1

32.1K 1.6K 37
                                        


"Maaf, saya sedikit terlambat," ujarku sambil menatap Bang Widi yang sepertinya sudah menunggu lama. Ia tersenyum mengiyakan, lalu memersilakanku duduk. Senyum legaku tiba-tiba lenyap saat mendapat tatapan tajam pria paruh baya yang sekarang duduk di depanku. Cepat-cepat aku meraih map dan menyerahkannya pada Bang Widi.

"Saya memilih bekerja sama dengan perusahaan kalian karena saya tahu reputasi perusahaan ini bagus. Tapi saya tidak menyangka kalau perusahaan kalian mengirim pegawai yang tidak berdedikasi untuk mengerjakan proyek ini." Bola mataku hampir saja keluar mendengar ucapannya. Siapa suruh memilih tempat pertemuan di kafe seperti ini?

"Maksudnya apa ya—" Bibirku sudah terbuka ingin membalas ucapan Bos besar ini kalau saja Bang Widi tidak menangkup punggung tanganku, lalu menggeleng pelan.

"Kami minta maaf, Pak Adinata. Salah kami karena terlambat mengetahui kalau pertemuan dengan Bapak dialihkan di tempat ini. Arella staf terbaik kami untuk menangani proyek ini. Bapak tidak perlu khawatir tentang hal itu." Ucapan Bang Widi membuat pipiku menghangat. Ia menyodorkan secangkir kopi di depanku untuk meredakan emosi.

"Diminum dulu," ujarnya pelan lalu kembali fokus dengan pembicaraan dengan bos besar Aditama group.

Sejak awal bekerja di sini, aku tertarik dengan Bang Widi. Oke, sebut saja aku menyukainya. Siapa yang tidak suka lelaki seperti dia? Tampan, mapan, masih single, dan selalu perhatian. Munafik kalau aku bilang tidak tertarik dengannya. Tipe lelaki idaman perempuan. Aku masih menyesap kopi saat Bang Widi menyenggol lenganku, menyadarkanku dari lamunan panjang tentangnya.

"Rell."

Aku tergagap ketika Bang Widi mengodeku untuk bersalaman dengan kedua orang yang baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja.

"Terima kasih, Pak," ujarku pelan saat tangan itu terulur menjabat. Berusaha menghindari tatap mata penuh intimidasi, aku mengalihkan tatapan ke arah sekretaris yang menampakkan senyum canggung.

"Terima kasih, Mbak Arella," ucapnya pelan, berusaha memberikan senyumnya.

"Sama-sama," balasku.

"Kalau begitu, kami tunggu pertemuan berikutnya. Dua minggu dari sekarang, mungkin?"

"Tentu, Pak. Kami akan segera menghubungi perusahaan Bapak," tutup Bang Widi yang disetujui olehnya.

"Kamu lagi PMS ya, suasana hatimu sepertinya lagi kurang bagus," celetuk Bang Widi setelah kedua orang itu tidak tampak lagi dari pandangan. Aku menanggapinya dengan cengiran.

Aku merasa hari ini adalah hari sialku. Pertama, Story board yang kubuat tanpa sengaja tersiram kopi yang dibawa Adam, OB yang sedang membawa nampan kopi untuk meeting. Kedua, Meeting dengan Aditama group yang dengan semena-mena memindahkan tempat pertemuan di menit-menit terakhir yang membuat aku harus balapan dengan pengendara lain di jam makan siang, dan jangan lupakan tentang insiden itu! Ya Tuhan, aku baru saja menabrak seseorang saat perjalanan ke tempat ini. Semoga bocah itu baik-baik saja. Kupikir ia baik-baik saja saat kutinggal dengan beberapa ratus ribu di tangannya untuk mengobati luka-luka tergoresnya.

"Arell?"

Panggilan Bang Widi membuatku tergeragap.

"Eh kenapa, Bang?" Kembali aku menyuguhkan cengiran tak bersalah. Atasanku ini memang paling luluh dengan wajah tanpa dosa yang sering kusodorkan. Kayak nggak bisa marah gitu meski kelihatan ingin nyambit mukaku pakai sepatu.

"Lain kali, meski mood kamu lagi nggak bagus, kalau di depan klien jangan seperti itu. Pak Adinata itu klien besar lho. Beliau saja sampai bela-belain datang langsung di pertemuan kita ini. Kalau perusahaanya membatalkan kerja sama, bukan cuma kena omel kitanya, tapi bisa-bisa bonus nggak turun. Saya juga jadi nggak enak sama Pak Ray kalau proyek ini batal." Bang Widi terkekeh pelan.

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang