik dengan pemiliknya. Seperti dugaanku, Rara akhirnya turun dari sana. Namun, aku tersentak kaget ketika melihat matanya yang tampak sembab. Sepertinya ia baru saja menangis. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku segera berlari kecil menghampirinya.

"Ra, muka lo kenapa?" tanyaku sedikit panik sembari memegang kedua bahunya. Sayang sekali gadis itu masih betah membungkam mulutnya. Hingga akhirnya hal tersebut membuatku sedikit gemas.

"Bang Jevan ya pelakunya?" tanyaku sekali lagi. Bukan tanpa alasan aku tiba-tiba menuduh orang itu, sebab terakhir kali aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau dia pulang bersama dengan laki-laki itu.

Kesabaranku sudah menipis sekarang. Aku tidak bisa membiarkan sahabatku tersakiti seperti ini. Buru-buru aku menghampiri laki-laki tersebut. Namun, dengan cepat pula Rara menahan langkahku.

"Bukan salah dia, Na!" balas Rara lesu.

Kedua alisku mengerut. Untuk beberapa detik aku menatapnya dengan bingung. "Beneran?" tanyaku memastikan.

Rara lantas menganggukan kepalanya. Sedangkan aku akhirnya menghela napas lega. "Oke, kita masuk dulu," ajakku padanya.

Aku menuntun Rara masuk ke dalam kamarku. Namun, aku juga sempat melirik sekilas pada mobil yang masih terparkir di sana. Kulihat Bang Jevan menganggukan kepalanya. Sorot matanya seperti menyuruhku agar mau menemani Rara untuk malam ini.

Baiklah, aku mengaku salah di sini. Dengan seenaknya aku malah menuduh dia telah berbuat jahat pada sahabat dekatku. Lagi pula kalau dipikir-pikir, aneh saja rasanya kalau Bang Jevan sampai hati membuat Rara menangis. Sebab yang aku tahu, laki-laki itu begitu menyayangi tunangannya ini.

Lebih baik aku segera masuk sekarang. Lalu menyimak cerita lengkap dari mulut Rara secara langsung.

***

Tak banyak yang dapat aku lakukan untuk menghibur hati Rara yang sedang gundah gulana itu. Diriku hanya mampu duduk diam sembari menemaninya sampai berhenti menangis. Sesekali pula kutepuk pelan pundaknya.

Ya, gadis itu kembali menitihkan air matanya sesaat setelah ia menjatuhkan pantatnya di atas karpet beludru. Entah untuk siapa air mata itu. Namun, yang jelas aku bisa ikut merasakan kalau ia sedang kecewa pada seseorang.

Go Back | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang