17

11.6K 1K 71
                                    

Beberapa hari lalu aku iseng buka wattpad, terus dapat notif seseorang yang masukin cerita ini ke reading list 'edisi nggak pernah diupdate' wkwkwkwk

ya maaf, memang beberapa waktu ini aku lagi hectic banget nih. cuma pas saat-saat WFH seperti ini bisa banyak waktu luang buat buka-buka lagi work. buat kalian yang lagi #dirumahaja jangan bosan kayak aku ya.. jaga kesehatan, jaga kebersihan, yuk kita lawan semua ini sama-sama dengan taat sama anjuran pemerintah. #kitapastibisa


Sembari keluar dari lift, aku mengikat rambut tinggi-tinggi. Selain gerah, aku berupaya agar rambut acak-acakan akibat perbuatan Damar bisa diminimalisir. Untung lipstick yang kupakai waterproof, nggak belepotan ke mana-mana . Aku menggigit bibir, mengingat ciuman memabukkan – astaga, apa sih yang kupikirkan?

"Ngapain sih dari tadi geleng-geleng sambil nepokin jidat? Ada yang kelupaan? Belum kasih ciuman selamat tinggal sama berondong gantengnya? Nanti juga bisa dilanjutin lagi!" Suara Maia membuatku menoleh kaget.

"Apanya yang dilanjutin?" tanyaku gugup, pura-pura mengecek berkas di atas meja. Ada beberapa berkas yang baru saja diletakkan entah oleh siapa.

"Pacarannya lah, apa lagi? Ya ampun, gue beneran iri deh sama lo."

"Astaga, iri sama gue gara-gara gue punya pacar berondong? Lo nggak bakal iri lagi kalo gue bilang punya berondong itu nyebelin," sahutku, memutar bola mata malas.

"Nyebelin apanya? Gue lihat dia tuh gemesin banget tau nggak? Lo bakal awet muda kalo punya pasangan berondong. Lagian, kayaknya dia cinta mati sama lo gitu. Jangan sampai diputusin, ntar nyesel loh."

Aku berusaha mengabaikan ucapan Maia, "Ini dari bagian desain ya?"

Maia menggeser kursinya, mendekati kubikelku. "Nggak usah mengalihkan pembicaraan lo. Gue penasaran gimana rasanya sama berondong? Kalo recommended, kayaknya gue pengen berubah haluan. Bang Widi kayaknya nggak ada respon sama gue."

"Lo membandingkan Bang Widi sama Damar? Nggak ada apa-apanya lah," decakku.

"Bang Widi nggak ada apa-apanya?"

"Damar yang nggak ada apa-apanya. Di mana-mana ya, laki-laki yang kayak Bang Widi tuh yang jadi idaman perempuan-perempuan. Wajah oke, badan oke, dompet, oke juga. Lelaki siap nikah yang nggak bakal nelantarin istrinya. Memangnya lo mau nungguin berondong lo sukses sementara lo yang membiayai hidupnya?"

"Ini lo tanya sama diri lo sendiri apa?" Maia tergelak. "Memangnya selama ini lo yang bayarin semua kebutuhan dia?"

"Enggak juga sih. Gue malah jadi penasaran, selama ini dia dapat duit dari mana ya?" Aku tercenung, benar juga. Selama pacaran sama bocah itu, aku bahkan hampir tidak pernah mengeluarkan uang. Hanya sekali ketika dia alergi makanan di resto beberapa waktu lalu. Masa iya gaji partime dia di kafe itu cukup besar?

"Ya kan hasil main basket sama hasil punya kafe sangguplah buat ngidupin lo, gimana sih?" Maia mencebik, "jarang kali ada berondong kayak dia. Muka oke, bodi oke, dompet juga oke. Tinggal nunggu dihalalin aja lo mah," tambahnya.

"Ya tapi kan—" Aku urung melanjutkan ucapanku. Hampir saja keceplosan kalo bocah itu masih SMA. Ya kan Maia taunya dia udah dua puluh tiga tahun. "Iya sih," ujarku akhirnya.

"Cerita-cerita dong, gimana rasa ciumannya? Lebih hot dari yang seumuran kan?" Sekarang Maia mencondongkan badan ke arahku. Ngomongnya udah ngak sekeras tadi, tapi nggak bisa dibilang bisik-bisik juga sih. Aku menelan ludah gugup, masa iya ekspresiku ini kelihatan kalo abis ciuman sama bocah itu?

"Ciuman apaan?" elakku sambil pura-pura kembali mengecek dokumen.

"Yaelah, nggak usah sok gitu, mana ada jaman sekarang pacaran nggak pake cipok-cipok manja. Ciumannya bikin ketagihan kan? Bikin merem melek?" kejar Maia yang bikin mukaku terasa panas keinget ciuman barusan. Sial. Bergegas aku mengambil berkas paling atas, menghindar dari rentetan pertanyaan Maia yang lama-lama bikin gerah. Gerah gara-gara mulai mikir aneh-aneh.

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang