Beberapa kali mengembuskan napas tidak membuat rasa kesal di dadaku menghilang. Gara-gara kejadian kemarin, seharian ini aku sukses menjadi trending topik di lingkungan kantor. Gosip aku yang dekat dengan pak bos makin santer dengan peristiwa Bang Ray ngamuk di kubikelku. Bukan hanya sekedar bisik-bisik di belakang, kini mereka nggak segan-segan menyindir terang-terangan di depanku. Hanya Maia yang sama sekali tidak berubah terhadapku. Bang Widi? Lelaki itu bahkan tidak berani menampakkan wajahnya di depanku. Entah marah, kecewa atau masih tidak enak denganku, aku tidak peduli.
Aku masih dalam perjalanan pulang ketika ponselku berdering memunculkan nama Revan. Tumben-tumbenan bocah ini menelepon. Revan jarang sekali meneleponku. Biasanya ia akan menelepon ketika ada hal penting atau mendesak.
"Kak, di mana?"
"Lagi di jalan. Kenapa?" Aku sedikit terganggu karena suara berisik di belakang suara Revan. Samar-samar terdengar suara yang memanggil-mangil nama Revel. "Rame banget di situ. Lo lagi nonton Revel main?"
"Lo mending ke sini deh Kak." Revan sedikit berteriak. Suaranya terdengar panik.
"Kenapa? Revel nggak kenapa-kenapa kan?" Aku jadi ikutan panik. "Kalian di mana?" tambahku.
"Revel sih nggak apa-apa. Tapi, lo mending ke sini deh. Bang Damar tuh.."
Damar? Bocah itu kenapa? "Yang jelas ngomongnya. Damar kenapa?"
"Revel mukulin Bang Damar. Makanya lo cepetan ke sini deh. Ke sekolah."
"Mukulin? Maksudnya gimana deh? Kenapa nggak lo pisahin sih?"
"Udah deh, lo ke sini aja. Gue aja kena pukulan Revel. Kasihan Bang Damar udah babak belur itu."
Aku bergegas mempercepat laju mobil. Jarak ke sekolah mereka kira-kira masih beberapa menit lagi. Mendengar Damar babak belur dihajar Revel kenapa jantungku terasa diremas-remas. Khawatir. Menekan klakson berulang kali membuatku semakin gusar. Sial, kenapa di saat seperti ini jalanan padat sekali. Aku memukul kemudi, kesal.
Aku terkesiap saat memasuki halaman sekolah. Jangan-jangan duo kembar itu mengusiliku. Sama seperti saat Revel menyuruhku menjemputnya di sekolah. Mengusap wajah perlahan, aku menata emosi yang tiba-tiba memuncak. Emosi, bukan rasa khawatir saat di perjalanan tadi. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di kursi samping, lalu menelepon Revan. Baru dering pertama, bocah itu sudah mengangkat panggilan seakan-akan memang menunggu telepon membuatku mendengus kesal.
"Lo di mana kak?"
"Menurut lo? Gue udah di halaman sekolah dan di sini sepi. Jadi, berhenti main-main. Lo nggak tahu kan gue ngebut di jalan ngirain kalian kenapa-kenapa. Ide siapa sih ngerjain gue kayak gini. Pasti Damar deh. Dasar sialan itu bocah—" omelanku terputus ketika seseorang mengetuk kaca mobil. Revan. Menurunkan kaca, aku terbelalak saat melihat Revan terengah-engah dengan sudut bibir lebam.
"Lo kenapa ini?" tanyaku panik. Kembali menaikkan kaca dan membuka pintu. Keluar dari mobil setelah mematikan mesin.
"Udah deh, lo ikut gue!" Revan menepiskan tanganku yang memeriksa luka di sudut bibirnya, lalu menyeretku ke arah lapangan basket.
Aku memekik tertahan saat melihat Damar berusaha bangkit dan Revel memukulnya hingga dia kembali tersungkur. Melepas tangan Revan, aku berlari ke arah Damar, mendorong Revel yang bersiap memukul lagi, kemudian menolong Damar untuk berdiri.
"Lo apa-apaan sih? Kenapa bisa berantem?" Aku memandang geram bocah berondong itu. Sedikit ngeri melihat luka-luka di wajahnya. Sudut bibirnya bahkan mengeluarkan darah.
"Maaf," ujarnya sambil mengernyit, kemudian mengusap sudut bibir dengan punggung tangan.
"Lo ngapain bantuin dia? Minggir Kak, gue mau habisin dia!"
![](https://img.wattpad.com/cover/130850258-288-k554257.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
ChickLitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!