Aku memasang wajah datar ketika Papa melempar konsep iklan yang kubuat di meja ruang tamu. Bahkan beliau tidak berbasa-basi menanyakan kenapa aku pulang selarut ini. Aku melirik konsep desain yang kini sudah penuh dengan coretan spidol warna merah.
"Ini desain macam apa? Kamu pikir ini kerjaan main-main sampai kamu asal-asalan membuat desain sampah seperti ini? Kamu kerja itu harus profesional. Suka nggak suka sama kerjaan, kamu harus bersikap profesional."
"Seingatku, Pak Daren, wakil Aditama yang di meeting tadi oke oke aja tuh bahkan cenderung suka sama desainnya," jawabku santai.
"Menurutmu Daren berani bilang nggak suka sama desainmu?" Nada suara Papa meninggi.
Mendesah pelan, aku memijit pelipis yang tiba-tiba pening.
"Berarti dia yang nggak profesional! Harusnya dia bilang dari awal kalau nggak sesuai dengan keinginannya, bukan seperti ini. Lagian, kalau Papa menuntut profesionalitas, harusnya ini dibahas besok di kantor, bukan di rumah seperti ini."
Kulihat Papa mengetatkan rahang, menatapku tajam.
"Lagian kenapa sih Papa harus kerja sama dengan dengan perusahaan Bang Ray? Aku tahu betul Papa punya koneksi yang jauh lebih profesional dari perusahaan Bang Ray."
"Ray bilang butuh dana buat perusahaannya. Kamu juga tahu Papa nggak bakalan kasih uang cuma-cuma sama Ray. Segala sesuatu butuh kerja keras, Rell. "
"Lalu? Kenapa harus Aku? Kenapa percayakan iklan itu padaku? Bukannya Papa nggak percaya pada kemampuanku? Papa pikir aku bukan orang yang bisa kerja keras? Papa saja nggak percaya aku bisa kerja di perusahaan Papa. Aku nggak minta posisi langsung tinggi kok, bahkan sebagai OB saja Papa nggak ngijinin aku."
"Mau ke mana kamu?" tanya Papa saat aku mulai melangkah ke kamar.
"Aku capek, Pa. Aku butuh istirahat setelah lembur sampai malam seperti ini. Lagi pula, aku harus mempersiapkan desain baru ganti desain sampah yang Papa bilang tadi. Aku nggak mau dibilang tidak profesional lagi," ucapku datar sebelum melanjutkan langkah.
Aku menutup pintu kamar dengan kasar, hampir membanting pintu saking kesalnya. Selalu seperti ini. Papa selalu memerlakukanku berbeda dengan duo kembar. Iya tahu, mereka masih SMA, tapi setidaknya dua bocah itu sudah mengerti arti tanggung jawab. Bukan hanya dibiarkan melakukan apapun yang mereka suka.
"Ribut lagi sama Papa?" Aku berjenggit saat mendengar suara duo kembar. Aku menoleh untuk memastikannya. Suara mereka hampir mirip. Aku mendapati Revan sedang berbaring di kasurku, melihat pertandingan bola di tv layar datar yang menempel di dinding.
"Ngapain lo di sini?" tanyaku sambil berjalan ke kasur, meletakkan tas sembarangan lalu ikut berbaring di samping Revan.
"Berantem sama Revel. Gue nggak boleh lihat bola," jawabnya dengan nada kesal.
Selayaknya bocah SMA, duo kembar itu tak jarang bertengkar merebutkan sesuatu. Meski kembar, selera mereka berbeda. Revel pemain basket sedang Revan penggemar sepak bola. Kupikir Revan lebih dewasa dari kakak kembarnya karena dia yang lebih suka mengalah.
"Lo ngalah gitu aja?" tanyaku ingin tahu.
"Gue males ribut, Kak. Dengerin lo ribut sama Papa tiap hari aja bikin gue pusing," jawabnya santai.
"Gue nggak ribut tiap hari ya." Aku nyolot.
"Tapi tiap kali di depan Papa, tampang lo udah kayak mau ngajak perang aja. Lo nggak capek apa, perang terus sama Papa. Bagaimanapun juga itu Papa kita."
"Iya, gue tahu. Gue juga nggak pengen kayak gini terus lah, tapi tahu sendiri kan gimana Papa memerlakukan gue." Aku mengacak rambut Revan pelan.
"Mungkin Papa nggak maksud kayak gitu. Gue emang nggak tahu sih kondisi Papa waktu Mama nggak ada. Gue belum ngerti. Tapi jadi ayah sekaligus ibu itu berat sih kayaknya. Apa lagi lo perempuan. Mungkin Papa nggak ngerti cara hadapin lo. Kalo gue sama Revel sama lakinya kayak Papa, jadi ya karena sama-sama laki-laki mungkin lebih mudah."
![](https://img.wattpad.com/cover/130850258-288-k554257.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
ChickLitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!