Febiona Azara
"Jadi gimana? Lo udah paham 'kan, Yon?" tanyaku pada laki-laki berwajah seperti bayi itu.
Sempat aku merasa khawatir padanya karena tak bisa menangkap semua penjelasanku dengan mudah. Sebab ia tak berbeda jauh dengan Rara, mereka sama-sama memiliki kerja otak yang cukup lamban dalam memahami materi pembelajaran. Jadi, aku harus sering-sering mengulangi penjelasanku sekali lagi.
"Hmm...," gumam Dion seraya menggaruk tengkuknya. Lelaki itu tak langsung mengatakan iya ataupun tidak. Melainkan kini matanya masih terpaku pada coretan angka di kertas yang tengah ia genggam. Sepertinya dia masih bingung dengan penjelasanku tadi.
"Kenapa? Lo masih bingung?" ulangku sekali lagi.
"Iya," jawabnya lesu.
"Gak papa, lo gak perlu bingung, juga gak perlu capek-capek ngitung manual. Sekarang udah ada software yang namanya SPSS. Jadi, lo tinggal masukin data-datanya, terus klik-klik, jebret! Keluar deh hasilnya."
Dion terkikik geli melihatku yang tampak menggebu-gebu saat menjelaskan perihal kehebatan software SPSS.
"Ya.. tapi 'kan gue tetep aja harus belajar baca hasil perhitungannya. Kalo nggak, bisa habis dibantai sama penguji-penguji gue nanti."
"Yaelah, cara bacanya mah gampang, Yon! Nanti gue ajarin lagi deh kalo lo mau."
"Ya maulah! Masak, nggak?!" serunya.
Sekarang gantian aku yang terkikik geli saat mendapati reaksinya yang terlihat lucu. Beberapa hari yang lalu, dia sempat menghubungiku. Lelaki itu mengeluh karena sedang dipusingkan dengan hasil uji statistika. Akhirnya aku berinisiatif menawarkan diri untuk membantunya. Meskipun kami berdua berasal dari program studi yang berbeda. Namun, setidaknya secara garis besar ada beberapa kesamaan khususnya terletak pada uji statistika.
Setelah lelah berdiskusi, kami pun memutuskan untuk rehat sejenak. Kini Dion sedang sibuk membereskan kertas-kertas yang berceceran di atas meja. Sedangkan aku lebih memilih menikmati segelas teh hangat yang tersisa separuh.
Sebenarnya tak hanya ada kami berdua di sini. Melainkan ada Rara yang juga ikut duduk bersama kami. Sayangnya gadis itu terlihat anteng sekali kalau sudah disuguhkan makanan kesukaannya.
Saat ini kami bertiga sedang berada di salah satu kedai ketan legendaris tepatnya di Jalan Seokarno Hatta. Sejujurnya aku dan Dion tidak telalu suka makanan yang satu itu. Namun berhubung karena Rara sudah mengidam-idamkan jajanan dari beras ketan dengan kuah beraroma durian tersebut, akhirnya dengan terpaksa kami harus menurutinya. Kalau tidak, bisa-bisa dia terus merengek seperti anak kecil.
"Heh! Bersuara napa! Mentang-mentang udah dikasih ketan durian, anteng banget dari tadi," goda Dion sengaja menyenggol pelan bahu gadis itu.
Rara hanya meliriknya sekilas, tanpa ada niatan untuk membalas ucapannya. Sedetik kemudian ia memilih bersikap cuek dan melanjutkan acara makannya. Kini gadis itu sudah beralih pada mangkuk keduanya.
"Wah, beneran udah cocok jadi nenek-nenek lo!" goda Dion sekali lagi. Rupanya dia masih belum puas menggodai Rara. Bahkan kini dengan sengaja lelaki itu menaruh sobekan tisu yang ia remat kecil-kecil di atas kepala si gadis.
"Apaan sih, Nyet?! Berisik lo!"
Rara mendengkus sebal selagi sibuk menyingkirkan tisu-tisu itu dari kepalanya.
Dion tersenyum miring karena pada akhirnya dia berhasil membuat Rara jengkel. Sedangkan aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka. Mungkin sebentar lagi keduanya ribut seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Back | Youngk DAY6
Romance[Book 2] Setelah lama tak bersua, Brian akhirnya bisa membuktikan bahwa bukan gadis lain yang pantas bersanding dengannya. Ona sadar kalau kembalinya lelaki itu ke dalam hidupnya bukan hanya sekedar hal tersebut. Melainkan ia juga ingin memulai kisa...