"Di sini banget nih mampirnya?" tanyaku saat Damar memarkirkan mobil di depan sebuah kafe. Aku pernah beberapa kali ke sini sih. Biasanya bareng teman-teman kantor pas ada yang ulang tahun atau merayakan sesuatu.
"Kenapa? Di sini nyaman kok. Belum pernah ke sini ya?" Tanpa menunggu jawabanku, bocah itu keluar dari mobil. Mau nggak mau aku menyusul keluar. Kulihat dia tersenyum saat melihatku berusaha menjajari langkahnya.
"Gue pernah beberapa kali ke sini kok," ujarku tanpa diminta.
"Sama siapa?" tanyanya penuh selidik.
"Teman kantor."
"Cowok?" kejarnya. Duh, nyebelinnya kumat lagi ini bocah.
"Ya cowok ya cewek. Namanya juga bareng-bareng," sahutku malas. Mendengar jawabanku Damar tertawa. Ia mengacak pelan rambutku.
Mengedarkan pandangan, aku mencari tempat di sudut ruangan yang masih kosong. Selain nyaman, duduk di sudut ruangan meminimalisir kepergok orang yang kukenal, teman kantor misalnya.
"Di sana aja?" tanyaku meminta persetujuan. Melihat sekilas tempat yang kutunjuk, Damar mengangguk.
"Tolong pesenin sekalian ya, aku ke toilet sebentar. Gerah, mau ganti kaos dulu."
"Dipesenin apa?"
"Apa aja deh, pokoknya apa yang kamu pesenin aku makan deh, yang penting makanan sehat ya," ujarnya sambil nyengir. Aku hanya memutar bola mata saat bocah itu beranjak ke arah berlawanan denganku yang berjalan ke sudut ruangan.
Membuka menu yang disodorkan waiters, cukup bingung juga memilihkan makanan buat si berondong ini. Sebagai atlet dia kan emang harus makan makanan sehat, nggak boleh sembarangan makan juga kan?
"Salmon steak with salad, milkshake cokelat sama latte ya," putusku sambil mengembalikan buku menu. Setelah waiters meninggalkan meja, sejenak aku tertegun. Ngapain juga aku repot-repot milihin makanan sehat buat bocah itu? Apakah aku harus mengakui kalau akhirnya aku bisa menerima bocah itu sebagai kekasihku? Aku menggeleng, jangan sampai Damar tahu, bisa besar kepala bocah itu mengetahui hal ini.
"Hei, melamun aja!"
Tepukan di pundakku membuatku terlonjak, makin kaget ketika bukan mendapati Damar di sampingku tapi Maia. Iya, Maia tetangga kubikelku.
"Lo di sini?" tanyaku basa basi setelah bisa mengontrol kekagetan.
"Mampir sih. Tadi mau ngajakin Bang Widi, tapi gak enak sih soalnya cuma berdua. Tahu lo juga di sini, gue ajak sekalian Bang Widi. Lumayan nggak canggung-canggung banget kalo mau PDKT." Maia terkekeh sendiri. Sedang aku? Aku hanya bisa tersenyum kecut. Mati deh gue ini kepergok kencan sama berondong.
"Sendirian? Gue di sini aja ya." Tanpa persetujuan, ia sudah menarik kursi di depanku.
"Gue—"
"Eh, ngomong-ngomong, pak Bos udah lama deketin lo? Gue bilang juga apa. Lo sih nggak peka kalo lo itu lagi ditargetin sama pak Bos. Pokoknya ya Rell, jangan sampai lo mau sama dia. Udah jelas-jelas punya pacar masih aja ngejar-ngejar bawahan."
Aku menggaruk dahi sambil tersenyum canggung. Berpikir gimana caranya biar Maia cepetan pergi dari sini.
"Lo kenapa sih? Aneh banget. Jangan-jangan lo lagi janjian sama pak Bos di sini? Lo lagi nungguin pak Bos—" Ucapan Maia terhenti saat kudengar tarikan kursi di sampingku dan Damar dengan santainya duduk di sana.
"Sorry lama. Karena gerah banget sekalian aja mandi di sana," ujarnya sambil mengusap rambut yang sedikit basah. Aku mengamati Damar dari kepala sampai ujung kaki. Bocah itu kini memakai kemeja kotak-kotak dan jeans selutut. Jangan lupa wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Dia benar-benar mencuri perhatian. Pantas saja remaja-remaja labil itu mengidolakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
ChickLitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!