Janus [1] Awal

10.5K 346 3
                                    

______Janus______


Tampan. Cerdas. Berjiwa pemimpin. Baik. Bersahaja. Dan masih banyak lagi kata-kata positif yang bisa menggambarkan sosoknya. Sosok lelaki sempurna yang selalu bisa mengambil alih duniaku.

Ahmad Januar Fenrir Abraham.

Bahkan namanya pun terdengar sangat indah di telingaku.

Aku tidak pernah bosan memandanginya yang sedang berorasi bagai orang nomor satu di Indonesia. Wajahnya tegas menunjukkan kematangan materi yang sudah ia siapkan untuk acara Upacara Penutupan Penerimaan Peserta Didik Baru yang sudah berlangsung selama satu minggu penuh ini.

Rasanya seperti sedang melihat kilas balik kisah kami. Cerita yang diawali dengan kedunguanku. Benar-benar lucu jika harus kuingat.

Aku tertawa kecil memandangi priaku dari lantai tiga, dia sedang berdiri di tengah-tengah lapangan di bawah terik mentari pagi. Mencoba untuk membuat semangat para murid baru tergugah dengan pidato panjangnya.

Tepuk tangan meriah menyambut akhir dari puisi panjangnya. Entah para murid baru itu sedang bertepuk tangan sebab Kak Januar terlihat menawan atau mungkin karena mereka bahagia akhirnya pidato itu selesai juga.

Aku bertemu pandang secara singkat dengan Kak Januar. Dia memandangku sengit. Mungkin marah karena aku menertawakannya.

"Ngapain, Sel? Ayo buruan ke perpus. Sebentar lagi kelas mau dimulai."

"Iya." membalas ucapan Teresa, aku pun bergegas pergi meninggalkan tempatku mengintai Kak Januar.

Dan sekali lagi, mata kami bertemu. Dia masih menatap tajam diriku.

Agak merinding. Tapi aku suka ketika dia memperhatikanku seperti itu. Mungkin benar kata Teresa. Aku sudah gila karena cinta.

_ _ _ _ _

Teresa berkali-kali mendecak halus. Memajukan bibirnya hingga terlihat seperti bebek peking. Dia sebal dan sangat tidak suka dengan tugas yang diberikan oleh Bapak Suwardi.

"Sel ..." Teresa setengah berbisik karena kami sedang ada di perpustakaan.

"Hmm." aku hanya membalas sekadarnya. Karena jika kutanggapi, dia pasti akan semakin menggangguku.

"Ckk! Kalau dipanggil noleh bentar kek."

Aku benar-benar menoleh. Memandang wajah cantik sahabatku dengan malas.

"Apa?"

"Bagi contekan ya. Pusing banget kepalaku."

See? Inilah kenapa aku seharusnya mengabaikan Teresa saja.

"Sontekan, Ter. Bukan contekan. Di dalam KBBI tidak ada kosa kata contek. Adanya sontek. Itu mendes-"

"Ssttttttt. Diem! Banyak omong nih anak. Mau bagi nggak?"

"Tidak." aku menjawab tegas lalu berpaling. Hanya agar bisa menghindari hujaman caci maki Teresa. Dia mengumpat banyak sekali hingga membuat petugas perpustakaan menegurnya. Aku tertawa melihat itu. Tentu hanya tawa di dalam hati.

"Seneng, kan? Liat temenmu ditegur."

Aku hanya tersenyum tipis lalu kembali meneruskan pekerjaanku. Hingga sebuah notifikasi muncul di layar ponselku.

Dari Kak Januar.

Dia memintaku menemui dirinya di ruang klub belajar. Maka dengan sekuat tenaga dan secepat Shinkansen, aku menyelesaikan tugasku dan menyerahkannya kepada Bapak Suwardi yang sedang duduk bersama petugas perpustakaan.

JANUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang