______Janus______
Benar-benar keterlaluan. Ini sudah kelewat batas, Kak!
Bagaimana bisa Kak Januar memberikan gelang bonus sebagai hadiah untukku, sedangkan barang aslinya diberikan pada Valerie.
Dia pikir aku ini tempat pembuangan sampah atau bagaimana?
Sikapnya ini sungguh tidak dapat kutolerir lagi. Rasanya ingin kuenyahkan saja perasaan yang disebut cinta oleh orang ini.
"Hiks ... Kenapa aku menangis, sih?"
"Lo kenapa nangis lagi?"
Eh? Sejak kapan Bumi ada di rumahku?
Aku terlalu sedih hingga tak menyadari keberadaan pemuda ini. Dia duduk santai di atas teras sembari memainkan gawainya.
Bagaimana ini? Aku terlanjur tertangkap basah sedang menangis sambil berjalan. Bagaimana kalau Bumi sampai mengadu pada ayah?
Baiklah. Lebih baik kuhindari saja pertanyaannya ini.
"Tidak ada apa-apa." aku harap ada setitik kemungkinan Bumi akan membiarkan ini berlalu. Namun, menatap wajahnya yang nampak mengernyit kesal, aku yakin semua ini tak akan berakhir cepat.
"Pacar lo lagi, kan?"
"..."
Ukhh ... Bumi cepat tanggap sekali, sih! Aku kan jadi kehilangan kesempatan untuk kabur masuk rumah, jika dia menghadang jalanku seperti ini.
Bumi dengan tubuh tegap tingginya kini berdiri tepat di depanku dengan kokoh. Dia tidak memiliki niatan untuk menyingkir sama sekali.
"Goblog banget sih- eh maaf. Nggak boleh ngomong kasar, kan ya? Sungguh dungu-------kekasih Anda."
"Bumi-"
"Iya-iya. Gue tahu. Lo masih cinta, kan? Tapi cinta lo itu buta Len. Saking butanya, lo bahkan nggak sadar kalau hati dan fisik lo udah penuh luka gara-gara cinta lo ke Januar."
"..."
"Kenapa diem aja? Gue bener, kan?"
Iya. Bumi memang benar. Aku memang bodoh karena masih berusaha mencari pembenaran untuk Kak Januar.
"Lo nangis abis ngomong sama anak tadi, kan?"
"Huh? Kamu lihat?"
"Nggak sengaja. Waktu mau ke sini. Makanya gue muter. Biar nggak disangka tukang nguping."
Aku refleks tertawa mendengar ucapan bernada jenaka ini.
"Udah puas nangisnya?" tanya Bumi sesaat setelah aku berhenti terisak.
Tidak ada jawaban lain yang dapat kusodorkan selain anggukan kecil pada kepala.
"Butuh temen cerita nggak?"
Menarik nafas panjang, aku memutuskan untuk menceritakan segalanya pada Bumi. Sudah terlanjur begini, sekalian saja kubeberkan semua. Sebab aku membutuhkan sudut pandang lain. Dan Bumi adalah sudut pandang itu.
Kuberitahukan segalanya pada Bumi sambil duduk berdua di kursi teras. Kami memandang ke arah kegelapan malam dengan khusyu'.
"Ya udah. Tanyain aja langsung ke si Januar."
Enteng sekali dia berujar. Memangnya aku tidak memikirkan hal itu? Tapi tetap saja, ada penghalang yanh disebut sebagai harga diri.
Benar. Aku memang terlalu angkuh untuk menanyakan hal itu. Karena hati ini takut untuk terluka kesekian kalinya. Aku sungguh khawatir jawaban yang kudengar akan melukai hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANUS
Teen Fiction"Jangan sampai ada yang tahu kalau kita pacaran!" "Iya, Kak." __________ "Punya otak tidak? Soal mudah seperti ini saja tidak bisa." "..." __________ "Mau jadi apa kamu, hah? Sudah punya pacar tapi keluyuran dengan laki-laki lain." "Apa kabar kamu y...