21

11.7K 989 19
                                    

Aku masih menikmati secangkir cappuccino late saat ponselku berdenting, menampilkan chat dari nomor asing.

Belum ganti nomor kan, Arella?

Aku mengernyit saat membaca pesan itu. Siapa? Aku mengetik, menjawab pesan yang membuatku bertanya-tanya. Aku hanya membagikan nomor ponsel pribadiku kepada orang-orang tertentu saja. jadi, aku memastikan kalau pengirim pesan kemungkinan kenalan lama.

Alih-alih membalas pesanku, nomor asing itu malah menelepon. Aku menggeser layar ke kanan sebelum menempelkan ponsel ke telinga.

"Halo."

"Kukira kamu sudah ganti nomor." Suara renyah itu membuatku mengernyit. Satu-satunya orang di masa lalu yang konsisten memakai kata panggilan aku-kamu hanya lelaki itu.

"Edgar?" tebakku yang disusul tawa renyahnya.

"Iya. Untung saja kamu masih ingat suaraku, Rell. Aku nggak bisa bayangin harus bilang apa untuk membuatmu ingat aku." Aku mendengus pelan. Bilang saja satu-satunya mantan pacar yang bisa bikin kamu nangis pas diputusin, pasti aku langsung ingat. 

Edgar ini salah satu mantan pacar yang menjadi korban posesifnya Bang Ray sama seperti mantan-mantan pacarku yang lain. Bedanya, Edgar ini bisa bersikap dewasa menghadapi posesifnya Bang Ray. Bahkan kami putus baik-baik saat itu, tidak seperti mantan lain yang dibumbui dengan emosi hingga aku memblokir nomor mereka. Aku memblokir nomor Edgar, tentu saja. Terbukti dia menghubungiku dengan nomor asing.

"Kenapa hubungin gue?" tanyaku pelan.

"Nggak boleh? Aku ingin ketemu."

"Buat apa?" Intonasiku langsung naik saat mendengar lelaki ini ingin kembali bertemu.

"Astaga, reaksimu benar-benar membuatku ingin tertawa, Rell. Aku cuma ingin ketemu. Nggak ada maksud apapun. Minggu depan aku di Jakarta. Ada yang ingin kuberikan untukmu."

"Nggak perlu ngasih gue apapun." sahutku datar.

"Ck, kamu tuh nggak berubah ya. Kita bisa ketemu kan? Dulu kamu bilang kalau suatu saat kita ketemu lagi, kita bisa ketemu sebagai teman kan? Aku benar-benar ingin bertemu sebagai teman."

Aku mengembuskan napas panjang. Aku memang pernah menjanjikan hal itu pada Edgar yang beberapa bulan setelah putus melanjutkan studi di luar negeri. Dia sempat berpamitan sebelum nomornya kublokir. Aku butuh move on dari orang sebaik Edgar. Benar, Edgar orang yang benar-benar baik. Dewasa, tidak berengsek, menghormatiku sebagai perempuan dan dia juga pendengar yang baik. Makanya setelah putus dari Edgar aku tidak serta merta memblokir nomornya. Aku baru memblokir nomornya saat ia berencana studi ke luar negeri dan aku belum bisa move on darinya.

"Oke. Kabari saja kalau sudah di Jakarta," putusku akhirnya.

"Beneran ya? Jangan diblokir lagi nomorku. Nggak kamu simpan nggak papa, asal jangan diblokir saja." Lelaki itu kemudian tertawa.

"Iya," ucapku sebelum menutup panggilan.

Aku meletakkan ponsel di meja saat suara Damar terdengar posesif. "Siapa Edgar?"

Aku menoleh, menatap Damar yang duduk di sebelahku. "Sejak kapan lo di sini?" tanyaku santai. Perasaan bocah itu tadi bilang mau menyelesaikan kerjaan. Aku memang menunggunya di Skydrive hingga jam kerjanya selesai.

"Sejak kamu menyebut nama Edgar."

