10

13.4K 1K 30
                                    

"Kamu mau makan siang apa? Aku deliveriin dari kafe mau?" Suara Damar terdengar lirih. Aku mengernyit, melirik pergelangan tangan. Masih setengah satu siang. Berarti bocah ini lagi di sekolah.

"Nggak usah. Emang lo nggak sekolah?" Akhir-akhir ini aku memang melunak sama bocah Damar. Gimana nggak melunak, bocah ini tiap kali aku judesin, malah ngasih aku perhatian-perhatian kecil yang membuatku jadi nggak enak sendiri.

"Mmmm, iya. Ini di sekolah kok." Jawaban ragu Damar membuatku mengerutkan alis.

"Lo bolos?" tuduhku.

"Enggak! Aku di sekolah ini. Kenapa sih suka curigaan sama aku?" Aku tertawa mendengar protesnya. Ya, aku jadi sering tertawa kalau berinteraksi dengan Damar. Tingkahnya yang kadang sok dewasa kadang kekanakan itu membuat hiburan tersendiri di penatnya keseharianku.

"Pulang jam berapa?" tanyaku iseng. Seharian ini suntuk banget di kantor. Suasana sudah nggak senyaman seperti beberapa minggu lalu. Gosip yang semakin santer membuatku nggak bisa leluasa bekerja.

"Kenapa? Mau ngajakin jalan?" tanyanya.

"Lagi suntuk aja."

"Maaf Rell, hari ini nggak bisa. Besok aja gimana?"

Tumben. Biasanya bocah itu yang suka maksa jalan. Sekalinya aku yang ngajakin, dia nolak?

"Memangnya hari ini ada acara apa?" tanyaku penasaran.

"Mmm ... kerja. Aku kan kerja."

Iya juga sih. Dia kan partime di kafe baru itu. Boleh juga nanti pulang kerja mampir sebentar. Cake strawberry nya cukup enak. Es cokelatnya juga enak. Suasananya ..., ah bilang saja kamu pengen ketemu sama bocah itu, Rell. Suara yang tiba-tiba terdengar dari kepala membuatku mengerjap-ngerjapkan mata. Siapa yang pengen ketemu sama bocah itu?

"Ini kamu beneran nggak mau di deliveriin apa gitu?" Suara Damar kembali mengisi telingaku.

"Nggak. Nggak usah. Habis ini gue makan di luar kok," tolakku. Masa iya aku tega nyuruh bocah SMA beliin makan siang?

"Sama siapa?" Nada suara Damar terdengar posesif.

"Temen lah."

"Cowok apa cewek?" Pertanyaan bocah ini membuatku memutar bola mata. Serius dia seposesif ini?

"Rell, aku tanya loh. Kamu makan siang sama siapa?" ulangnya tak sabar.

"Kepo!"

"Rell, aku samperin ya. Aku nggak mau kamu deket-"

"Dasar bocah!" Aku memutus telepon. Melemparkan ponsel begitu saja ke atas meja. Emosi.

"Siapa yang bocah?" tanya Maia kepo. Ia mencondongkan badan ke arahku.

"Kepo." Aku melengos, mendorong kursi Maia menjauh.

"Wow, Berondong's Attack is calling tuh." Maia tergelak saat melihat ID caller yang kupakai untuk menamai Damar. Aku meraih ponsel, kemudian menelungkupkannya.

"Lo beneran lagi kencan sama berondong?"

"Ck, iseng aja gue namain salah satu adik gue pakai nama begituan. Soalnya dia tuh selalu rese' nggak kayak kembarannya," karangku.

"Pinter ngelesnya. Gimana? Iklan Aditama udah clear belum?" tanya Maia sambil kembali menggeser kursinya.

"Lumayan sih. Udah tujuh puluh persen. Akhirnyaaaa...." Aku mengangkat kedua tangan, berlagak terbebas dari belenggu.

Ya, akhirnya mereka menyetujui konsep usulan Bang Ray. Say thank to him! Kali ini aku menyadari kalau aku memang harus belajar banyak. Ya, Papa ada benarnya. Aku harus belajar menerima kritikan dan saran orang lain yang selama ini tidak ingin kudengar. Aku terlalu percaya diri, bisa melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Padahal kita sebagai makhluk sosial kan harus saling membantu.

"Jadi, hubungan kalian berlanjut atau enggak?" tanya Maia sambil memainkan alis. Aku mengerutkan kening, "hubungan apa?"

"Udah, nggak usah ditutupin. Gosipnya sudah beredar. Ada yang pernah lihat kalian di kafe berduaan. Inget loh, si Bos itu playboy. Jangan mau dijadiin selingkuhan sama dia. Gue ngomong kayak gini bukan karena apa-apa. Cuma lo kan tahu, gue peduli sama lo. Nggak mau lo digosipin macem-macem sama yang lain."

Aku tertawa pelan, itu tadi bukannya dia gosip sendiri ya?

"Gue di sini kerja tuh profesional. Mau konfirmasi? Iya kita pernah ngerjain proyek di kafe berdua. Kenapa? Soalnya kalo di kantor banyak yang gosipin. Bikin nggak konsen sedangkan dari pihak Aditama tuh ngejar-ngejar mulu. Gue sendirian by the way. Jadi wajar kalo Pak Ray itu bantuin gue, orang dia Bos nya."

"Tapi kok gue nggak percaya ya?" Maia tetap pada pendapatnya.

"Its your choice. Mau percaya boleh, enggak ya boleh."

"Abisnya Pak Ray itu mepet terus sama lo. Udah gitu kayak posesif banget. Apalagi kalo lo lagi bareng Bang Widi. Gue loh yang sering perhatiin," sahut Maia. Sialan emang Bang Ray itu. Tingkahnya makin menjadi-jadi sejak dia mendengar gosip itu di kantor.

"Eh, jangan-jangan lo nggak nyadar ya dipepetin sama si Bos? Kayaknya si Bos emang nargetin lo gitu. Jangan mau, Rell. Meski dia ganteng dan tajir, tapi kan dia udah punya pacar. Mana pacarnya baik banget gitu. Lo jahat banget kalo mau jadi pihak ketiga di antara mereka. Pantes aja ya si Bos nyuruh lo ngerjain sendiri proyek itu, biar dia bisa mepetin lo tuh," cerocos Maia. Hampir saja aku tertawa membayangkan Bang Ray mendengar asumsi Maia. Mana bawa-bawa Karissa, cewek yang udah bertahun-tahun jadi pacarnya.

Suara deheman yang tak asing membubarkan posisiku dan Maia yang kayak lagi menyusun rencana balas dendam.

"Rell, Revel telepon katanya nelpon kamu nggak diangkat-angkat. Ponsel kamu di mana?" tanya Bang Ray santai. Reflek aku membalik ponsel yang kutelungkupkan karena menghindari telepon dari bocah berondong posesif itu.

"Pantesan jadi silent. Udah, sekarang kamu susulin aja adik kamu itu, kasihan dia nungguin lama," ujar Bang Ray lagi. Aku hanya bisa membuka mulutku dan mengatupkannya. Urung memaki sepupu sialan ini.

"Kok malah bengong sih?" Dengan kurang ajarnya dia mematikan laptopku, memberesi peralatan kerja, kemudian memasukkannya ke dalam tas. "Atau mau saya antar?" tanyanya geli, saat aku hanya bisa menatapnya shock.

"T-tapi Pak, ini saya masih kerja-"

"Kerjaan bisa besok lagi. Keluarga lebih penting kan? Karena kamu sudah mengerjakan proyek besar kita dengan baik, hari ini ada dispensasi buat kamu pulang duluan. Kenapa? Mau dibawakan tasnya?"

Aku melotot tajam pada Bang Ray. Dia keterlaluan banget sih memermainkanku di depan Maia. Aku bahkan nggak berani melirik Maia, tidak ingin tahu ekspresinya melihat adegan ini. Si Bos tengil ini malah menjadi-jadi, ia menarik lenganku agar cepat berdiri. Menepiskan tangannya, beringsut berdiri, dengan satu tangan berkacak pinggang, aku menantang matanya.

"Gue bisa sendiri! Don't touch me!" Aku kelepasan bicara. Masa aku ber gue-gue sama Bos, ya Tuhan, segera aku memandang sekeliling. Untung hanya ada Maia yang melongo melihat interaksiku sama si Bos tengil ini.

"Wah, kamu udah kayak bos saya Rell," komennya geli.

"Pak ...."

Bang Ray mengkodeku untuk segera pergi. Tanpa kata aku mengambil tas dan meninggalkan bos tengil yang sekarang menyeringai jahil.

Setelah menginjakkan kaki di lobby, aku menelepon Revel yang langsung diangkat pada deringan pertama, "ngapain aja deh, lama banget!" ujar bocah itu gemas.

"Apa-apaan lo nyuruh Bang Ray segala?" semprotku kesal.

"Udah deh Kak, cepetan, ini udah mau main," decaknya.

"Main apaan? Lo di mana deh? Gue masih di kantor."

"Gor biasa gue main basket. Yang di deket sekolah. Gue tunggu." Revel memutus panggilan. Astaga, dari mana sih sikap menyebalkan ini bocah? Perasaan Revan nggak bertingkah gini amat. Belum sempat aku memasukkan ponsel ke tas, pop up notifikasi chat dari Maia membuatku memijit pelipis.

Maia: gue kayak nonton live drama korea nih. Wah, Pak Ray gercep banget ya, bisa sampe telponan sama adek lo. Tapi jangan dikasih kesempatan, Rell. Inget dia udah punya pacar.

Aku mendengus kesal, melemparkan ponsel ke tas. Awas lo, Bang. Gue bakal buat perhitungan sama lo!

*** 

Berondong's AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang