Bab 5 | Dosen Pembimbing

157 25 2
                                        

Febyona Azara

Aku tak pernah membayangkan rasanya kalau menanti pengumuman dosen pembimbing ternyata semenegangkan ini. Padahal ketika mendaftarkan judul proposalku kemarin, aku merasa biasa saja. Secara menurutku semua dosen itu sama, yang terpenting cepat lulus atau tidaknya itu tergantung dari kita. Apakah kita sudah benar-benar menguasai topik permasalahan yang akan kita bahas di dalam skripsi kita nanti atau malah sebaliknya. Jangan sampai topik yang kita ambil tersebut dirasa sangat menarik dan bagus untuk dijadikan sebuah penelitian, tapi ternyata kita malah kesulitan dalam menyelesaikannya. Apalagi kalau pengerjaannya di luar batas kemampuan.

Sayangnya sekalipun aku mencoba bersikap masa bodoh, tapi aku tetap saja menyesal. Ternyata sang dewi fortuna tidak sedang berpihak padaku. Semua yang kurencanakan secara matang-matang kemarin, langsung hancur berantakan.

"Udahlah, Neng! Kamu gak perlu sampai putus asa gitu. Dibawa santai aja kali! Bu Wardah gak bakal gigit kok," hibur Rara ketika melihatku sedang berdiri lesu di depan papan pengumuman.

Baru saja aku menyadari kalau aku telah membuat kesalahan yang sangat fatal. Sungguh aku benar-benar melupakan satu fakta bahwa Bu Wardah merupakan dosen mata kuliah bahasa dan kesastraan. Jadi, jika aku mengambil konsentrasi mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka sudah dipastikan peluang beliau untuk menjadi dosen pembimbingku terbuka dengan lebar.

"Tapi masalahnya, Ra. Beliau itu–"

Aku tak bisa melanjutkan ucapanku. Sulit rasanya mengakui kalau aku merasa keberatan dengan keputusan ini.

"Lho, emangnya kenapa sama beliau? Kamu takut diceng-cengin kayak dulu lagi?"

Aku mengangguk lesu seraya menundukkan kepala.

"Ya, elah! Kamu 'kan anaknya pinter, Neng. Jelas bakalan aman dah! Lagian kamu juga udah putus dari anaknya. Jadi, apa yang musti dikhawatirin lagi sih?"

"Kamu gak tau, Ra. Kadang kalo aku papasan sama Bu Wardah di lobby, aku masih sering digodai sama dia. Bahkan Pak Antok saja sampai hafal kalo aku tiap main ke ruang dosen ngiranya lagi nyari beliau. Terus pake bawa-bawa panggilan mama mertua lagi!"

Rara lantas tertawa geli ketika mendengar gerutuanku. Sedangkan diriku langsung mendengkus sebal. Bahagia sekali dia melihatku sedang menderita seperti ini.

"Ya udah, sih. Semuanya udah terjadi 'kan? Jadi, gak perlu kamu sesali lagi!"

"Harusnya sih gitu," ucapku pasrah. Namun, sedetik kemudian aku malah mengerang frustasi. "Argh! Kenapa aku kemarin milihnya Bahasa Indonesia?! Padahal aku jago banget Matematika."

"Lha, mana aku tau! Emang kamu sendiri kenapa?"

"Aku cuman pengen cepet kelar aja. Jujur ya, pas habis tugas PTK kemarin, aku ogah banget ambil penelitian tentang Matematika lagi."

"Ye, aku pikir kamu milih bahasa karena ada Bu Wardah."

"Ck! Yang ada aku malah pengen menghindar dari dia."

***

Hari ini adalah hari pertama di mana aku memulai bimbingan bersama dengan Bu Wardah. Semalam beliau mengabari di group chat, kalau beliau membuka sesi bimbingan dari pukul satu siang sampai tiga sore. Akhirnya setelah kelasku selesai, aku langsung bergegas turun ke lantai satu untuk menemuinya di ruang dekan. Kupikir aku sudah terlambat. Namun, ternyata masih banyak mahasiswa yang mengantri bimbingan. Alhasil aku harus menunggu setidaknya dua atau tiga orang lagi.

Saat giliranku tiba, aku semakin deg-degan. Sampai-sampai aku melupakan poin-poin penting apa yang akan kusampaikan pada beliau.

"Oh! Hei, Na! Kamu anak bimbingan saya juga?" sapa Bu Wardah saat menyadari keberadaanku. Kutarik sebuah kursi tepat di hadapannya, lalu duduk seraya tersenyum canggung.

Go Back | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang