Aku meletakkan gelas dengan kasar sebelum menatap Papa dengan marah. Aku tidak pernah menyangka, setelah hampir tiga bulan berbaikan, hari ini Papa sengaja melancarkan permusuhan baru. Perkataan papa pagi ini benar-benar membuatku tidak habis pikir. Perjodohan? Di jaman milenial seperti ini papa masih menganut sistem perjodohan untuk anak-anaknya?
"Papa hanya mengharapkan yang terbaik untuk anak-anak Papa. Papa sudah pernah bilang kalau perusahaan kita harus dipimpin orang yang kompeten dan Papa tidak akan menyerahkan perusahaan kepada orang yang tidak berhubungan keluarga dengan kita. Perusahaan ini masa depan kalian. Papa tidak akan menyerahkannya kepada sembarang orang."
"tapi bukan begini caranya, Pa. Bukan dengan mengorbankan aku untuk menikah dengan orang yang akan menggantikan Papa. Ini nggak adil namanya. Papa bisa menyerahkan kepemimpinan sama Revan atau Revel, atau sama Bang Raga atau Bang Ray, aku nggak keberatan. Sama sekali nggak keberatan."
"Tidak ada yang harus berkorban. Kamu pasti akan bahagia dengan pilihan Papa ini. Papa nggak akan sembarangan mencari pendamping untuk kamu, Revel maupun Revan. Dengarkan Papa—"
"Nggak. Papa nggak bisa seenaknya mengatur hidupku. Hubungan kita membaik, bukan berarti aku akan menyetujui rencana konyol Papa seperti ini."
"Papa hanya ingin yang terbaik buat kamu, Rell."
"Hanya Arell yang tahu apa yang terbaik buat Arell sendiri. Bukan Papa yang menentukan kebahagiaan Arell!" Suaraku meninggi.
"Kak, nggak usah ngegas," ujar Revel santai.
"Lo nggak bakalan merespon kayak gini kalau lo berada di posisi gue? Kalian berdua setuju gue dijodohkan?"
Aku menatap Revel dan Revan bergantian. Meminta pertolongan lewat tatapan mata, namun kedua bocah itu malah enggan menatapku balik. Bukannya mereka tahu kalau aku berpacaran dengan Damar, kenapa malah mereka seakan acuh tak acuh dengan situasi ini?
Menghela napas kasar, aku kembali menatap Papa. "Pokoknya Arell nggak setuju dengan perjodohan kayak gini. Arell punya pilihan sendiri."
"Kalau begitu bawa pilihanmu ke sini. Kenalin ke papa. Bukannya dulu Papa sudah menanyakan hal itu. Kalaupun kamu sudah punya kekasih, Papa juga akan menilai apakah dia pantas untuk melanjutkan usaha keluarga kita." Papa menatapku sedang aku memalingkan muka. Mana mungkin aku membawa Damar ke hadapan Papa. Dia masih butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa diakui oleh Papa.
"Biar Revel atau Revan yang melanjutkan perusahaan papa, Arell rela kok," jawabku setelah beberapa saat.
"Enggak ... enggak! Gue udah bilang berkali-kali kalo gue nggak tertarik. Gue punya impian sendiri. Gue pengen fokus main basket. Jadi atlet. Lagian, gue juga udah mikirin konsep Skydrive selanjutnya. Kalo gue sudah mengelola Skydrive—"
"Skydrive? Mengelola skydrive? Maksud lo apa?" aku memotong ucapan Revel. Menatapnya bingung.
"Ya gue main basket dan mengelola skydrive," jawab Revel santai, "gue nggak mau nerusin perusahaan. Biar suami lo sama Revan yang nerusin—"
"Wait, Lo yang punya skydrive?" Aku masih bingung dengan ucapan Revel. Dari mana bocah ini punya dana untuk membangun sebuah kafe? Dari Papa? Nggak mungkin papa memberi modal usaha pada Revel. Bukannya Papa pernah bilang kalau kafe itu milik temannya?
"Belum."
"Maksudnya belum?" kejarku.
"Kalau akhirnya lo nikah, otomatis suami lo nggak bisa ngurusin dua hal sekaligus kan? Dia yang bakal gantiin Papa di perusahaan, dan gue yang gantiin dia ngelola skydrive. Dia udah deal tentang hal itu."
"Dia—"
"calon suami lo lah. Dia kan pemilik skydrive. Lagian ya kak, kalau lo jadi nikah sama dia, lo bisa bebas nongkrong di sana sambil mantengin Bang Damar –"

KAMU SEDANG MEMBACA
Berondong's Attack
Chick-LitPunya pacar berondong? ... Hmm, pasti ngegemesin! Tapi kalo kamu pacaran sama anak SMA disaat umurmu udah 27, ini namanya bencana!!