7

13.6K 1.3K 60
                                    


Halo, ada yang menungu cerita ini?

maaf lama banget menghilangnya. mungkin udah berpuluh hari aku tidak menyentuh lagi tulisan-tulisanku. bukan karena sibuk di dunia nyata atau lupa punya lapak di wattpad, tapi karena memang tidak bisa berpikir apapun. Kehilangan, apalagi kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidup membuatku kehilangan dunia nyata. berpuluh hari berasa seperti hidup di dunia mimpi. enggan terbangun dan mendapati kenyataan yang menyakitkan menanti di depan mata.

tapi, life must go on kan? So, Im come back. hahaha.

Aku mulai nulis lagi. sedikit sih, buat pemanasan hihii. selamat membaca, dan jangan lupa vomennya. biar aku tahu kalau masih ada yang nungguin cerita ini hehehe^^

--


Aku mengacak rambut kesal setelah hampir satu jam duduk menghadap laptop, tapi tidak menemukan satu pun ide untuk iklan Aditama group. Sudah dua kali dalam seminggu ideku ditolak oleh Aditama. Tiga hari setelah penolakan yang pertama, aku mengirimkan konsep lagi. Belum ada sepuluh menit presentasi, mereka sudah menolak ide itu. Hal serupa juga kualami kemarin. Benar-benar menjengkelkan. Menelungkupkan kepala di meja, merasa lelah dan rasanya ingin sekali menangis. Kenapa sih semua ini harus terjadi?

Masih ingin bergelung dengan kegalauan, aku mengabaikan ketukan di pintu kamar. Aku sudah hapal gaya ketukan Revan. Bocah satu itu selalu mengetuk pintu dua kali sebelum membuka pintu kamarku. Dia tidak menyapa seperti biasanya. Hanya terdengar suara dia duduk di ranjang, seperti biasa ketika ia menyabotase televisi di kamarku.

"Kenapa? Berantem lagi sama Revel? Gue lagi nggak mood dengerin curhatan lo," ujarku pelan, mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir.

"Kamu nangis? Kenapa?" Terdengar suara asing yang membuatku menegakkan punggung. Itu bukan suara duo kembar. Menoleh ke arah suara, aku melompat dari kursi, menatap horor bocah yang duduk di tepi ranjang.

"Lo? Siapa yang ngijinin lo masuk kamar gue?"

"Siapa suruh kamu nggak balas pesan-pesanku? Aku telepon juga nggak pernah diangkat. Aku kan khawatir sama kamu," ujarnya tanpa rasa bersalah.

"Ternyata dugaanku benar. Kamu sedang nggak oke. Feelingku nggak pernah salah," tambahnya.

Aku mendecih mendengar ucapannya. Tanpa kata aku mendekat, menarik tangannya, berusaha menyeretnya ke luar.

"Hei, aku belum selesai bicara!" Ia ganti menarik tanganku, membuat aku hampir terpelanting kalau saja ia tidak menangkap pinggangku. Tubuhku tiba-tiba kaku saat menyadari posisiku sekarang.

Aku berada di pelukan bocah ingusan itu. Ia mendekapku erat sedang tanganku ..., oh Tuhan, kedua lenganku dengan kurang ajar mengalung di lehernya. Posisi ini benar-benar membuatku berdebar. Ada yang salah dengan jantungku. Ini ..., jantungku tidak berdebar karena dia kan? Ini karena posisi kami yang terlalu intim kan?

"Lepas!" Aku meronta berusaha melepaskan diri, sedang bocah itu makin mendekapku erat.

"Sebentar saja, biarkan seperti ini sebentar saja," jawabnya pelan, tepat di telingaku.

"Damar, lepas!"

"Sebentar saja, Arella. Aku tahu kamu butuh seseorang untuk menumpahkan semua kegelisahan hatimu. Aku di sini. Biarkan aku memelukmu sebentar saja, sampai kamu merasa lega."

"Jangan cuma panggil nama sama gue. Gue lebih tua dari lo!"

"Ck, aku tahu. Nggak usah diulang-ulang. Memang kenapa kalo kamu lebih tua dariku? Toh aku nggak peduli."

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang