Bab 14 | Ancaman

88 17 0
                                    

Febiona Azara

Ketika aku membuka pintu, diriku langsung bisa mendapati suasana rumah yang terlihat sepi. Cuman ada suara Ojan yang tengah berteriak di ruang tengah. Sepertinya ia sedang asyik bermain PS yang beberapa bulan lalu dibelikan mami sebagai kado ulang tahunnya. Berbicara tentang mami, saat ini aku belum menemukan keberadaannya. Entahlah, mungkin sekarang beliau sedang berada di rumah Kak Gina.

"Sst! Jan," panggilku dengan suara kecil. Aku sengaja berbisik karena takut ketahuan. Sebab sampai saat ini aku masih malas kalau harus berhadapan dengan mami ataupun Kak Gina.

Merasa terpanggil, Ojan lantas menjeda game-nya sejenak. Ia lantas berpaling padaku.

"Ada apa, Tante?" tanya bocah itu.

"Nenek mana?"

"Oh, Nenek lagi di rumah belakang."

Syukurlah kalau begitu. Akhirnya aku bisa bernapas dengan lega. Itu artinya secara otomatis aku langsung bisa mengunci diri di dalam kamarku.

"Oke, makasih."

Setelah berkata demikian, buru-buru aku berlari melewatinya. Baru saja aku hendak menaiki anak tangga, Ojan tiba-tiba memanggilku lagi.

"Eh, tunggu dulu, Tante!" cegahnya.

Seketika aku langsung menghentikan langkahku. Hampir saja kakiku tersandung anak tangga. Namun, beruntungnya aku bisa perpegangan pada pagar pembatas.

"Apa?" tanyaku pada Ojan.

"Kata Nenek, Tante disuruh mandi kalau udah pulang."

"Oh, tenang aja. Habis ini Tante mandi kok."

Aku kembali melanjutkan langkahku dan meninggalkan bocah kecil itu. Setengah jam kemudian, aku baru selesai membersihkan badan. Kuintip suasana ruang tengah yang tak lagi sepi seperti sebelumnya. Sekarang di sana sudah ada mami yang sedang menemani Ojan. Ternyata beliau sudah kembali dari rumah Kak Gina.

Kini aku benar-benar bingung harus berbuat apa. Ingin rasanya aku langsung kabur ke kamar, tapi aku harus melewati ruang tengah terlebih dahulu. Hingga akhirnya suara wanita tersebut tiba-tiba mengagetkanku.

"Kenapa masih berdiri di situ?"

Tubuhku seketika itu langsung menegang. Setelah mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang kumiliki, secara perlahan aku pun membalikan badan.

"Ehmm..," gumamku tak jelas seraya bola mataku menari-nari ke sana dan kemari.

"Kamu gak makan? Nasinya masih banyak tuh."

"I–iya, Mi," jawabku dengan gugup seraya menggaruk leherku yang terasa tidak gatal.

Karena pikiranku buntu harus berbuat apa, akhirnya aku memutuskan pergi ke ruang makan. Dapat kulihat di atas meja saat ini telah tersaji nasi putih lengkap dengan lauk-pauk beserta sayur mayurnya.

Sejenak hatiku tiba-tiba menghangat. Ternyata dalam keadaan marah-marahan begini, mami masih mau menyiapkan makan malam untukku. Kebetulan sekali perutku sudah keroncongan dari tadi. Maka tanpa perlu berlama-lama lagi, aku pun bergegas menyendokan nasi ke atas piring.

Selama aku sibuk mengunyah makanan, aku baru tersadar kalau mami tadi tak membahas soal Kak Brian sama sekali. Sepertinya beliau telah melupakan kejadian tadi pagi yang sempat membuatku sakit hati.

***

Keesokan harinya, aku harus bersiap balik ke rutinitasku seperti biasa. Saat diriku berjalan menuruni satu persatu anak tangga, tak sengaja telingaku mendengar suara mami yang tengah berbincang dengan seseorang.

Go Back | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang