Aku mengetik pesan whatsapp pada Damar, memberitahunya kalau aku sudah berada di depan tempat ia latihan bersama timnya. Aku keluar dari mobil kemudian berjalan menuju bangku di bawah pohon depan gedung. Sambil menunggu bocah itu keluar, aku melihat sekeliling. Sudah beberapa kali aku menemani Damar latihan di tempat ini. Aku memang lebih suka menunggu di taman yang dibangun di samping gedung olah raga ini. ada jogging track yang mengelilingi taman yang ditumbuhi bunga-bunga cantik dan pohon rindang beberapa meter sekali. Di bawah pohon diletakkan bangku-bangku untuk sekedar mengobrol atau istirahat.
Aku menatap pintu gedung, tidak ada tanda-tanda bocah itu keluar dari sana. Aku melirik jam tangan. Sudah lima belas menit aku menunggu di sini namun bocah itu tidak kunjung keluar. Apa bocah itu belum membaca chatku? Memeriksa kembali pesanku pada Damar, alisku berkerut melihat pesanku sudah dibacanya, terlihat dari dua centang biru di samping chatku. Sial. Jangan-jangan bocah itu mengerjaiku. Dia terlihat kesal saat meninggalkanku di kafe bersama Edgar tadi. Apa dia sedang balas dendam padaku hingga sengaja mengerjaiku di sini? Jangan-jangan bocah itu tidak ada latihan. Bukannya kemarin dia bilang kalau mau pergi denganku selepas jam kerjanya? Aku mendengus kesal menyadari hal ini.
Aku menelepon bocah itu, tapi tidak ada respon. Mengetikan kembali pesan whatsapp beberapa kali yang beberapa menit kemudian hanya di read saja membuatku tambah kesal. Dasar Damar sialan! Bocah itu benar-benar mengerjaiku. Awas saja akan kubalas kekesalanku ini. Aku hampir beranjak pergi saat melihat Dinda, manajer tim Damar berjalan ke arahku.
"Drya masih latihan. Gue dimintai tolong ke sini buat bilang ke lo."
"Oh, oke." Aku malas sebenarnya berada di tempat yang sama hanya berdua dengannya, tapi mendengar ucapan Dinda ini, rasa kesal yang memuncak barusan reda. Damar tidak iseng padaku. Bocah itu benar-benar sedang latihan.
Kulihat ia sempat mengembuskan napas kesal setelah duduk di sampingku. Aku mengernyitkan alis, bingung kenapa dia tidak kembali ke dalam, malah duduk di sini.
"Nggak balik ke dalam?" tanyaku basa-basi.
"Kenapa sih lo mesti muncul?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Dinda membuatku menoleh padanya. Aku menatap aura permusuhan dari matanya.
"Maksudnya gimana?" tanyaku sok nggak ngerti.
"Lo. Kenapa sih lo deketin Drya? Bukannya lo udah nolak dia? Kenapa sekarang seakan-akan lo peduli sama dia?"
"Gue memang peduli sama dia. Gue pacarnya kalau kalau lo lupa." Tawaku hampir tersembur melihat ekspresi Dinda. Dia mencebik, mengukir senyum sinis.
"Gue tau lo cuma mainin dia. Lo nggak cinta sama Driya. Lo bilang peduli? Kalo lo peduli, lo nggak bakal bikin dia kayak gini. Bikin dia tergila-gila sama lo, berusaha jadi seseorang yang lo suka, dia udah kehilangan jati dirinya, lupa sama apa yang dia inginkan karena sibuk berusaha jadi apa yang lo inginkan. Lo tuh egois. Dia udah berusaha keras dan saat lo nggak suka, lo suruh adik lo yang bar-bar itu mukulin dia. Punya hati nggak sih lo?"
Aku tertegun mendengar ucapan Dinda. Meski aku nggak seperti yang ia tuduhkan, rasanya apa yang diucapkan Dinda benar-benar menohok hati. Sebegitukah Damar berusaha membuatku melihatnya? Bocah itu beneran melakukan hal itu? Kalau iya, alangkah jahatnya aku meski aku tidak pernah merasa memerlakukan Damar seperti itu.
"Lo bilang semua itu cuma buat bikin gue merasa bersalah sama Damar? Atau buat ngasih tahu gue kalo lo lebih kenal Damar dari gue? Gue tahu kok kalo lo itu juga suka sama Damar."
"Gue nggak cuma suka sama Drya. Gue cinta sama dia." Aku sedikit kaget sih mendengar pengakuan terang-terangan Dinda barusan. Ada ya orang yang bisa setenang itu ngaku jatuh cinta di depan pacar orang yang dia cintai?
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
ChickLitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!