"Ooh." Aku mengabaikan tatapan tajam Damar yang terus saja menghujamku.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Rell."

"Pertanyaan apa?" Aku menatapnya, mengernyitkan dahi.

"Siapa Edgar?" ulangnya lagi.

"Teman," jawabku singkat.

"Teman apa?"

"Teman ya teman. Kok lo kepo sih?"

"Kalau cuma teman nggak mungkin kamu bereaksi seperti itu ketika telponan sama dia." Mata Damar memicing, menatapku tidak suka.

"Bereaksi seperti apa?"

"Seperti apa? Bahkan kamu aja nggak sadar udah berekpresi se excited itu ditelpon sama dia," dengusnya kesal. Excited? Excited dari Hongkong?

"Biasa aja deh kayaknya. Lo aja yang lebay lihatnya."

"Sini ponsel kamu." Tanganku bergerak lebih cepat mengambil ponsel di meja lalu memasukkannya ke dalam tas. "Rell."

"Kenapa sih lo? Gue nerima lo jadi pacar gue bukan berarti lo bisa mengintervensi hidup gue. Gue bisa bergaul dengan siapa saja. Lo nggak berhak ngatur-ngatur hidup gue."

"Rell..."

"Apa?" sahutku galak. Menatap Damar dengan tatapan sebal.

"Aku cinta sama kamu," lirihnya, menatapku sayu. Sial! Dia selalu tahu kalau aku selalu luluh dengan tatapan matanya seperti ini. Aku mengalihkan pandang, menatap cangkir cappucinno yang belum sempat kuminum.

"Aku selalu takut kehilangan kamu. Selalu was-was setiap saat kalau kamu tiba-tiba punya alasan untuk ninggalin aku. Jadi—"

"Lalu, menurut lo, dengan lo bersikap kayak gini bikin gue nggak males ada di dekat lo?" aku mencebik.

"Aku tahu. Tapi aku benar-benar nggak bisa membayangkan kamu dekat laki-laki lain." Damar menatapku memelas, "kekhawatiranku wajar kan. Untuk jadi pacarmu saja aku harus ngotot kayak gini. Mana bikin kamu cinta aku saja entah kapan bisa terjadi. Jadi wajar kan kalau aku selalu insecure kalau ada laki-laki yang mendekatimu?" Sekarang bocah itu memicingkan mata, menatapku tidak suka. Aku hanya mendengus sebal. Dia tuh bisa mikir nggak sih? Dasar bocah. Dia pikir aku mau ciuman sama dia itu kenapa? Dia pikir aku bisa mencium sembarang laki-laki tanpa cinta?

"Insecure? Lo tuh posesif. Gue nggak suka punya pacar posesif."

"Posesif apa? Aku hanya menjaga pacarku biar nggak dekat sama laki-laki lain kok posesif. Itu bukti kalau aku cinta sama kamu, Rell."

"Kalo lo cinta sama gue," aku menatap Damar tajam. Bocah itu menatapku balik. "Lo harus terbiasa juga sama temen-temen gue. Nggak cuma lo yang punya temen cewek. Gue juga punya temen cowok." Enak aja bocah itu semena-mena mengatur kehidupan pribadiku, dan dia bebas berteman dengan cewek yang kelihatan banget suka sama dia.

Damar mengatupkan rahang. Aku masih melihat tatapan datar beberapa detik sebelum senyumnya terbit. "Oke."

Aku menyipitkan mata melihat gelagat aneh bocah itu. Damar yang melihat reaksiku tertawa geli.

"Iya, aku tahu kamu cemburu sama Dinda. Sudah kubilang, Dinda cuma temanku. Aku juga nggak bakal cemburu sama temanmu kok, Rell. Selagi bukan atasanmu itu. Aku nggak bakalan cemburu." Aku mendengus kesal. Selalu saja bikin aku nggak bisa membalas ucapannya. Siapa yang cemburu coba? Dia kan yang kumat posesifnya saat mendengar nama Edgar? 

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang