Bonus perang-perang manja deh. dikit aja tapi, hahahaha
---
"Tunggu!" Mataku menyipit saat Damar meletakkan nampan berisi makanan dari restoran fastfood di meja. Setelah tragedi bertemu duo kembar menyebalkan itu, mereka malah menyeretku ke restoran fastfood karena kelaparan.
"Ada apa?" tanya bocah itu setelah menggeser kursi, duduk di sebelahku. "Kamu mau nambah pesen apa?"
Tanpa kata aku menarik pergelangan tangan kirinya, "kemarin lo bilang kalo tangan lo sakit. Sampai diperban gitu, kenapa sekarang nggak ada perbannya? Udah sembuh ya, sampai bisa pamer main basket-basketan kayak tadi?" tuduhku geram.
"Aduuh sakit, Rell." Ia berusaha menepis tanganku. Tidak memedulikannya, aku malah mengeratkan cengkeramanku di pergelangan tangannya.
"Nggak usah pura-pura sakit! Dasar bocah, lo pikir bisa bohongin gue?" Aku semakin geram.
"Ini beneran sakit, Rell. Aduuhh," rintihnya.
"Kak, Kak! Itu beneran sakit tau. Udah Kak, lepasin!" Revel ikut-ikutan berusaha melepaskan tanganku.
"Nggak usah ikut-ikut! Meski lo udah jadi kapten tim basket gara-gara dia, bukan berarti lo harus belain dia!" Aku melepaskan cengkeramanku, kembali pada posisi dudukku, kemudian bersidekap.
"Astaga, ini beneran sakit. Lihat nih." Bocah itu menunjukkan pergelangan tangan bagian dalam, terlihat jelas warna biru keunguan di kulitnya. Aku meringis saat membayangkan rasanya kucengkeram tadi.
"Kemarin tangan Bang Damar terkilir gara-gara diserempet mobil di depan sekolah." Revel mendengus, lalu mengambil piring berisi french fries dari nampan yang dibawa Damar tadi. Sedang Damar, bocah tengil itu mengangsurkan piring nasi ayam krispi padaku dengan tangan kanannya. Kalau kuingat-ingat, dari tadi dia memang jarang menggunakan tangan kirinya untuk beraktifitas sih.
"Lo di sana waktu kejadian itu?" Aku menelan ludah dengan susah payah.
"Gue di parkiran, mau pulang. Pas di gerbang, lihat Bang Damar dikerumunin anak-anak gitu. Gue yang bawa dia ke dokter kok. Kayak gitu tuh, kalo cewek dikasih mobil, nyetir nggak tahu aturan. Pas nabrak, tinggal pergi aja. Harusnya lo minta ganti rugi yang banyak, Bang. Apaan dikasih duit suruh berobat sendiri."
Damar menahan tawa, sedang aku menatap dia sebal.
"Nggak papalah. Paling nggak, ada hikmah dari kejadian ini," jawab bocah itu sambil tertawa. Hikmah dari Hongkong? Aku melotot dan memberikan tatapan garang pada Damar saat bocah itu berani mencubit hidungku.
"Hikmahnya jadi diperhatiin sama Kak Arell? Emang dia bisa panik ngeliat lo diperban-perban gitu kemarin? Kok gue nggak yakin ya," ujar Revan seraya mencomot kulit ayam krispi dari piringku. Dia memang hobi makan kulit ayam krispi.
"Halah, palingan juga dua minggu udah bisa main lagi," ejek Revel.
"Dua minggu?" Nada suaraku naik.
"Cuma dua minggu ini, nggak usah panik kayak gitu. Kemarin dokter udah bilang dua minggu juga udah sembuh. Dikasih trombopop juga kok biar nggak nyeri," ujar Revel dengan tatapan mengejek.
Kali ini aku menatap Damar dengan amarah yang memuncak. Bocah ini benar-benar sudah memermainkanku.
"Dasar berengsek! Lo berani-beraninya bohongin gue. Tiga bulan? Lo mau gue bikin tangan lo nggak bisa sembuh selama tiga bulan? Sini gue patahin beneran tangan lo!" Sebelum melampiaskan kekesalan, Revel sudah sigap menahan kedua tanganku sambil tertawa.
"Parah lo Bang, ngibulin Kak Arell gitu amat. Lagian, kenapa lo percaya-percaya aja sih Kak, lo nya yang bego kadang-kadang."
"Lepasin, Rev. Gue pengen habisin nih satu bocah tengil!"
"Jangan panggil aku bocah, Sayang!" decak Damar terlihat nggak suka.
"Jangan sayang sayang sama gue!" Balasku sambil menepis tangan Revel yang dari tadi menahan tanganku.
Tak disangka-sangka Revan yang biasanya tidak banyak berekpresi malah tertawa. Ia mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.
"Kayaknya gue suka sama lo, Bang. Baru kali ini gue liat Kak Arell bisa bersikap kekanakan dan banyak ekspresi dalam satu waktu. Gue ketawa sampai nangis ini lihat kakak gue kayak gini. Lo terlihat lebih manusiawi saat ini, Kak. Gue kira lo cuma punya ekspresi tampang ngajak perang kayak lo pas di depan papa selain tampang lempeng lo itu."
"Maksudnya?" Damar menatap tidak mengerti.
"Intinya gue dukung lo buat jadian sama kakak gue," jawab Revan disambut senyum lebar bocah tengil itu. Aku menatap Revan sengit. Bocah itu sekarang ikut kubu Damar? Aku mendengus sebal saat Revan pura-pura tidak melihat tatapan sengitku. Ia malah melanjutkan aksi makannya, sesekali menyomot kulit ayam dari piringku.
Aku melotot saat tangan Damar mengacak pelan rambutku. Aku menepisnya kasar.
"Tangan lo abis pegang makanan, ngotorin rambut gue? Mau mati lo?" dengusku kasar. Bocah itu tertawa kemudian mendaratkan satu kecupan di pelipisku.
"Kamu bener-bener bikin aku gemes," ujarnya kemudian, membuatku membeku.
Aku mau pingsan sajalah!

KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
ChickLitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!