22

12.1K 1.1K 74
                                    

Aku membuka pintu kafe, celingukan mencari sosok Edgar yang udah beberapa tahun tidak bertemu. Aku nggak bisa membayangkan sosoknya seperti apa sekarang. Aku bertatapan dengan Damar yang sedang berada di minibar, tidak memakai celemek seperti saat dia bekerja. Berarti jam kerja bocah itu sudah selesai. Bocah itu melambai dan tersenyum. Sebelum sempat membalas, sebuah suara memanggilku. Dia di sana, duduk di sudut ruangan. Melambai padaku. Mengabaikan Damar, aku membalas lambaian tangan Edgar kemudian melangkah menghampiri lelaki itu.

"Wow, kamu nggak berubah. Tetap saja cantik, Rell." Edgar berdiri, memelukku singkat setelah cipika cipiki seperti kawan lama. Aku tersenyum lebar. Jika dia nggak pernah bilang kalau maksud pertemuan ini untuk memberiku undangan pernikahan, aku pasti sudah baper duluan. Kemarin-kemarin aku sempat whatsapp an dengannya. Bercerita tentang segala hal yang memutuskanku untuk kembali berteman dengannya.

"Lo yang sekarang berubah. Kalau saja lo nggak bilang mau nikah, aku pasti langsung niat ngegebet lo lagi," candaku yang membuat Edgar tertawa.

"Udah pesen?" tanyaku setelah menarik kursi di depannya. Duduk berhadapan dengannya.

"Sudah. Kamu pesen juga gih," jawabnya.

"Gampang lah. Nanti kalau pesanan lo diantar baru pesan."

"Sorry ya ganggu waktu di hari minggu kamu buat ketemuan sama aku."

"Santai kali. gue nggak ada acara juga minggu-minggu kayak gini." Satu-satunya acaraku di hari minggu cuma nongkrongin bocah berondong ini di kafe lalu jalan berdua selepas jam kerjanya, tambahku dalam hati.

"Kamu sudah menikah?" tanyanya sambil mengamati jari-jariku. "Hm, nggak ada cincin. Seperti dugaanku sih. Punya sepupu kayak Ray memang nggak bakal bikin kamu menikah secepatnya." Edgar tergelak sedangkan aku mencebik. "Kamu yakin dia nggak punya potensi sister complex? Kayaknya dia tuh posesif banget sama kamu."

"Seharusnya dulu kita LDR aja kali ya. Tahu sekarang lo ganteng banget gini harusnya gue rela nungguin lo bertahun-tahun juga," balasku. Edgar kembali tertawa.

"Siapa suruh kamu blokir nomorku?" Edgar mengacak rambutku gemas.

"Jadi, mana undangannya?" aku mengalihkan pembicaraan. Ngobrolin masa lalu yang nggak akan pernah pernah jadi masa depan bisa bikin nggak nyaman. Edgar mengambil sebuah kotak dari tasnya, lalu meletakkannya di depanku.

"Ini undangan pernikahan lo atau undangan untuk nikah sama lo? Jangan-jangan isinya cincin pas gue buka." Edgar tertawa lagi mendengar gurauanku.

"Beneran itu undangan nikahanku. Buka deh kalau nggak percaya. Calon istriku yang bikin konsepnya sih. Biar beda sama undangan-undangan nikah yang biasanya."

Aku membuka kotak berwarna biru tua berenda emas di depanku. Cukup kaget juga melihat pernak Pernik yang tertempel di dasar kotak beralaskan beludru warna senada dengan kotaknya. Kayak melihat peti harta karun dengan gulungan peta di tengah-tengahnya. Aku mengambil gulungan kertas itu, membuka dan membaca undangan pernikahan Edgar. Benar-benar unik.

"Wah konsepnya menarik ini. Bisa buat rekomendasi." Aku meletakkan kertas itu di tempatnya lalu menutup kembali kotak itu.

"Datang ya," ucap Edgar kusambut dengan anggukanku. "Pasti."

"Makasih." Edgar menangkup punggung tanganku. Tersenyum tulus.

Aku melepaskan tangan Edgar ketika menyadari Damar berdiri di sebelah meja, membawa nampan, meletakkan pesanan Edgar dan cappucinno late di depanku.

"Lho, kamu belum pesan kan, Rell?" Edgar menatapku dan Damar bergantian.

"Nggak perlu pesan. Arella selalu minum cappucinno buatanku kalau di sini. Iya kan, Sayang?" Damar menatapku sengit.

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang