Bab 31 | Ona Sempro

55 12 1
                                    

Febiona Azara

Sebelum kembali ke rutinitasku seperti biasanya, hubunganku dengan Mami mulai membaik. Terhitung semenjak percakapan kami pada malam itu. Kini beliau tak lagi mempermasalahkan kehidupan asamaraku dengan lelaki manapun, termasuk dengan Kak Brian. Namun, dengan catatan asalkan dia adalah orang baik.

Tak hanya itu saja, Kak Gina juga sempat meminta maaf padaku. Ia sungguh menyesal karena terlalu memaksakan kehendaknya untuk menjodohkanku dengan psikopat gila itu. Tentu aku langsung memaafkan segala kesalahannya. Sebab aku juga tahu kalau dia termasuk korban dari kebohongan yang telah lelaki itu ciptakan.

Sekarang aku sudah memutuskan untuk melupakan kejadian tersebut dan berfokus pada urusan studiku. Apalagi sekarang ujian seminar proposal sudah menunggu di depan mata. Tentu aku harus memberikan segala hal yang terbaik untuk mendapat nilai sempurna.

Sayangnya fokusku tetap saja terpecah menjadi dua. Sebab hingga saat ini aku masih memikirkan kelanjutan hubunganku dengan Kak Brian. Aku tak tahu sebenarnya hubungan kami sekarang ini apa. Mungkin jika ada seseorang bertanya tentang statusku dengannya, maka aku juga tak tahu harus menjawab kalau kami telah kembali bersama atau hanya berteman saja.

Sulit untukku memastikan sejauh mana hubungan ini. Jangankan untuk bertanya, untuk sekedar menghubunginya saja masih sulit. Terbukti pesan singkat yang kukirimkan semalam, hanya dibacanya tanpa ia balas sama sekali.

Aku menghela napas kasar. Selalu saja seperti ini. Ketika aku mulai memberinya sinyal hijau, lelaki itu secara perlahan mulai menjauh. Seakan dia tak pernah bersungguh-sungguh dengan perasaannya padaku. Atau jangan-jangan selama ini rasa suka itu memang sudah menghilang?

Seketika aku menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan pikiran buruk itu. Hingga tanpa sadar gerak-gerikku telah mengundang tanda tanya dari seseorang yang tengah duduk di sampingku.

"Ngelamun aja! Udah siap belum?" tegur gadis berambut pendek itu. Siapa lagi kalau bukan Rara.

Kebetulan aku memintanya untuk menemaniku. Saat ini kami berdua tengah duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di depan laboratorium bengkel kerja di mana nantinya akan dilaksanakan ujian seminar proposalku.

Aku tersadar kembali saat bahu gadis itu menyenggolku. Seharusnya waktu satu jam bisa kumanfaatkan untuk mempelajari proposalku kembali. Terutama bab tiga yang katanya sering dibahas pada sesi tanya jawab. Namun karena asyik melamun, lagi-lagi aku jadi tidak fokus.

Aku mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaannya. Tak lama kemudian, Bu Wardah beserta dua orang yang kuyakini adalah dosen pengujiku tengah berjalan mendekati kami. Ternyata waktuku sudah habis.

Aku menghela napas panjang. Sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk. Sebelum aku malangkah memasuki laboratorium bengkel kerja dengan perasaan lesu, sempat kudengar Rara berbisik untuk menyemangatiku. Tak lupa ia juga mengepalkan kedua tangannya. Namun, hanya kubalas dengan anggukan kepala seraya tersenyum tipis.

***

Hampir empat puluh menit berlalu, akhirnya aku berhasil menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan para penguji tanpa merasa kesulitan sedikitpun. Dengan rasa bangga aku menutup ujian seminar proposal kali ini. Senyum bahagia terpancar jelas di wajahku ketika aku menyalami satu persatu dosen penguji.

"Selamat ya, kami tunggu revisinya secepatnya," kata salah satu dosen penguji.

Seingatku beliau adalah dosen Ilmu Pengetahuan Sosial yang terkenal killer sefakultas FKIP. Pernah aku dibuat jengkel satu kali ketika kami bertemu di beberapa semester lalu. Kala itu alarm handphone-ku secara tiba-tiba mati. Hingga pada akhirnya aku harus lari terburu-buru dari kosan menuju lantai tiga gedung fakultasku.

Sayangnya ketika aku sampai, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 08.06 yang mana sudah lewat satu menit dari waktu toleransi keterlambatan. Alhasil dengan kejamnya dosen itu menyuruhku keluar dari kelasnya.

"Baik, Pak," jawabku dengan senyum setengah tidak rela karena masih dendam padanya. Untung saja ketika sesi tanya jawab tadi beliau tidak terlalu mengajukan pertanyaan yang sulit.

"Ngomong-ngomong, saya baru tahu kalau kamu calon menantunya Bu Wardah."

Seketika tubuhku langsung menegang. Dari mana beliau tahu gosip itu? Namun, aku lebih penasaran dengan penyebar gosip yang tidak-tidak itu. Atau jangan-jangan selama ini Bu Wardah sendiri yang mengumbar cerita kepada seluruh rekan kerjanya? Ah, rasanya itu sangat tidak mungkin!

"Loh, jadi gosipnya beneran nih, Bu?" sahut dosen penguji yang lain.

"Lah, Ibu baru tahu ya? Tapi kayaknya Bu Wardah harus bangga deh punya calon menantu cantik dan pintar seperti ini."

Diam-diam aku tersipu malu saat salah satu dari mereka memujiku. Kalau begini 'kan rasanya aku semakin besar kepala.

"Udah dong, Bu, Pak. Kasihan ini anaknya udah tegang digodai terus dari tadi," jawab Bu Wardah yang pada akhirnya angkat suara. Kulihat ia tengah tersenyum misterius padaku.

"Gak papa ya, Mbak? Kamu loh udah cocok kok jadi menantunya Bu Wardah."

"Iya, bener! Sayang sekali putra saya masih berumur lima tahun," ujar dosen killer itu sedikit menyesal.

Seketika aku langsung dibuat merinding saat mendengarnya. Sungguh aku tidak bisa membayangkan bagaimana ketika beliau benar-benar menjadi mertuaku. Mungkin kalau berbuat sedikit kesalahan, bisa-bisa aku selalu mendapat sanksi.

"Memangnya kenapa, Pak, kalo baru umur lima tahun? Mau coba diadu sama anak saya?" canda Bu Wardah.

"Kalau bisa sih, Bu."

Ketiga dosen itu tertawa lebar. Sedangkan aku hanya menyengir seperti kuda. Tak lama kemudian, dua dosen penguji itu meninggalkan ruangan ini satu persatu. Sekarang tersisa hanya aku dan Bu Wardah di sini. Ketika aku sibuk meneliti kembali draf proposal yang sudah dicorat-coret oleh dosen penguji, wanita itu tiba-tiba menghampiriku.

"Selamat ya, sayang. Kamu hebat banget tadi!" puji Bu Wardah seraya memelukku hangat.

"Iya, terima kasih, Bu."

"Habis ini jangan malu-malu lagi ya. Kalau ada yang tanya kamu beneran calon menantu saya, jawab aja iya, oke?"

Aku tersenyum canggung padanya. Jujur, aku tak tahu harus merasa senang atau sedih. Andai beliau tahu kalau anaknya susah dihubungi beberapa waktu belakangan, mungkin aku tak akan merasa ragu untuk mengiyakan ucapannya.

"Oke, saya ke kantor dulu. Kalau ada yang perlu ditanyakan, temui saya di sana," pamitnya.

"Iya, sekali lagi terima kasih atas bimbingannya, Bu."

"Sama-sama, jangan lupa saya tunggu revisiannya, paling lambat seminggu."

"Baik, Bu."

Setelah Bu Wardah pergi, aku lantas bergegas membereskan semua barang-barangku. Mulai dari laptop, carger, hingga draf proposal. Ketika aku keluar dari ruangan, kupikir hanya Rara yang akan menyambutku sekaligus memberikan ucapan selamat. Namun, bukan itu yang kudapat.

Ternyata gadis mungil itu tidak sedang sendiri. Melainkan kini ia tengah bersama dengan Dion dan satu orang lagi yang tak pernah kebayangkan akan datang sebelumnya.

=TBC=

Go Back | Youngk DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang