Aku membuka pintu kafe tergesa. Damar sama sekali tidak membalas chat atau teleponku. Aku harus benar-benar memastikan keadaannya. Rasa khawatir berlebihan pada Damar akhir-akhir ini memang membuatku menyadari kalau perasaanku padanya bukan hanya sekedar tertarik atau euphoria sesaat ketika jatuh cinta. Aku sedikit menyesal ketika menyadari kalau selama ini aku tidak tahu banyak tentan bocah itu. Di mana ia tinggal bahkan aku tak tahu. Selama ini dia yang selalu nyamperin atau bertemu di kafe ini. semoga saja salah satu karyawan tahu di mana Damar tinggal. Aku mendekati salah seorang karyawan yang lumayan kukenal karena beberapa kali ke sini bertemu dengannya bersama Damar.
"Nyariin Damar?" tanyanya saat aku berada di dekatnya.
"Iya. Lo tahu nggak dia tinggal di mana? Gue telpon nggak diangkat."
"Dia di dalam tuh. Itu kenapa mukanya sampai bonyok gitu? Jatuh atau gimana?" tanyanya kepo. Aku hanya bisa nyengir, nggak tahu harus menjawab apa. Masa iya aku bilang Damar bonyok gara-gara dihajar sama adikku?
Aku berjalan ke arah yang ditunjukkan lelaki tadi, melihat Damar duduk di sofa, meringis karena lukanya diobati seorang perempuan. Plastik yang berisi obat luka yang kubeli di perjalanan ke sini kugenggam erat-erat. Sial! Aku merasa kesal ketika melihat perempuan itu di dekatnya. Ya aku tahu dia memang manajer tim basket Damar, tapi aku juga tahu kalau perempuan itu juga menyukai Damar. Entah bocah berondong itu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu, yang jelas bocah itu tidak keberatan perempuan itu dekat-dekat dengannya.
"Lo tuh kenapa sih, udah gue bilang, dia tuh cuma bisa nyakitin lo aja. Ngapain sih masih lo pertahanin hubungan nggak jelas kayak gini?" omel perempuan yang kutahu bernama Dinda itu sambil menekan pelipis Damar yang lebam dengan obat oles.
"Hubungan nggak jelas apanya? Lo tuh yang nggak jelas, datang-datang malah ngomel-ngomel. Aduh, Pelan-pelan! Sakit tau!" ringis Damar.
"Baru diginiin bilang sakit. Waktu bocah itu mukulin lo, nggak sakit? Keenakan dipukulin sama bocah itu?"
"Ya memang gue yang salah."
"Gue nggak percaya kalo lo yang salah. Bisa aja kan tuh cewek yang ngadu enggak-enggak tentang lo. Dia mah memang cuma mainin lo. Dia tuh nggak sungguh-sungguh cinta sama lo." Aku mendengus mendengar ucapan Dinda.
"Gue nggak peduli sih. Gue cinta sama dia. Itu cukup." Ucapan Damar membuatku terpana. Damar beneran secinta itu sama aku? Hatiku menghangat mendengar kata-kata bocah itu. Andai Damar tahu kalau aku juga mencintainya.
"Arell?" Bocah itu bangkit dari sofa saat menatapku. "Kok kamu ke sini?" tambahnya, kemudian berjalan mendekat.
"Nggak boleh? Lo keganggu sama kedatangan gue?"
"Enggak lah. Aku malah seneng kamu ke sini. Bawa apa ini?" Damar meraih plastik yang berada di tanganku lalu tersenyum senang. "Senengnya punya pacar yang perhatian kayak gini."
Aku meraih kembali plastik yang berada di tangan Damar, "kayaknya lo udah nggak butuh ini."
"Siapa bilang?" Damar melingkarkan tangannya di bahuku, membimbingku ke sofa. Saat bertatap mata dengan Dinda, aku menyadari tatapan permusuhan yang ia sorotkan padaku.
"Kenapa sih lo bisanya cuma nyusahin Driya terus? Lo yang bikin dia babak belur kayak gini, trus lo bisa-bisanya datang ke sini. Nggak punya muka banget sih lo!" semprot Dinda kasar. Aku hampir saja membalas ucapan Dinda saat Damar membuka mulut, "Udah deh. Lo nggak usah rese. Pulang aja sana, udah ada Arell di sini."
"Ck, gue pulang deh." Dinda beranjak, melewatiku begitu saja. Aku mendengus kesal saat Damar menarikku untuk duduk di sofa.
"Jangan diambil hati ya omongan Dinda. Dia emang kayak gitu orangnya."
"Kayaknya dia perhatian gitu ke lo. Lo nggak sadar apa kalo dia suka sama lo?"
"Enggak lah. Dinda cuma teman, Rell. Kamu nggak suka ya aku dekat-dekat sama dia? Dinda itu teman baikku. Aku nggak bisa kalau harus jauhin dia kan? Jadi ya maklumin aja ya kalau dia kayak gitu."
"Jadi lo boleh berteman sama dia. Terus kenapa lo larang gue bergaul sama Bang Widi?"
"Dinda itu temenku. Dan lelaki itu atasanmu, bukan temanmu. Beda dong." Aku memutar bola mata mendengar alasan tak masuk akal darinya.
"Nggak usah ngomongin Dinda dan atasan kamu itu. Nggak perlu merusak momen ini. Kamu ke sini aja aku udah bahagia banget tau nggak." Damar menggengam jemariku, "kamu ke sini karena kamu khawatir denganku kan? Itu cukup."
Aku mengalihkan pandangan pada betadine dan kapas di meja, tidak ingin bocah itu melihat pipiku yang merona mendengar ucapannya. Aku meraih botol kecil itu kemudian membasahi kapas dengan betadine. "Mana yang belum diobati?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Bocah itu menunjuk beberapa luka di wajahnya. Aku kembali mendengus.
"Ini lo yang sengaja bohongin gue apa emang cewek itu aja yang sengaja lama-lamain deket sama lo, dari tadi cuma pelipis aja yang dioles obat."
Damar tertawa kecil melihat tingkahku, nggak ingin ditertawakan, aku menekan sudut bibir Damar mengunakan kapas beriodin. "Ouch. Pelan, Rell." Damar sedikit meringis saat kapas itu menempel di sudut bibinya.
"Sorry."
Damar menatapku lembut saat jemariku berpindah pada lebam-lebam lain di wajahnya. Kali ini kubersihkan menggunakan revanol yang kubeli di perjalanan tadi. "Gue minta maaf buat Revel. Dia—"
Damar menangkup tanganku yang berada di wajahnya. "Nggak. Aku yang salah. Nggak seharusnya aku kebablasan kayak kemarin. Aku yang salah. Aku pantas kok nerimanya."
"Ya nggak harus sampai bikin lo kayak gini sih. Revel aja yang lebay."
"Tapi aku nggak keberatan kok dipukulin Revel tiap hari kalau bisa bikin kamu perhatian gini sama aku." Damar kemudian meringis saat aku menekan tulang pipinya sedikit keras. "Kayak gini masih saja bisa gombal," dengusku.
"Makasih ya udah belain aku di depan Revel. Makasih kamu percaya sama aku. Semua ini karena kamu memang peduli padaku kan?" Damar mendekatkan wajah. Tanganku yang berada di wajahnya berusaha menahan agar bocah ini tidak semakin mendekat, namun sia-sia.
"Lo ngapain? Mau dihajar Revel lagi?" Aku sekarang menahan wajahnya dengan kedua tangan. Bocah itu malah menepiskan tanganku, lalu membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
"Aku janji kali ini nggak akan meninggalkan bekas kok Rell. Pelan-pelan aja ya, bibirku masih perih."
Tidak memberiku kesempatan untuk protes, Damar sudah melabuhkan kecupan-kecupan kecil di bibirku sebelum ia melumatnya dengan lembut. Aku tidak merespon ciumannya, takut kalau luka di sudut bibirnya kembali terbuka. Merasakan tidak ada balasan dariku, Damar menjauhkan wajahnya, menatapku sayu.
"Kamu keberatan kucium?" Aku ingin memukul kepalaku sendiri saat menyadari kepalaku menggeleng. Astaga, mau ditaruh mana harga diriku, Ya Tuhan. Senyum Damar terbit, "lalu kenapa tidak membalas ciumanku?" protesnya pelan.
"Bibirmu masih luka," cicitku pelan.
Damar sempat terkekeh pelan saat mendengar jawabanku, kemudian tanpa bertanya lagi, ia kembali menciumku lembut, membuatku dadaku bergemuruh menyenangkan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
ChickLitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!