Bab 23 | Kabur

68 13 0
                                    

Febiona Azara

Setelah menyelesaikan pendaftaran sidang proposalku, sekarang aku harus bergegas pulang ke Sidoarjo. Namun, sebelum itu terlebih dahulu aku harus pergi ke terminal. Karena jarak antara Terminal Arjosari dengan kampusku lumayan jauh, maka dari itu Rara menawarkan diri untuk mengantarku ke sana. Kebetulan setelah melakukan sesi bimbingan dengan dosennya, gadis itu tak ada kegiatan lain lagi. Jadi, aku tak sampai merepotkannya.

Aku turun dari motor matic yang biasa ditumpangi Rara ketika berhenti di dekat pintu keluar terminal. Biasanya setiap naik bus, aku lebih senang naik dari pintu keluar ini. Sebab kalau naik dari dalam terminal, aku harus rela menunggu cukup lama sampai bus itu berangkat.

"Neng, kamu yakin mau pulang sekarang?" tanya Rara sembari menatapku khawatir. Gadis itu sudah tahu cerita lengkapku tentang acara lamaran yang dirasa mendadak ini. Dia bahkan juga tahu kalau aku telah dijebak Mas Johan, supaya pernikahan kami dipercepat.

"Ya... mau gimana lagi, Ra?" jawabku pasrah seraya menundukan kepala.

Terdengar helaan napas berat darinya.

"Ya udah deh, kamu hati-hati di jalan. Semoga besok acaranya lancar," katanya sembari memberikan tepukan pelan di pundakku.

Kubalas ucapannya dengan senyuman tipis.

"Iya, Ra. Maaf kalo aku gak bisa ngundang kamu," ucapku merasa tak enak hati.

Bukannya aku tak mau, tapi ini sudah menjadi permintaan mami. Katanya, acara lamaran seperti ini lebih baik dihadiri oleh keluarga saja. Bukan terbuka untuk orang lain.

"Ck! Udah gak papa. Aku dulu juga gak ngundang kamu 'kan? Jadi, impaslah kita."

Ah, benar juga. Kemarin saat dia bertunangan, gadis itu juga tidak mengundangku dengan alasan yang sama. Bahkan lebih parahnya lagi, aku baru tahu kalau Bang Jevan yang menjadi tunangannya sesaat setelah beberapa hari kemudian.

"Aku berangkat dulu, ya. Kamu hati-hati baliknya," kataku saat melihat dari kejauhan bis dengan tujuan Malang-Surabaya-Gresik bergerak keluar dari terminal.

"Iya, Neng."

Setelah bis itu berhenti, aku lantas segera menaikinya. Ketika sudah mendapatkan tempat duduk yang nyaman, aku bisa melihat dari kaca jendela Rara masih berdiri di sana. Gadis itu tampak sedang melambaikan tangannya padaku.

Tanpa sungkan-sungkan, kubalas lambaiannya. Hingga tak lama kemudian bis yang kutumpangi akhirnya melaju pelan meninggalkan terminal itu. Baru jalan beberapa kilometer, mataku tiba-tiba terasa berat. Sepertinya ini efek karena terlalu memaksakan diri untuk begadang kemarin malam.

Sebelum mengistirahatkan mataku, terlebih dahulu aku mengirimkan sebuah pesan singkat untuk Kak Gina, yang mana isinya memberitahukan kalau aku baru saja berangkat dari terminal Arjosari. Sekaligus memintanya untuk menjemputku di halte sekitar satu setengah jam kemudian.

***

Kepalaku sempat terkantuk kaca jendela bis ketika Pak Supir tak sengaja menginjak rem secara mendadak, hingga membuatku mau tak mau harus terbangun dari tidur. Sejenak kuedarkan pandanganku menatap keadaan di luar kaca jendela. Rupanya aku baru sadar kalau beberapa kilometer lagi aku harus turun dari bis ini. Maka segera mungkin aku bersiap-siap mengemasi barang-barangku.

Namun ketika bis yang kutumpangi sebentar lagi sampai di halte tempat biasa aku turun, entah mengapa hatiku tiba-tiba merasa bimbang. Tak tahu dari mana sebuah ide gila muncul di otakku.

"Apa aku nekat kabur aja ya?" tanyaku dalam hati. Kini aku sedang berpikir keras seraya menggigiti bibir bawahku. Aku rasa ini adalah kesempatan bagus untuk menghindari acara lamaran esok hari. Apalagi bis ini tetap melaju sampai ke kota sebelah, meskipun aku turun di halte itu.

Cukup lama waktuku terbuang demi mengambil sebuah keputusan yang menurutku sangat sulit, hingga pada akhirnya aku memilih untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan emas kali ini. Sengaja aku tak ingin beranjak dari tempat dudukku ketika bis benar-benar berhasil berhenti.

Cepat-cepat aku bersembunyi ketika aku melihat Kak Gina berdiri di halte itu. Rupanya dia sudah menungguku di sana. Hingga tak berapa lama kemudian, bis pun kembali berjalan. Setelah dirasa cukup jauh, aku kembali menegakkan tubuhku.

Sekarang aku bisa bernapas dengan lega karena telah berhasil menghindari Kak Gina. Namun, di lain sisi aku juga bingung karena tak tahu harus ke mana sekarang. Ditambah lagi aku jarang sekali bepergian jauh sendirian selain rumah-kosan. Satu hal yang pasti, aku hanya ingin pergi sejauh mungkin.

"Maaf, Mi. Kali ini Ona beneran gak bisa," lirihku dalam hati.

***

Ketika menjelang sore, aku memutuskan turun di pemberhentian terakhir. Sekarang aku sudah seperti orang tersesat dan tak tahu jalan pulang. Tempat ini terasa sangat asing bagiku. Untungnya aku masih menyimpan uang lebih untuk berjaga-jaga.

Sejenak aku teringat pada sepupuku yang selalu bisa diandalkan. Mungkin sekiranya dia bisa membantuku. Akhirnya buru-buru aku mencari namanya dalam daftar kontak yang tersimpan di ponselku. Setelah ketemu, tanpa basa-basi aku langsung menghubunginya.

Baru saja nada sambung terdengar, tiba-tiba aku segera tersadar akan satu hal.

"Ah, iya! Mas Juan 'kan sekarang lagi di Sidoarjo," ucapku sembari menepuk jidat.

Aku yakin sekali kalau lelaki itu sudah pulang kampung. Secara besok dia harus menghadiri acara lamaranku. Kembali aku menghela napas kecewa. Kini kepalaku tertunduk lesu. Tidak ada lagi yang bisa menolongku.

Apa aku harus menyerah dan pulang ke rumah?

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak! Aku tidak mau pulang sekarang. Aku harus mencari cara lain supaya bisa melarikan diri, setidaknya sampai esok lusa nanti.

Tiba-tiba sebuah ide konyol muncul di kepalaku. Apa lebih baik aku menghubungi lelaki itu saja? Bukankah di saat seperti ini dia juga bisa diandalkan, seperti saat kemarin.

Namun, lagi-lagi aku menggelengkan kepala. Tidak boleh! Aku tidak boleh memanfaatkannya lagi. Sudah cukup dia terluka karena aku sengaja menutup-nutupi soal Mas Johan darinya.

Sayangnya hati dan otakku tidak pernah sinkron. Dengan cerobohnya tanganku memencet tombol dial up, hingga membuat nada tunggu itu akhirnya terdengar. Setelah menyadari kebodohanku, buru-buru kututup telepon itu. Kini dadaku terasa bergemuruh tidak karuan. Dalam hati aku berdoa, semoga Kak Brian tak sampai menyadarinya.

"Bodoh! Kenapa malah telpon dia sih?!" dumelku tak jelas.

=TBC=

Go Back | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang