Bab 17 | Tersesat

64 14 1
                                    

Febiona Azara

Seusai acara resepsi pernikahan Mas Juan, aku memutuskan langsung pulang ke rumah. Namun, sialnya aku malah ditinggal sendirian oleh seluruh anggota keluargaku.

Kak Soraya harus pulang lebih awal bersama dengan keluarganya. Maklumlah karena dia harus menempuh perjalanan jauh. Begitupun juga dengan Kak Gina dan mami.

Mereka berdua ikut-ikutan pulang tanpa menungguku selesai berganti pakaian. Sebenarnya bisa saja aku tidak marah pada mereka kalau Kak Gina dan mami mau menepati janjinya. Namun, sayangnya semua itu hanyalah omong kosong. Padahal mereka sudah berjanji padaku kalau aku setuju untuk berangkat bersama Mas Johan, maka aku boleh pulang satu mobil dengan mereka.

Kini aku terpaksa pulang dengan diantar Mas Johan lagi. Seperti biasa ketika kami sedang berduaan, lelaki itu tak segan-segan menunjukkan tampang aslinya. Apalagi beberapa jam yang lalu dia hampir terlibat pertengkaran dengan Kak Brian.

Jadi tak heran kalau melihatnya saat ini sedang sibuk menyetir sembari mulutnya tak berhenti mengomel. Hingga secara otomatis telingaku harus rela menjadi korbannya. Selain mengomel panjang seperti jalan tol, sesekali aku juga bisa mendengar umpatan demi umpatan yang ia lontarkan dari bibir tipisnya itu.

Sedari tadi aku lebih memilih diam membisu seraya menatap pemandangan lampu kota melalui kaca jendela di sampingku. Bahkan saking asyiknya tenggelam dalam pikiranku, aku sama sekali tak memperdulikan apa yang sedang lelaki itu perbuat. Tak ada satupun ucapannya kusimak dengan baik.

Lagipula percuma saja kalau aku dengan sukarela meladeninya. Toh semua itu hanya buang-buang waktu dan tenagaku saja. Bisa-bisa nanti aku juga ikutan emosi.

Apalagi saat ini tubuhku sudah benar-benar lelah karena dibawa beraktivitas seharian secara terus-menerus. Biarkan saja lelaki itu melakukan apapun yang dia mau. Mungkin kalau dia lelah, ia akan berhenti dengan sendirinya.

"Cih! Gaya banget mau ngalahin gue! Emang dia punya apa? Cuman pegawai biasa, tapi belagunya minta ampun!" ejek lelaki itu.

Tanganku mengepal kuat ketika Mas Johan dengan seenaknya merendahkan Kak Brian di hadapanku secara langsung. Bukannya aku bermaksud membela mantan pacarku itu, tetapi tidak sepantasnya dia menghina orang lain. Meskipun statusnya sebagai direktur utama di bank swasta jauh di atas Kak Brian yang hanya seorang karyawan biasa.

"Heh, bocil! Lo kok bisa sih pacarin orang gak jelas kayak gitu? Kalo gue jadi lo ya, mending cari yang menjanjikan masa depannya kayak gue ini!" ocehnya melantur sampai ke mana-mana.

Kututup kedua mataku sejenak sembari menghirup napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Dengan susah payah aku mencoba kembali mengumpulkan stok kesabaran yang mulai menipis ini.

"Lo kok diem aja dari tadi?! Bisu lo?!" ujarnya seraya menoleh padaku. "Oh, sekarang gue paham lo belajar berontak dari mana. Pasti dari dia 'kan?!"

"Kak Brian gak gitu orangnya, Mas," jawabku dengan sabar setelah sekian lama membungkam mulutku.

"Halah! Lo sengaja 'kan belain dia?!" elaknya.

"Aku gak belain dia."

"Ck! Gitu aja pake ngeles. Dengerin gue ya! Lo itu gak usah belain dia lagi, gak ada gunanya! Calon suami lo 'kan gue, bukan dia!" ujarnya dengan sombong.

"Heh?! Calon suami?" tanyaku sembari membuang muka sekaligus tertawa mengejek. Sontak saja lelaki itu langsung menatapku dengan alis mengerut dalam.

"Perasaan Mas Johan gak pernah melamarku secara resmi. Jadi lebih baik jangan pernah bermimpi!" sindirku dengan nada seketus mungkin.

Go Back | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang