Bab 13 | Cap Merah Di Pipi

92 19 0
                                    

Brian Adam

Aku langsung menghentikan ceritaku ketika kakung tiba-tiba tersenyum pada seseorang. Saat aku menoleh ke belakang, aku begitu terkejut melihat seorang gadis yang akhir-akhir ini sangat kurindukan wajahnya. Namun, aku berusaha menahan diri untuk sering-sering tidak bertemu dengannya.

"Bi.."

"Eh, cucu Kakung akhirnya datang juga!" seru kakung yang sukses membuyarkan lamunanku.

Sedetik kemudian aku terus merutuki kebodohanku. Sungguh kalau yang kukatakan tadi itu hanya gerak refleks dari lidahku. Bagaimana bisa dengan entengnya aku memanggil nama kecil yang khusus kuberikan untuknya. Padahal sudah lama sekali aku tak memanggilnya dengan sebutan seperti itu.

Kini aku tengah berharap-harap cemas. Semoga saja ia tak menyadari kebodohanku tersebut. Malu sekali rasanya! Nanti mau kutaruh mana wajah tampan bak idol korea ini?

"Assalamualaikum, Kung," kata Ona seraya mencium tangan pria yang sudah memasuki usia lanjut tersebut.

"Wa'alaikumsalam. Kamu kok lama banget toh, Nduk? Kasihan pacarmu ini udah nunggu lama dari tadi."

Kugaruk tengkuk leherku yang terasa tak gatal sama sekali. Dalam hati, aku senang karena kakung masih menganggapku sebagai pacar dari cucu perempuannya itu. Padahal setahuku, aku sudah pernah bercerita kepadanya kalau hubungan kami telah lama berakhir. Namun sebaliknya, aku telah meminta ijin kepadanya untuk tetap menjalin hubungan baik dengan beliau. Maka tak heran kalau aku sering mampir ke sini dan mengajak kakung bermain catur bersama. Bahkan kini kakung sepertinya sudah menganggapku seperti cucunya sendiri.

Sesekali aku mencuri pandang pada gadis itu. Kulirik dia tengah kebingungan karena harus memberikan jawaban yang seperti apa. Secara setiap kali aku main ke sini, aku tak pernah bilang apapun padanya.

"Iya, Kung. Maaf kalau Ona datengnya telat."

"Yo wes, gak papa. Kakung tinggal ke dalam dulu ya?"

Kakung akhirnya beranjak dari tempat duduknya, lalu masuk ke kamar. Kini yang tersisa hanyalah kami berdua. Detik demi detik telah berlalu, tapi Ona masih betah berdiam diri di tempatnya. Hingga akhirnya dengan inisiatifku sendiri, aku pun menepuk sisi kosong yang ada di sampingku. Ia mengerti, lalu duduk di atas balai-balai bambu bersamaku tanpa mengucap sepatah katapun.

Sekarang entah kenapa aku yang malah jadi takut mengajaknya bercengkrama. Aku juga tak berani manatap matanya secara langsung. Semua ini dikarenakan diriku merasa seperti maling yang tengah tertangkap basah. Tanpa sepengetahuannya, aku sering main ke rumah ini. Hingga menjadi akrab sekali dengan kakung.

"Hei, apa kabar?"

Sebenarnya aku sudah tak betah kalau terlalu lama disuruh berdiam-diaman seperti ini. Jadi, kuputuskan untuk memulai obrolan terlebih dahulu.

"Baik, Kak."

Sayangnya jawaban singkat yang ia berikan malah menjadikan otakku buntu untuk sekedar mencari topik obrolan selanjutnya. Hingga pada akhirnya kami pun sama-sama terdiam kembali.

"Hmm..," gumam gadis itu secara tiba-tiba.

Spontan saja aku langsung menoleh padanya. Namun, pada detik berikutnya diriku malah dibuat tertegun cukup lama. Bukan! Aku sudah biasa tersihir akan kecantikan alami yang ia miliki. Namun, yang kumaksud di sini adalah ada sesuatu yang begitu menarik perhatianku.

Pipi kanan milik gadis itu terlihat memerah. Bukan karena sedang tersipu malu. Melainkan seperti ia baru saja menerima tamparan dari seseorang. Namun, siapa yang tega melakukannya?!

"Kak!" tegurnya seraya mengoyang pelan lenganku.

Lagi-lagi lamunanku buyar seketika. Kini wajahku seperti orang linglung.

Go Back | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang