26

9.8K 743 60
                                        

Ini sudah tiga kalinya Damar mematikan musik yang kunyalakan dari mini player dashboard mobil. Kali ini bahkan ditambah dengan dengusan kasar. Seperti dugaanku, bocah ini sedang melancarkan aksi ngambeknya meski aku tidak tahu apa yang membuat dia kembali kolokan seperti ini. Kenapa sih dia itu kalau ngambek selalu matiin musik yang ingin kudengar?

"Habis ini aku drop kamu di kafe saja ya." Aku memulai pembicaraan. Damar melirik sekilas, kemudian mendengus pelan, "ini kan masih sore, buat apa ngedrop aku di kafe? Lagian hari ini aku kan nggak kerja."

"Memangnya selama ini kamu mau kasih tahu tinggal di mana? Tiap kali keluar bukannya maunya kamu didrop di kafe atau kamu nganterin aku pulang terus kamu pulang sendiri?"

"Mmm ... itu kan ...."

"Itu apa? Aku maklum sih. Nggak mungkin kamu bakal kasih tahu aku semua tentang hidupmu. Apalagi keluargamu. Nggak papa. Jaga-jaga aja kan, kalau memang kamu sudah bosan dengan hubungan kita. Toh nggak ada orang tua yang bakal restuin anaknya berhubungan dengan perempuan yang umurnya lebih tua darinya."

"Heii ... ngomong apa sih, kenapa jadi ngelantur ngomongnya. Nggak gitu, Sayang. Aku tuh—"

"Nevermain. Nggak usah dibahas." Aku mengibaskan tangan, nggak mau mendengar alasan yang aku yakin bisa menebaknya. Menyadari kalau hubungan yang kujalin ini tidak mungkin akan berjalan mulus, aku menghela napas panjang. Orang tua mana yang mengijinkan anaknya yang masih SMA berpacaran dengan perempuan yang usianya sembilan tahun di atasnya? Meraba dada kiriku, merasakan nyeri yang tak kasat mata. Kenapa aku tidak pernah memikirkan hal ini saat memutuskan jatuh cinta padanya?

"Kenapa?" Damar menatapku sekilas. Aku menggeleng pelan.

"Heeiii ...," Damar meraih tangan kananku, menggenggamnya erat, "nggak usah berpikiran aneh-aneh deh. Kamu tahu kan aku tuh sayang banget sama kamu. Cinta banget malah. Kamu percaya kan sama pacarmu ini?" bocah itu mengecup lembut punggung tanganku kemudian mendekapkan tanganku di dada kirinya, "kamu bisa rasain kan, kalo sama kamu tuh, jantungku nggak bisa berdetak normal." Bocah itu terkekeh sendiri. Aku hanya tersenyum menanggapi, tidak mau membahasnya lebih jauh.

"Sudah, jangan sedih dong. Aku janji sama kamu, kalau sudah waktunya, aku bakal kenalin kamu ke keluargaku. Aku hanya punya ayah, by the way. Ibuku sudah tidak ada." Aku menatap Damar, bocah itu melirikku sekilas, lalu tersenyum.

"Aku juga ingin kamu tahu tentang keluargaku. Aku nggak niat menyembunyikan apapun dari kamu. Hanya saja, aku harus bisa menjadi laki-laki yang bertanggung jawab saat mengenalkanmu pada ayahku. Kamu juga nggak mau kan dibilang punya pacar yang nggak bisa apa-apa dan cuma bisa manfaatin kamu aja? Meski aku nggak pernah manfaatin uang kamu sih, cuma pasti orang lain akan berpikir kayak gitu."

Ucapan Damar membuatku terpana. Bocah ini benar-benar dewasa pemikirannya. Sungguh, Damar itu kayak laki-laki dewasa yang terjebak dalam tubuh anak remaja. Oh Tuhan, kenapa aku makin jatuh cinta sama dia sih?

"Hei, malah bengong. Kita ke mana lagi? Jangan bilang kalau kamu mau pulang."

"Aku masih ada janjian. Makanya kubilang kamu di drop aja di kafe—"

"Janjian sama siapa?" potong Damar. Menoleh ke arahku, memicingkan mata. Aku mendengus pelan. Baru aja dipuji dewasa, jiwa bocahnya muncul lagi.

"Aku diundang sama kantor lama. Mereka syukuran kecil-kecilan karena proyek kemarin sukses, jadi—" belum menyelesaikan ucapan, Damar sudah memotong pembicaraan, "kan kamu udah resign dari kantor itu. Akal-akalan kamu kan, masih pengen ketemu sama bos yang suka mepet-mepet kamu itu?" Bocah itu kembali mendengus, "nggak. Nggak usah ke sana."

"Kok ngatur sih?" Aku meliriknya sekilas.

"Nggak suka?" Damar menghela napas, "iya, aku tahu kalo aku tuh nggak pernah jadi prioritasmu, tapi paling nggak, hargain aku sebagai orang yang cinta sama kamu dong."

"Mau dihargain? Berapa?" Aku tertawa melihat ekspresi Damar yang sempat melebarkan mata kemudian mendengus kasar.

"Kamu tuh ya, Rel," Damar mengacak rambut tebalnya, "ya sudah, kamu janjian di mana? Aku antar." Aku berdecak membalas ucapan Damar. Pasti bakalan ribet kalau bocah itu ikut.

"Nggak usah. Ngapain juga kamu ikut? Mereka cuma ngundang aku."

"Bukan karena pengen tepe-tepe sama bos genit kamu itu?"

"Yang kamu bilang bos itu Bang Ray. Ngapain aku tepe-tepe sama Bang Ray? Aneh-aneh aja kamu itu. Dasar bocah."

"Sepupu kamu itu?" Damar menatapku sekilas. "Dia itu perlu ke psikolog apa gimana sih?"

"Psikolog?"

"Kali aja dia punya sister complex syndrome. Cariin pacar aja gih, daripada dia terlalu terobsesi sama sepupu sendiri."

"Bang Ray udah punya pacar kali," sahutku.

"Terus kenapa dia posesif banget sama kamu?"

"Ceritanya Panjang sih, intinya Revan yang meminta Bang Ray buat seleksi orang yang dekat denganku. Ya begitulah, kamu tahu sendiri kan, dia hanya menjalankan tugasnya." Aku tertawa perlahan.

"Revan setuju dengan hubungan kita kan? Berarti aku aman kan?" Damar mengerling ke arahku.

"Jadi sekarang nggak usah jealous-jealous lagi deh sama Bang Ray."

"Aku jealous itu karena aku cinta sama kamu. Kamu nggak pernah jealous kan ya sama aku. Kamu kan nggak cinta sama aku." Damar merengut, sedang aku memalingkan muka, menahan tawa. Ini bocah apa nggak pernah menyadari perasaanku untuknya sih?

"Wait," Damar mengulurkan tangan, memalingkan wajahku menatapnya.

"Apa sih?" aku menepiskan tangan bocah itu.

"Kamu pernah jealous aku dekat sama Dinda kan? Berarti kamu cinta sama aku. Iya kan? Iya kan, Rell?"

Sial.

"Siapa bilang aku jealous? Enak aja!"

"Ngaku aja. Aku seneng kok kalau kamu jealous. Aku nggak bakal ketawain kamu."

"Nggak ada."

"Beneran nih, nggak jealous? Berarti kalau aku sering pergi sama Dinda boleh dong?"

Aku menatap Damar tajam. "Awas aja kalau berani!" ancamku. Damar tertawa. "Tuh kan, jealous kan?"

Aku menekuk bibir. Sialan bocah ini. Aku jadi nggak bisa ngomong apa-apa lagi.

"Iya deh iya. Kamu nggak pernah jealous. Lagian nggak usah jealous, aku nggak akan berpaling sama cewek lain. Aku cuma milikmu, nggak ada yang bisa mengambilku darimu."

Aku bergidik mendengar gombalan Damar. "eeuuww." Damar Kembali tertawa. Kali ini tertawanya terdengar renyah.

"Janjiannya di mana?" tanyanya tiba-tiba.

"Janjian apa?"

"Sama teman-teman kantor kamu lah. Jangan-jangan kamu alasan aja janjian sama teman kantor."

"Ish, nggak percayaan banget sih sama pacar."

"Pacar? Kamu nganggep aku pacarmu?"

Aku menatapnya sebal, "nggak pengen dianggap pacar nih? Okee—"

"Hei ... heei. Nggak ada yang ngomong gitu!"

"Bodo. Nggak peduli gue."

"Kok pakai gue lagi sih Rell? Sayaang, jangan gitu dong. Aku becanda, ya ampun Rell. Becanda doang ini...."

Aku menahan tawa, jailin berondong gemes ini memang menyenangkan.

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang