2

19.6K 1.3K 41
                                    

Aku masih mencerna ucapan bocah ini saat ia tiba-tiba duduk di depanku, mencondongkan badannya hingga wajahnya begitu dekat dengan wajahku.

Bocah ini cakep juga. Matanya tajam, bak mata elang yang lagi mengawasi mangsa, beriris cokelat tua dan lihatlah, bulu mata lentik yang membingkai matanya. Imut. Wajah tanpa jerawat tidak seperti bocah pada umumnya dan bibir yang cipokable, astaga!

"Lo cantik kalo lagi berekspresi kayak gitu." Ucapan yang keluar dari bibirnya membuatku terhenyak, spontan aku mendorong wajahnya dengan telapak tanganku. Ada yang aneh, meremang menjalar ke seluruh tubuh dan membuatku terbelalak kaget saat ia menghisap telapak tanganku sesaat sebelum menjauhkan wajahnya. Berondong mesum! Lagi-lagi ia terkekeh saat aku mengambil tisu untuk melap telapak tanganku yang sedikit basah.

"Mana ponsel saya?" Aku menadahkan tangan, memasang tampang galak. Menghadapi bocah mesum kayak dia memang perlu ketegasan.

"Nih, ambil sendiri," jawabnya sambil berdiri, mengedikkan dagu ke arah saku depan jeans yang dipakainya. Mataku menyipit, menatapnya garang. Lupakan pujian tampan yang tadi sempat mampir di otakku! Sekarang dia tidak tampan sama sekali. Dia terlihat mesum! Benar-benar berondong mesum!

"Jangan main-main sama saya, ya!"

"Siapa yang main-main?" Ia berdecak kemudian kembali menghempaskan tubuh di kursi.

"Kembalikan ponsel saya," ucapku pelan, mereda emosi dan remang aneh yang dari tadi belum hilang.

"Enak aja. Lo sudah bikin gue hampir kehilangan masa depan, dan lo minta balik ponsel lo? Tanggung jawab dulu dong," tukasnya cuek. Ucapannya otomatis mengarahkan mataku melihat ke arah 'masa depan' yang dia maksud.

"Hei, lo mesum ya, gue bilang masa depan, terus otomatis lo mikir ke sana." Ia meyondongkan wajahnya ke depan, menyipit menatapku curiga. Asem! Siapa suruh dia ngomongin masa depan sama perempuan dua puluh tujuh tahun yang haus belaian. Astaga! Kenapa aku jadi mikir kayak gini? Ah sial, bocah ini bikin aku baper. Iya, aku jomlo, butuh belaian laki-laki di umurku ini. Tapi mencari pasangan bukan prioritasku saat ini. Prioritasku sekarang hanya ingin mendapatkan pengakuan bahwa aku pantas menduduki posisi yang kuimpikan selama ini.

"Gue main basket. Gara-gara lo tabrak, gue nggak bisa ikut beberapa pertandingan yang harusnya gue main."

"Tangan kamu patah?" tanyaku sambil menatapnya miris. Sedikit merasa bersalah.

"Lo ngedoain tangan gue patah? Untung cuma terkilir."

"Oh, syukurlah." Aku mengembuskan napas lega.

"Syukurlah? Gara-gara terkilir, gue nggak bisa main basket selama tiga bulan, dan lo bilang syukurlah? Lo harusnya tanggung jawab, bukan bersyukur!" omelnya. Aku meringis menanggapi omelannya.

"Berapa saya harus ganti kerugian kamu?" tanyaku pelan.

"Gue nggak bilang butuh duit lo," ucapnya sinis. Ia menegakkan punggung, lalu menatapku sengit.

"Bukannya kamu tadi bilang kalau lima ratus ribu nggak cukup buat ngobatin tangan kamu? Lalu kamu minta apa biar ponsel saya kembali?"

"Lo nggak ada merasa bersalah-bersalahnya ya, udah nabrak gue?"

Ucapannya cukup menohok hati. Astaga, apa sekarang aku sudah jadi orang yang mati rasa sama orang lain? Jujur, aku hanya ingin ponselku kembali. Aku benar-benar lupa pasword email yang kugunakan untuk kerjaan. Ya, aku memang asal aja buat email itu, toh kerjaan ini nggak akan lama kugeluti.

"Saya minta maaf. Saya benar-benar menyesal sudah nabrak kamu dan ninggalin kamu tanpa ngobatin kamu dulu. Tapi saya benar-benar membutuhkan ponsel yang kamu bawa. Saya nggak bisa kerja tanpa ponsel itu."

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang