Janus [19] Dia Aneh

2.7K 121 4
                                    

______Janus______

Aroma segar masih menyeruak dalam saluran pernapasanku. Nyaringnya para gryllidae¹ yang saling adu kemolekan pita suara tak membuatku merasa terhibur sedikit pun. Mataku masih menatap ke arah hilangnya punggung indah Kak Januar.

Dia ... benar-benar menyuruh kami bertiga pergi tanpa mau repot-repot menunggu.

Sekuat itukah rasa 'tanggungjawabnya' kepada Valerie? Hingga ia rela kehilangan sosok yang seharusnya penting sepertiku?

Ah ... dikau percaya diri sekali wahai gadis yang tertolak. Harusnya aku sadar diri, bukannya malah tak tahu diri. Setelah tertampar kenyataan sebengis ini mengapa tak kunjung jua hatiku benci kepada pemuda itu?

Mengapa ... justru sakit yang kurasa. Layaknya bintang jatuh yang hilang entah kemana, aku--- merasa tersesat.

"Sel? Sel? Selen!"

Aku mendengarkan wahai sahabatku. Hanya saja, saraf motorik di dalam tubuh seolah menolak hasratku ingin pergi dari sini.

Jiwaku meronta ingin berlari menjauh, namun tubuhku tahu bagaimana inginnya hati. Mungkin karena itulah aku masih saja tak bergeming. Menjauh pun enggan, bahkan setelah Kak Januar menyerahkan seluruh keabu-abuan hubungan kami kepada 'sang adik'.

Mitos. Mana ada adik-kakak dalam tali ikatan antara Valerie dengan kekasihku. Jelas sekali jika salah satu di antara mereka atau justru keduanya tengah merasakan percikan api asmara.

Tinnnn!

"Itu mobil Bumi udah dateng, Sel. Kita balik ya."

Sudahlah. Jika aku lebih egois daripada ini kepada Tere, maka sebaiknya aku ditali saja dengan hewan-hewan di peternakan. Karena sudah terlalu banyak kubuat Tere menderita hari ini.

"Maaf ya, Ter." kuberanikan diri untuk membalas tatapan Teresa. Adabnya orang yang meminta maaf adalah dengan menghadap langsung dan bukannya menghindar.

"Kenapa minta maaf, sih?"

"Keributan tadi, terjadi karena aku meninggalkan kamu sendirian."

Teresa tak menjawab, dia justru menoleh ke belakang. Lebih tepatnya pada Bumi yang sudah keluar dari dalam mobil.

Mata siapa pun yang normal pasti akan terhenyak sesaat tatkala melihat betapa sempurnanya postur tubuh itu ketika bersandar pada daun pintu kereta besi tersebut.

Bumi bersedekap sembari menatap ke arah kami tanpa raut kesal seperti dulu. Kali ini ia tak mau berorasi perihal drama yang kami buat.

"Kita masuk mobil dulu yuk. Nanti aku kasih tahu cerita yang sebenarnya."

Tak merasa memiliki hak untuk menolak, aku memilih pasrah ketika Teresa menarik tanganku menuju mobil SUV berwarna hitam tersebut.

"Udah kelar?"

Bumi tetaplah Bumi. Dia dengan tatapan penuh sebal mempertanyakan akhir dari bincang-bincang sesaat tadi.

"Lo beneran mau nganterin kita balik kan?"

"Hmm. Buruan naik."

Teresa tersenyum cerah. Bahagia sekali mendapati sahabatku seriang ini seolah tak terjadi apapun di dalam sama. Tangan ramping Tere hendak membuka pintu penumpang bagian depan namun terhenti karena Bumi kembali menutup pintu tersebut.

"Duduk belakang!" bukan desisan apalagi bisikan. Bumi kembali pada tabiatnya yang gemar sekali membentak.

"Selen yang duduk belakang! Ya kali dia duduk di samping elo. Bisa mati jantungan temen gue!" Teresa tentu saja terpancing untuk menyesuaikan tangga nada mereka.

JANUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang