Keluar dari gedung bioskop masih dengan saling menautkan tangan, aku menyeret Damar menuju ke sebuah restoran yang masih berada di dalam mall. Sweet caramel popcorn yang dibeli Damar tidak berhasil menahan lapar yang kurasakan di tengah-tengah film, alhasil ketika film selesai aku langsung menarik bocah itu keluar.
"Kenapa sih Rel, buru-buru banget? Ada yang kamu kenalin di dalam sana, jadi kamu buru-buru keluar biar nggak ketahuan jalan sama aku?"
Aku menatap Damar malas, lalu mengangkat genggaman tangan di depan matanya. "Kalo malu, mana mungkin sampai sekarang aku masih gandeng-gandeng kamu kayak anak TK?"
Damar tertawa, sungguh tawa yang benar-benar membuatku terpana untuk sekejap. Bocah ini selalu punya sesuatu yang membuatku nggak bisa mengalihkan mata. "Habisnya kamu sih."
"Lapar Dam," jawabku sambil masuk ke restoran terdekat, menuju meja yang berada sedikit lebih dalam di area restoran.
"Kok nggak bilang?"
"Ini bilang kan?"
"Pasti laparnya udah dari tadi," dengusnya pelan, menghempaskan diri di kursi.
"Kamu kan asik gitu nontonnya. Lagian filmnya juga belum selesai. Masa mau minta keluar?" Aku mulai membuka-buka menu, mencari daftar makanan sehat untuk berondongku ini.
"Selain ikan laut, kamu alergi apa lagi?" tanyaku tanpa melihatnya. Tidak mendapat jawaban, aku mendongak, menatap Damar yang menopang tangan sambil menatapku.
"Ck, ditanya itu dijawab," protesku kemudian kembali menekuri menu. "Pesenin apa aja, pasti aku makan kok."
"Kayaknya pernah denger deh kamu ngomong kayak gitu terus berakhir sama alergi kamu kambuh." Aku mendengus kesal.
"Aku cuma alergi seafood kok. Jadi, kamu bisa pesan apa aja selain seafood. Jangan kelamaan milih deh, katanya kamu lapar." Damar mencubit pelan pipiku yang lantas kutepiskan lalu melambaikan tangan pada waiters.
"Chiken salad dua, sama French fries."
"Minumnya mojito strawberry ya," sahut Damar yang langsung kubantah,"nggak. Air mineral aja. Dua."
"Baik. Dua chicken salad, satu French fries, dua air mineral ya?" ulang waiters yang segera kuangguki.
"Kenapa nggak mojito aja sih? Kamu pikir aku nggak sanggup bayarin kamu makan di sini?" Damar mulai melancarkan protes setelah waiters meninggalkan meja kami.
Aku kembali menatap malas bocah di sampingku ini. Damar ikut menatapku sambil memicingkan mata. "Jangan berpikir kalau kamu yang bakal membayar makan kita. Sudah kubilang kalau selama pacaran denganku, aku nggak akan membiarkan kamu mengeluarkan uang."
"Ck, bawel deh. Katanya habis ini mau turnamen, makanya jaga makan. Soda nggak bagus buat tubuh kamu. Bukan masalah siapa yang bayar makanannya."
"Kamu bolehin aku ikut turnamen kan?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Damar membuatku menatap bocah itu. Damar sedang menatapku lekat, sorot matanya mengharapkan kata iya dariku.
"Memangnya sejak kapan aku melarangmu main basket?"
"Kamu bilang kalau nggak suka basket," rajuknya.
"Memang, tapi itu bukan berarti aku melarangmu main basket." Aku menghela napas panjang, "lakukan saja apa yang kamu suka, Dam."
"Aku suka dekat-dekat kamu, aku suka cium-cium kamu, boleh?" sahutnya yang kuhadiahi pelototan sekaligus cubitan keras di lengannya.
"Dasar mesum!"
Damar mengusap lengannya sambil meringis. "KDRT nih namanya. Memangnya salah kalau suka dekat-dekat pacar sendiri, suka cium-cium pacar sendiri? Siapa yang suruh lakukan apa yang kusuka?" protesnya yang membuatku mendengus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
Literatura FemininaPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!