PROLOG

44.4K 1.9K 53
                                    

Aku mendengus sebal saat ia mematikan musik yang baru saja kunyalakan. Baru saja tanganku kembali meraih tombol power di LCD, tangannya sudah menepisku.

"Lo apaan sih?" dengusku sebal.

"Kamu, Sayang. Bukan lo. Kamu," ralatnya dengan ekspresi datar, tetap konsen menyetir.

"Terserah," ucapku nggak peduli, kembali meraih tombol power yang lagi-lagi bikin tanganku panas karena tepisannya.

"Aku nggak suka sama playlist lagu-lagu kamu," ujarnya yang otomatis membuat mataku melotot.

"Terus?" Terus gue peduli gitu? Mobil, mobil siapa? Mobilku juga kan? Terserah gue kan mau pasang playlist apa aja.

"Ya nggak usah dengerin kalo lagi sama aku. Kalo perlu, ganti saja sama lagu yang lain."

Aku mengepalkan tangan, geram. Boleh nggak sih aku nimpuk dia pake dongkrak yang selalu kusimpan di bagasi? Paling nggak, jambak-jambak rambut dia deh, cakar-cakar juga boleh. Beneran gatel nih tanganku buat melakukan tindak anarki sama bocah ini.

"Peduli amat," dengusku pelan.

"Aku dengar, Sayang."

"Bodo."

"Kamu itu sebenernya nggak peka atau emang nggak peduli sih kalo aku dari tadi marah sama kamu?"

Kembali mataku membola, menatapnya horror. Pantas saja, mukanya kayak kertas HVS di remes-remes sejak jemput aku makan siang. Pake acara banting pintu mobil, sikapnya yang mendadak diam selama perjalanan sampai mbak-mbak pelayan resto kena damprat saat salah nyebutin pesanan itu karena bocah ini lagi ngambek? Oh my God! Gini banget pacaran sama bocah, ngambeknya ngalah-ngalahin masa PMSku.

"Dasar kekanakan," ejekku terang-terangan yang membuatnya menatapku tajam, lalu mendengus kesal.

"Kamu nggak mau minta maaf gitu, udah bikin aku marah?"

Pertanyaan konyol yang keluar dari mulutnya itu bikin aku ingin ketawa. Dia marah aja aku nggak tahu alasannya. Kenapa aku yang harus minta maaf?

"Harus gitu?"

"Kamu nggak merasa bersalah sama sekali?" tanyanya.

Ia mematikan mesin mobil dan baru kusadari mobil sudah terparkir di basement gedung kantorku.

"Merasa bersalah kenapa? Emang gue salah apa? Lo marah nggak jelas dan gue yang harus minta maaf?" Aku memutar bola mata, malas meladeni.

"Sudah berapa kali kubilang, aku-kamu, bukan lo-gue. Kamu benar-benar nggak hargain aku sebagai pacar ya, sampai-sampai nyebut 'kamu' aja enggan."

"Udah deh Dam, a-ku mau kerja. Ka-mu boleh bawa mobil-ku. Lain kali nggak usah sok ngajakin lunch. Jangan keseringan bolos, ntar nggak lulus-lulus." Aku memberi penekanan pada kata aku-kamu yang membuat dia makin gusar.

"Aku belum selesai bicara." Ia mengunci otomatis pintu mobil saat aku membuka seatbelt.

"Apa lagi sih?"

"Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama laki-laki itu. Kamu harusnya ingat sudah punya aku, bukan malah genit-genitan pas dia mepetin kamu," ujarnya dengan intonasi naik. Laki-laki? Siapa?

"Aku yakin, kalau aku nggak jemput tadi, kamu sudah makan siang sama dia. Iya kan?" tuduhnya lagi.

"Nggak usah kekanakan deh. Bang Widi itu atasanku." Aku mengerang. Lama-lama frustasi juga sih ngadepin ini bocah.

"Makanya nggak usah terlalu deket sama dia, sebatas profesionalisme kerja aja bisa kan?"

Ini ceritanya dia cemburu gitu? Dari sekian tingkah menyebalkannya siang ini, cuma gara-gara cemburu, gitu?

"Dasar bocah ingusan!" umpatku sebal.

"Jangan menyebutku bocah ingusan!"

"Lalu gue harus nyebut apa? Cuma bocah yang bertingkah menyebalkan karena apa yang terjadi nggak sesuai dengan keinginannya. Dewasa dikit, Dam!"

"Aku memang lebih muda darimu, tapi aku bukan bocah!" Kini mata tajamnya menatapku. Terlihat emosi yang siap dimuntahkan. Aku memutar bola mata.

"Ck. Sekali bocah ya tetap saja bocah," cebikku kesal.

Kali ini aku melihat satu alisnya terangkat. Ia menatapku dengan senyum sinis di bibirnya. Sesaat aku merasakan bocah ini bertransformasi menjadi lelaki dewasa. Untuk sekejap saja.

"Bocah ingusan ya? Kita lihat apa yang bisa dilakukan bocah ingusan ini," ucapnya pelan.

Sebelum bisa menafsirkan maksud ucapannya, ia sudah menarik bahuku. Aku melotot tak percaya saat merasakan bibirnya mendarat di bibirku, mengecupnya pelan, menyapukan lidahnya pada bibir bawahku kemudian bergerak mencecap bahkan melumat yang membuat otakku menjadi kosong. Aku tidak menolak saat lidahnya menerobos masuk dalam mulut, mengeksplor seluruh bagian di sana, membuatku tidak sadar membalas ciumannya. Bahkan tanganku turut bergerak menelusuri rambutnya yang acak-acakan. Merasa menang, ia memperdalam ciumannya, tidak membiarkanku mengambil napas saat pasokan oksigen menipis. Aku terengah saat ia melepaskan ciuman, beralih ke rahang dan leher. Rasa panas yang mengalir membuatku tersadar kemudian mendorong dadanya dengan kuat.

"Nanti ku jemput," ujarnya datar setelah ia melepas seatbelt. Ia membuka kunci otomatis, lalu keluar dari mobil, meninggalkanku yang masih terengah.

Aku terpaku. Ini tadi apa?

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang