Aku masih sibuk mencari-cari design iklan di laptop saat Maia melempariku pensil yang biasa ia pakai menggambar.
"Ponsel lo berisik," ujarnya saat aku mendelik ke arahnya. "Tumben-tumbenan pakai lagu begitu buat nada dering," tambahnya lagi.
Sial, aku lupa menyeting ponselku dalam mode silent. Meraih ponsel yang berada di dalam tas, aku mengerutkan kening menatap sederet nomor tidak dikenal di layar lantaran jarang mendapatkan panggilan di ponsel yang ini. Hanya orang-orang tertentu yang punya nomorku.
"Malah diliatin aja, diangkat itu. Bikin konsentrasi orang buyar aja." Maia mendengus kesal. Aku hanya nyengir lalu memutuskan untuk menerima panggilan.
"Halo."
"Hai." Suara asing terdengar.
"Ini siapa ya?"
"Gue mau ngajakin lo makan siang," ujarnya to the point.
"Maaf, saya bicara dengan siapa ya?"
"Coba tebak siapa?" Ia terkekeh pelan.
Suaranya tawanya cukup enak didengar. Seperti familiar gitu. Siapa ya? Orang iseng nggak bakal tahu nomor ponselku, kecuali ..., Bang Widi, nggak salah lagi. Kemarin kan dia sempat minta nomorku dan sialnya aku belum sempat save nomor dia. Mataku beredar melihat sekeliling dan menemukan Bang Widi sedang di pojok ruangan, menelepon. Seperti ada kekuatan magis, mata lelaki itu menatapku, lalu memberikan senyumnya. Tiba-tiba pipiku memanas.
"Aduh, Bang. Kita kan lagi di kantor. Jangan main-main deh," ujarku pelan, takut Maia mendengar.
"Abang? Kok berasa adem ya dipanggil Abang sama lo. Wah, kemarin panggil gue bocah, sekarang panggil abang?" Jawaban itu membuatku melotot. Apa? Bocah tengil itu yang meneleponku? "Memangnya lo lagi ngarepin diajak makan siang sama siapa?" oloknya kemudian.
"Ngapain lo nelepon gue?" Nadaku tiba-tiba berubah menjadi kesal.
"Kan udah gue bilang mau ngajakin lo makan siang. Nanti kita makan siang di mana? Gue harus jemput lo di mana?"
"Gue sibuk!"
"Jangan menghindar, lo udah janji bakal ngedate sama gue. Dan date itu dimulai dari hari ini. Lo nggak lupa kan?"
Aku mengepalkan tangan, emosi. Dasar bocah sialan!
"Nggak bisa kalo siang ini. Gue lagi banyak kerjaan, nggak bisa keluar."
"Gue bisa kok nyamperin lo ke kantor. Lo mau dibawain apa?"
"Heh, bocah. Lo bolos sekolah, sampai bisa ngajakin gue makan siang? Lagian gue nggak mau ya pergi sama bocah pake seragam SMA." Aku mendengus kesal. Apa kata orang kalau lihat aku jalan sama bocah SMA, dipikir aku tante-tante yang doyan sama berondong?
"Jangan panggil gue bocah!" Aku bisa membayangkan tampang merengutnya. Ya Tuhan! Aku menggeleng, mengusir bayangan bocah itu dari kepala.
"Pokoknya gue nggak mau tau. Hari ini gue mau ngedate sama lo," paksanya. Tuh, bocah tetap saja bocah. Sukanya maksa!
"Gue udah bilang nggak bisa. Lo ngerti nggak sih?" Aku hampir berteriak kalau saja tidak ingat sedang di kantor.
"Pulang kerja, kalo gitu. Ke PIM yuk," tawarnya. Aku bergidik, ke PIM? Ngapain?
"Gue—"
"Nggak ada penolakan. Atau lo mau gue nelpon salah satu kontak yang ada di ponsel lo—"
"Jangan berani macam-macam!"
"Makanya, jangan menghindari gue," sambarnya pelan.
"Oke. Nanti sepulang kerja gue samperin lo." Tanpa basa-basi lagi aku memutus sambungan telepon dan sedikit terkejut ketika Maia menggeser kursinya ke sampingku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
Romanzi rosa / ChickLitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!